A. ANJURAN MENIKAH, POLIGAMI, DAN MASKAWIN
Surah An-Nisa’ (4) Ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَثَ وربيع فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا . مَلَكَتْ أَيْمَتُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا وَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا
a. Makna Mufradât (Kosakata)
انكِحُوا : Kata inkih dalam ayat ini merupakan fil al-amr jamak dari ikä Kata dasarnya ialah nakaha. Secara etimologi kata ini berarti wuthul atau jima’ (mempergauli istri). Sebagian ahli bahasa menyebutka pula bahwa makna dasarnya ialah ‘aqad. Kedua makna ini dipuka dalam bahasa Arab. Nikâh dalam arti jima’ seperti yang tergamba dalam sabda Rasulullah:
Lakukanlah segala sesuatu, kecuali jima’ (nikah).
Jadi, kata “nikah” dalam hadis tersebut berarti “Jima”.” HR. Muslim (Al-Kahlant, S As-Salam, (Bandung: Maktabah Dahlan, tth), Jilid 1, hlm. 104.
Tafsir Ayat nikah dalam ayat ini berarti ‘aqad, yaitu suatu ijab dan kabul yang dilakukan oleh wali seorang wanita dan calon suami, di mana ‘agad itu membolehkan laki-laki mencampuri wanita yang dikabulnya dalam ‘aqad tersebut.
- Kata yatâmâ jamak dari yatim. Kata ini berasal dari kata yatama. Makna dasarnya ialah al-fard (tunggal) kemudian diartikan pula kepada faqd al-ab (ayahnya sudah tidak ada). Al-Lais mengatakan, yatim adalah seorang anak yang belum mencapai usia baligh dan ayahnya sudah meninggal dunia. Jika anak itu sudah baligh maka dia tidak lagi disebut dengan yatim. Menurut Abu Ubaydah, anak perempuan yang sudah meninggal ayahnya tetap disebut yatim selama dia belum menikah.[1]
- العدل : Kata al- -‘adl adalah masdar dari ‘adala, ya’dilu, ‘adlan, dan ‘adâlatan. Secara bahasa kata ini dimaknai dengan al-istiqamah (konsisten). Secara syar’i, kata ‘adalah diartikan kepada “menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dilarang agama.”[2] Pengartian ‘adil ini merupakan lawan dari fasik, seperti istilah ‘adil yang dipakai dalam kajian hadis dan hukum Islam. Di samping itu, kata al-‘adl dimaknai pula dengan “kemampuan dalam jiwa seseorang menghalangi dirinya untuk berbuat perbuatan yang dilarang.” Kata al-‘adl dalam ayat ini dapat dimaknai dengan pengartian al-‘adl yang terakhir, yaitu seorang suami harus berbuat adil terhadap istrinya. Artinya, seorang suami harus mampu menghalangi dirinya dari menyakiti istrinya dengan cara mencukupkan belanjanya dan tidak membedakannya dengan istrinya yang lain dalam hal belanja dan pembagian lainnya.
- صدقين : Kata shadugat merupakan jamak dari shadaqah, yang berarti suatu pemberian. Ia juga disebut dengan mahar atau maskawin, karena adalah harta yang diberikan kepada istri vebag tanda atau syarat terjadinya ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan wanita.
فكلوه Secara harfiah kata ini berarti “makanlah.” Akan tetapi, dal ayat ini ia tidak harus diterjemahkan kepada makan. la diartik kepada “ambillah.”
