NUPediaOpini
Trending

Kepemimpinan Perempuan

Oleh : Dian Rachmat N, M.Ag

Kepemimpinan Perempuan

Kepemimpinan perempuan juga dikisahkan dalam Al-Qur’an, yakni tentang Ratu Bilqis dari Saba’ yang sesungguhnya bermakna bahwa perempuan pun layak memimpin suatu bangsa, jika tidak, tak mungkin ada kisah tersebut di dalam Al-Qur’an. Walaupun demikian, terdapat dua dalil bagi orang yang menjadikannya sebagai alasan untuk melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kepemimpinan. Alasan pertama, yaitu Surah an-Nisa’/4: 34:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُۗ وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). (an-Nisa’/4: 34)

Maka ketika ada pertanyaan begini  “bisa tidak surat an-Nisa ayat 34, yang dikenal sebagai ayat kepemimpinan langsung dimaknai tidak semua laki laki menjadi Qawwam atas istrinya?” Dengan alasan bahwa setiap “lafad aam” pasti ada pengecualiannya? Saya menjawab, ya bisa saja. Hanya makna awalnya adalah ‘setiap laki laki menjadi Qawwam’ kecuali ada alasan lain. Inilah teori takhshis atau teori pengecualian.

Dalam teori takhshis, lafadz amm bisa (bahkan menurut Syafi’iyah bukan hanya bisa tapi harus) dikecualikan antara lain oleh tradisi dan bahkan oleh kemaslahatan (hikmatu at tasyri’). Jika menggunakan teori pengecualian atas dasar tradisi, berarti makna ayat itu adalah setiap laki laki menjadi Qawwam atas istrinya, kecuali ada tradisi lain yang menyatakan tidak demikian atau justru sebaliknya. Saya juga kemudian teringat pada “teori al” dalam gramatika arab (ilmu nahwu). Menurut ilmu Nahwu, huruf Al itu dibagi dua, ada Al Ahdiyah dan Al Jinsiyah. Al Ahdiyah dibagi menjadi 3, ad dikriy, ad dihniy dan Al hudhuriy. Sedang Al Jinsiyah dibagi dua yaitu Lil istigraq dan lita’rifil haqiqah. Yang Lil istigraq dibagi dua lagi, yaitu istigraqi jami’i afradil jinsi dan yang kedua istigraqi jami’i khashaisil jinsi, yang terakhir ini disebut pula sebagai Al alkamaliyah.

Apa hubungannya dengan Ar Rijalu qawwamuna?  Sebagian ulama menyatakan bahwa “huruf Al” yang ada pada kata Ar Rijalu adalah Al kamaliyah. Ini berarti makna ayat itu adalah “laki laki yang memiliki seluruh sifat sifat kelelakian adalah qawwam atas istrinya”. Mafhumnya, jika jenis kelamin laki laki itu tidak memiliki seluruh sifat sifat kelelakian itu, maka ia bukanlah qawwam atas istrinya. Ternyata sulit juga memaknai ayat itu. Hanya beda melihat huruf Al saja, bisa memiliki kandungan makna yang berbeda. Bayangkan kalau hanya baca terjemah dan tidak pernah belajar gramatika arab, pasti selalu merasa paling benar.[1]

Alasan kedua, yaitu hadits Nabi:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً. (رواه البخاري عن أبي بكرة)

Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan suatu urusan kepada perempuan. (Riwayat al-Bukhārī dari bū Bakrah)

Al-Qurtubi cenderung menafsirkan ayat tersebut dengan melihat aktivitas laki-laki sebagai pencari nafkah, sementara Ibnu ‘Abbās secara khusus menafsirkan kata qawwāmün sebagai pihak yang memiliki kekuasaan atau wewenang. Az- Zamakhsyarī menjelaskan bahwa kata itu berarti laki-laki wajib beramar ma’ruf nahi munkar kepada perempuan, sebagaimana penguasa kepada rakyatnya. Superioritas laki- laki tersebut menurut Rasyid Ridā, terjadi karena dua sebab, yaitu fitri dan kasbi. Sebab fitri terlihat bahwa lelaki lebih kuat, lebih tegap, dan sempurna. Sementara sebab kasbi terlihat bahwa laki-laki lebih mampu berusaha, berinovasi, dan bergerak. Oleh karena itu, lelaki dituntut untuk memberi nafkah kepada perempuan, menjaga, dan memimpinnya. Di pihak lain, perempuan diberi fitrah mengandung, melahirkan, menyusui, dan mendidik anak

Penafsiran seperti tersebut di atas berimplikasi jauh, yakni perempuan tidak berhak jadi pemimpin, bahkan mengatur hidupnya sendiri , ataupun meningkatkan kualitas dirinya sebagai hamba Alloh dan Khalifah, apalagi memimpin orang lain . Tentang keberhasilan kepemimpinan Ratu Bilqis di terangkan Al Qur’an dalam surah an Naml /27:  23-44, yakni mempunyai sifat-sifat demokratis, adil, bijaksana, penuh dedikasi, tidak suka tindak kekerasan, tidak angkuh, bertanggung jawab, dan yang terpenting mau menerima kebenaran

Kepemimpinan perempuan terkait dengan atau bagian dari kepemimpinan keluarga, kepemimpinan dalam ibadah perempuan juga dapat menjadi imam bagi sesamanya dan anak-anak. Perempuan juga dapat tampil dalam masyarakat sebagai pemimpin jika keterampilan memimpinnya dibutuhkan, bahkan sebagai pemimpin negara.[2]

 

[1] KH Imam Nakha’i, https://jabar.nu.or.id/opini/apakah-semua-laki-laki-menjadi-qawwam-ala-an-nisa-

[2] Kedudukan dan Peran Perempuan , Kemenag RI h. 6

LTN NU Kab. Tasikmalaya

Maju bersama ummat, umat kuat negara hebat

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button