OpiniSantai

KAIDAH USHUL FIQH

Oleh : Dian Rahmat Nugraha,M.Ag

KAIDAH USHUL FIQH

 

A.   Kaidah-Kaidah Fiqih Induk

berbagai literatur qawa‟id fiqhiyah, macam-macam Dalam kaidah fiqh, secara umum disusun dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, kaidah-kaidah fiqh induk (al-qawaid al-asasiyah). Disebut induk, karena banyak kaidah-kaidah cabang yang dapat dikembalikan atau diproyeksikan kepadanya. Kedua, kaidah-kaidah fiqh cabang fiqh cabang yang diperselisihkan oleh para ulama.

Kaidah-kaidah fiqh induk, secara kuantitatif atau jumlahnya masih diperselisihkan oleh para ulama. As-Suyuthi (t.t.:6) mengemukakan bahwa al-Qadhi Abu Sa‟id mengembalikan semua persoalan mazhab Syafi‟i kepada empat kaidah hukum induk. Syaikh „Izzudin Ibn „Abd al-Salam, dalam bukunya Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, mengatakan bahwa semua masalah fiqh dapatdikembalikan kepada i‟tibar al-mashalih saja. Sebab dar‟u al-mafasid termasuk bagian dari i‟tibar al-mashalih. Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa kaidah fiqh induk ini ada lima proposisi. Inilah yang akan diuraikan dalam bahasan berikut. Kemudian diikuti kaidah-kaidah fiqih cabang, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan.

Kaidah ini diambil dan disarikan dari sejumlah nash-nash Al-Qur‟an dan hadits.

 

B.   Kaidah Induk

Artinya:  “Keyakinan  tidak  dapat  dihilangkan dengan keraguan” (as-Suyuthi, t.t:37)

Perlu dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan al-yaqin (yakin ) dalam kaidah di atas adalah: Sesuatu yang pasti, berdasarkan pemikiran mendalam atau berdasarkan dalil. Sedangkan yang adanya, sulit dipastikan mana yang lebih kuat dimaksud dengan asy- syakk (ragu): Sesuatu yang keadaannya belum pasti (mutaraddid), antara kemungkinan adanya dan tidak Kaidah ini diambil dari hadits sebagai berikut Yang Artinya “ apabila salah seoarang kamu mendapatkan  sesuatu  di  dalam  perutnya,  lau timbul persoalan apakah sesuatu itu telah keluar atau belum, maka janganlah keluar dari masjid hingga ia mendenggar suara atau mendapatkan baunya” (Hadits Riwayat Musli

Hadits ini menjelaskan tentang seorang yang semula dalam keadaan berwudu‟ lalu ia ragu apakah telah mengeluarkan angin atau belum, maka dalam hal ini ia harus dianggap masih keadaan berwudu‟. Sebab, keadaan berwudu‟ inilah yang sejak semula sudah menjadi keyakinan (al-yaqin) sedangkan keraguan (asy-syakk) baru muncul kemudian. Keyakinan yang ada itu tidak dapat dihapus dengan keraguan Kemudian kaidah ini didukung pula oleh hadits berikut ini:

Artinya:

“Apabila salah seoarang di antara kamu ragu dalam shalatnya, sehingga ia tidak mengetahui sudah berapa raka‟at shalat yang telah lakukan: tiga atau empat, maka hendaklah dilempar (dihilangkan) yang meragukan, dan dimantapkan apa yang sudah yakin”

Hadits ini menegaskan bahwa dalam hal jumlah hitungan yang meragukan, maka yang harus dipegangi adalah jumlah terkecil. Sedangkan jumlah terbesar haruslah dihilangkan sebab hitungan terbesar masih meragukan, sedangkan yang telah yakin adalah hitungan terkecil.

Dari kaidah di atas, muncul kaidah-kaidah lain, di antaranya adalah sebagai berikut:

Artinya: Hukum asal adalah tetap apa yang telah ada atas yang telah ada”

Umpamanya seseorang makan sahur merasa ragu apakah sudah terbit fajar atau belum, maka puasa seorang tersebut dianggap sah, karena menurut hukum asal diberlakukan keadaan waktunya belum terbit fajar. Contoh lain, seseorang membeli kulkas mengajukan gugatan kepada penjualnya dengan alasan kulkas yang dibelinya setelah sampai di rumah tidak berfungsi. Gugatan pembeli tersebut, tidak dapat dibenarkan. Karena menurut hukum asalnya kulkas itu dalam keadaan baik. Hal ini, dikecualikan kalau ada perjanjian–perjanjian tertentu sebelum menjadi transaksi jual beli, umpamanya perjanjian garansi.

Kemudian kaidah yang berbunyi:

Artinya: “Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”

Umpamanya seorang terdakwa tidak mau bersumpah, maka tidak dapat diterapkan hukuman. Karena menurut hukum asalnya seseorang itu bebas dari tanggungan atau beban. Yang harus bersumpah adalah pendakwa.

Kemudian kaidah berbunyi:

Artinya: Hukum asal adalah tidak adanya sesuatu”.

Umpamanya bila seseorang pekerja dengan modal orang lain (mudharabah) melapor kepada pemilik modal bahwa ia memiliki keuntungan hanya sedikit, maka laporan pekerja tersebut harus dibenarkan. Karena sejak semula memang belum ada keuntungannya. Kecuali ada indikasi lain, berupa tanda-tanda penipuan. Contoh lain: Apabila ada pertengakaran antara pembeli dan penjual tentang adanya cacat barang yang diperjual belikan. Bila pembeli ingin mengembalikan barang yang sudah dibeli atau ingin diganti dengan alasan cacat, maka penjual dapat menolak keinginan pembeli tersebut. Karena menurut asalnya barang tersebut tidak cacat, cacat itu baru datang kemudian. Ini tampaknya mengajarkan kepada pembeli untuk berhati-hati sebelum membeli.

Kemudian kaidah lain berbunyi:

Artinya:         Hukum  asal  sesuatu adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukan keharamannya”

Kaidah di atas bersumber dari sabda Rasul, riwayat al-Bazzar dan ath-Thabrani, yang berbunyi: Apa yang dihalalkan Allah, maka hukumnya halal, dan apa yang ia haramkan maka hukumnya haram, dan apa yang didiamkannya maka hukumnya dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemanfataan-Nya. Sesungguhnya Allah tidak melupakan sesuatu apapun. Hadits ini mengandung makna bahwa apa saja yang belum ditunjuki oleh dalil yang jelas tentang halal-haramnya, maka hendaklah dikembalikan pada hukum asalnya, yaitu mubah.

 Atas dasar kaidah yang ditopang oleh dalil di atas, maka dipahami bahwa:

“Umpamanya ada seekor hewan yang sulit ditentukan keharamannya, karena tidak ditemukan sifat-sifat dan ciri-ciri yang dapat dikategorikan hewan haram, maka hukumnya halal dimakan”.

Demikian juga seandainya ada jenis transaksi yang tidak jelas unsur-unsur yang mengharamkannya, maka boleh dilakukan. Ini sejalan dengan kaidah yang berbunyi : Artinya: “Hukum asal semua mu‟amalat adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan kebolehanya.”

Artinya:  Hukum  asal  semua  ibadat  adalah haram,  hingga  ada  dalil  yang  menunjukka kebolehanya.”                                

Kaidah ini dipegangi oleh Mazhab Hanafi, sedangkan kaidah sebelumnya dipegangi oleh Mazhab Syafi‟i. Dua kaidah yang tampak bertentangan ini sebenarnya dapat dikompromikan, yaitu: Bahwa kaidah yang dipegangi Mazhab Syafi‟i tersebut diterapkan dalam bidang mu‟amalah

kaidah lain:

Dari kaidah ini maka dapat dipahami kasus sebagai berikut, yaitu:

“Pada suatu saat ada seorang dokter melakukan operasi kandungan seorang ibu untuk mengeluarkan bayi yang ada di dalam rahimnya. Operasi tersebut ternyata sukses, dengan berhasilnya sang dokter mengeluarkan bayi dalam kandungan itu, dan dapat hidup selama beberapa hari. Tetapi seminggu kemudian bayi tersebut ditakdirkan Allah meninggal dunia. Berdasarkan kaidah di atas, maka dalam kasus semacam ini, sang dokter diminta pertanggung jawaban berupa keterangan logis atas kematianya, umpamanya tentang teknis penangannya. Sebab ada kemungkinan, bahwa kematiannya disebabkan sebab-sebab lain yang lebih dekat dengan peristiwa kematianya. Hal ini dikecualikan, manakala ada tanda-tanda lain yang dilakukan orang lain dan waktunya lebih dekat dengan kematian sang bayi”.

“Ada suatu kasus jual-beli ternak, yang harganya sudah disepakati oleh penjual dan pembeli. Si pembeli membayar harga ternak yang telah disepakati dengan cara tunai, kemudian membawa pulang ternak yang telah dibeli     tersebut.       Sesampai      tempat hendaklah dikaitkan dengan peristiwa- kediamannya, ternak tersebut diberi makanan tertentu. Tidak lama kemudian, ternak itu mendadak sakit dan terus mati. Dengan kejadian ini, maka si pembeli menggugat penjual dan menuntut ganti rugi atas kematian ternaknya yang diklaim telah sakit sebelum dibelinya. Berdasarkan kaidah di atas, gugatan pembeli tersebut tidak dapat dibenarkan. Sebab kematian ternak itu tidak dapat disandarkan kepada waktu sebelum ternak itu dibeli, tetapi peristiwa yang terjadi sesudah akad selesai. Dalam hal ini peristiwa yang terdekat dengan terjadinya kematian ternak ialah peristiwa pemberian makanan”.

Kemudian kaidah:

Artinya: “Barang siapa ragu-ragu apakah ia mengerjakan sesuatu atau tidak, maka menurut aslanya ia dianggap tidak melakukannya.”

Berdasarkan kaidah ini, maka dapat dipahami bahwa apabila seseorang ragu-ragu dalam pelaksanaan shalat, apakah ia mengerjakan i‟tidal atau tidak, maka ia hendaklah mengulangi pekerjaannya. Sebab, ia dianggap seakan-akan tidak atau belum mengerjakannya.

Kemudian kaidah:

Artinya: “Barang siapa telah yakin melakukan perbuatan dan ragu tentang banyak atau sedikitnya, maka (perbuatan itu) dibawa kepada yang sedikit.”

Berdasarkan kaidah ini, maka: Debitur yang berkewajiban mengangsur uang yang telah disepakati bersama kreditur merasa ragu apakah angsuran yang telah dilakukan itu enam kali atau tujuh kali, maka harus dianggap baru mengangsur enam kali. Karena, yang sedikit itulah yang sudah diyakini.

Kemudian kaidah:

Artinya: Hukum asal dalam pembicaraan adalah yang hakiki.”

Tegasnya, kaidah ini mengandung pengertian bahwa manakala terjadi perbedaan penafsiran ungkapan yang dijadikan pedoman adalah penafsiran berdasarkan arti hakikat dari lafaz itu sendiri

Umpamanya: Ada seseorang mengatakan: Saya mewakafkan harta milik saya kepada anak-anak saya. Dalam hal ini, maka apabila ada di antara cucunya yang menggugat, dengan maksud bahwa harta wakaf itu juga menjadi haknya, maka gugatan tersebut tidak dapat dibenarkan. Sebab, menurut arti hakikat perkataan „anak‟ terbatas pada anak kandung dari pihak yang berwakaf, tidak termasuk cucunya.

  1. Kaidah yang diperselisihkan oleh para Ulama
  • هل العبة بالحال أو المآل “Apakah ungkapan itu menurut keadaan atau menurut bendanya”. (as_suyuthi,TT:119).

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama.

Pertama, ulama yang mengatakan bahwa yang dipertimbangkan adalah keadaan.

Kedua, ulama yang mengatakan bahwa yang dipertimbangkan adalah benda. Konsekwensinya kalau ada orang shalat memakai baju pendek, yang ketika ia berdiri auratnya tidak kelihatan tetapi ketika rukuk nanti auratnya pasti akan kelihatan, maka menurut pendapat pertama, tidak sah shalatnya karena keadaannya akan tampak aurat ketika rukuk nanti. edangkan menurut pendapat kedua bahwa shalat seseorang tersebut tidak sah sejak semula, karena pakaian (benda) seperti itu.

  • هل النظر إلى المقصود أو إلى الموجود؟ Apakah pendapat kita itu harus melihat kepada yang dimaksudkan atau yang sudah ada?

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama.Pertama, ulama yang berpendapat dibolehkan berijtihad dan mengambil perkiraan yang kuat. Kedua, ulama yang berpendapat tidak dibolehkan berijtihad. Pemahaman dankonsekwensinya dapat dilihat dalam kasus sebagai berikut: Abdul Aziz memilki dua helai kain yang satunya suci dan yang satunya terkena najis tetapi karena najisnya telah kering maka sulit untuk menentukan secara pasti yang suci dan mana yang najis. Sementara itu,Abdul Aziz itu juga mempunyai kain lain yang sudah pasti sucinya, masih disimpan dilemari. Dalam menanggapi halini ulama pertama membolehkan Abdul Aziz berijtihadmenetukan tentang dua kain yang masih diragukan itu,untuk dipakai shalat. Ulama kedua, tidakmembolehkannya berijtihad tapi wajib mengambil kainyang ada dilemari.

  • هل النظر إلى المقصود أو إلى الموجد Apakah pendapat kita itu harus melihat kepada yang dimaksudkan atau yang sudah ada?

Ucapan lainnya Uji tuntas atau cedera. Penghakiman: Apakah itu berurusan dengan lahiriah dan batiniah, atau apakah itu hanya berhubungan dengan lahiriah? Dia benar. Ilustrasi Jika hakim atau orang lain membuat perintah berdasarkan ketersediaan elemen dan kondisi yang diminta olehnya Di jalan penghakiman nampak jelas di kanan dan di kanan, kemudian nampak di bagian dalam bahwa kondisi di mana ia dibangun itu cacat, sehingga penilaian di dalam dan kebenaran itu salah, begitu juga penilaian lahiriah menang dan aturan-aturan diterapkan, atau aturan dari dalam menang dan aturan-aturan dikembalikan. Dalam jawabannya ada dua ucapan, yang pertama: Dia melihat yang tampak, karena jalan telah memerintahkan kita untuk menilai Ternyata, itu adalah jumlah dari pengetahuan kami, dan kami tidak dipercayakan dengan hal-hal yang tersembunyi, karena dia – semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya kedamaian – berkata: “Saya tidak diperintahkan untuk menggali ke dalam hati orang, atau membuat perut mereka retak . ” Dan karena keputusan itu didasarkan pada pandangan yang sah, tidak ada alasan untuk membatalkannya. Kedua: bahwa penghakiman harus dibalik, untuk menunjukkan cacat pada apa yang dibangun di atasnya, dan karena apa yang telah ditemukan Kebenaran dari kesalahan di dalamnya tidak diperbolehkan untuk mengikuti makna yang terlihat, dan keputusannya berbeda pada masalah, dan yang benar adalah bahwa itu berkaitan dengan penilaian yang tampak saja.

 

  1. Kesimpulan

  • berbagai literatur qawa‟id fiqhiyah, macam-macam Dalam kaidah fiqh, secara umum disusun dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, kaidah-kaidah fiqh induk (al-qawaid al-asasiyah). Disebut induk, karena banyak kaidah-kaidah cabang yang dapat dikembalikan atau diproyeksikan kepadanya. Kedua, kaidah-kaidah fiqh cabang fiqh cabang fiqh cabang fiqh cabang yang diperselisihkan oleh para ulama.
  • al-Qadhi Abu Sa‟id mengembalikan semua persoalan mazhab Syafi‟i kepada empat kaidah hukum induk. Syaikh „Izzudin Ibn „Abd al-Salam, dalam bukunya Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, mengatakan bahwa semua masalah fiqh dapatdikembalikan kepada i‟tibar al-mashalih Sebab dar‟u al-mafasid termasuk bagian dari i‟tibar al-mashalih. Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa kaidah fiqh induk ini ada lima proposisi. Inilah yang akan diuraikan dalam bahasan berikut. Kemudian diikuti kaidah-kaidah fiqih cabang, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan

DAFTAR PUSTAKA

„Abd Rabbih, Muahammad as-Sa‟id „Ali. 1980. Buhuts fial-Adillah al-Mukhtalaf fiha „Ind al-Ushuliyin. Mesir: as-Sa‟adah.

Abdurrahman,Asymuni. 1976. Kaidah-Kaidah Fiqh(Qawa‟id Fiqhiyah), Bandung: Bulan Bintang.

Abu Sulaiman, „Abd al-Wahab Ibrahim. 1984. Al-Fikr al-Ushuli: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah. Mekkah:Dar asy-Syuruq.

Abu  Zahrah,  Muhammad.  1958.  Ushul  al-Fiqh.  Kairo:

Dar al-Fikr al-„Arabi.

Al-Ahwai, Thaha Jabir. 1990. Ushul al-Fiqh al-Islami:Source Methodology in Islamic Jurisprudence.Herdnon: The International of Islamic Thought.

Al-Amidi, Saefuddin. 1983. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.

Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah.

Al-Anshari, Nizhamuddin Zakariya. 1334 H. Fawatih ar-Rahamut Syarh Musallam ats-Tsubut. Beirut: Daral-Fikr.

Audah, Abdul Qadir. 1993. At-Tasyri‟ al-Jina‟i fi al-Fiqhal-Islami. Beirut: Dar al-Fi

Al-Bannani, 1983. Hasyiyah al-Bannani „Ala Syarah al-Mahalli „ala Matn Jam‟ al-Jawami‟. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah.

Dib al-Bigha, Mushthafa. 1987.At-Tahdzib fi Adillah Matn al-Ghayah wa at-Taqrib. Damaskus: Dar al-Imam al-Bukhari.

Farouq, Abu Zaid. t.t. asy-Syari‟ah al-Islamiyah Bain al-Muhafizhin wa al-Mujaddidin. Kairo: Dar al-Mauqif.

Al-Ghazali,Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad. 1322 H. Al-Mustashfa fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr.

Hallaq,B. Wael. 1997. A History of Islamic LegalTheories: An Introduction to Sunni Usul al-fiqh. Cambridge University.

 

 

 

 

 

 

 

LTN NU Kab. Tasikmalaya

Maju bersama ummat, umat kuat negara hebat

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button