b , Sabab An-Nuzül (Sebab Turunnya Ayat)
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seorang Dinik perempuan yatim yang dipelihara oleh seorang laki-laki. Anak yatim in mempunyai harta benda. Laki-laki tersebut menikahinya karena mengharapkan harta benda anak tersebut. Kemudian dia memukul anak yatim itu dan mempergaulinya dengan buruk serta tidak memberikan sesuatu kepadanya Selanjutnya turunlah ayat:[3]
فإن خفتم ألا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَثَ
وزيع
Imam Al-Bukhari, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir. meriwayatkan dari Aisyah bahwa seorang laki-laki memelihara seorang anak yatim yang mempunyai kemuliaan dan keluhuran. Kemudian dia menikahi anak yatim itu dengan tidak memberikan sesuatu kepadanya. Selanjutnya turunlah ayat:[4]
فإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَث
وربيع
c. Syarah Ayat
Firman Allah
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَمَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَلَى وَالِدِينَ
وربيع Makas kalau kamu takut tidak berlaku adil kepada anak yatim, maka nikahilah orang-orang yang baik bagi kamu dari wanita dua, tiga, atau empat orang.
Ayat ini secara implisit mengandung anjuran menikah. Dalam hadis juga Jelaskan tentang keutamaan menikah. Di antara hadis tersebut ialah:
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعٌ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ : الْحَيَاءُ وَالتَّعَطَّرُ وَالسَّوَاكُ وَالنَّكَاحُ
Dari Abi Ayyub, dia berkata, Rasulullah berkata: Ada empat hal yang termasuk sunnah para rasul, yaitu; malu, berwangi-wangian, bersiwak, dan menikah.
Hadis di atas dengan jelas menyebutkan bahwa menikah itu merupakan sunnah para nabi; tidak hanya Nabi Muhammad tetapi juga nabi-nabi sebelumnya. Dengan demikian dapat pula ditegaskan, barangsiapa menikah maka berarti dia telah mengikuti sunnah para nabi tersebut. Dalam hadis yang lain disebutkan pula bahwa Nabi Muhammad bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَابٌ لا تَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ عَلَيْكُمْ بِالبَاءَةِ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْحِ فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءَ
Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, Kami pergi bersama Rasulullah dan kami (pada masa itu) masih bujang, kami tidak menyanggupi sesuatu apa pun. Kemudian Rasulullah berkata: Hai para bujang, hendaklah kamu menikah.[5]
Sesungguhnya nikah itu dapat memejamkan mata dan menyucikan kemaluan Besangeulpi di antara kamu yang tidak sanggup menikah, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu merupakan penghalang.
Hadis ini tidak hanya menyebutkan keutamaan menikah, tetapi juga mengandung anjuran menikah kepada para bujang.
Ayat di atas menggambarkan pula sikap atau etika yang harus dimiliki oleh orang-orang yang memelihara anak yatim. Apabila seseorang memelihara anak yatim perempuan dan dia tidak bisa berlaku adil kepadanya -yaitu khawatir kalau dia enggan memberikan maskawin kepada anak yatim itu karena anak asuhannya- maka sebaiknya dia tidak menikah dengan anak yatim tersebut. Dia lebih baik menikah dengan perempuan lain yang dia bisa berlaku adil terhadapnya.
Ayat 3 Surah An-Nisa’ (4) ini menggambarkan kebolehan poligami, yaitu eorang laki-laki boleh memiliki istri lebih dari satu, dua, tiga atau empat, baik mendapat persetujuan dari istri pertamanya ataupun tidak. Poligami itu paling banyak empat orang, tidak boleh lebih dari jumlah itu. Hal ini juga didasarkan atas sebuah hadis yang diriwayatkan dari Az-Zuhri:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّ غَيْلَانَ بْنِ سَلَمَةَ الثَّقَفِي أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَخَيْرُ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
Dari Ibnu Umar, bahwasanya Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam. Pada zaman jahiliah dia memiliki sepuluh orang istri, dan istri-istrinya itu masuk Islam pula bersamanya. Maka Nabi menyuruhnya memilih empat orang di antara mereka.[6]
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i, yang dia terima dari Naufal bin Mu’awiyah Ad-Daily, dijelaskan pula:
أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي خَمْسُ نِسْوَةٍ فَقَالَ لِي رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اخْتَرَ أَرْبَعًا أَيُّهُنَّ شِئْتَ وَفَارِقِ الْأَخْرَى
Saya masuk Islam dan saya ketika itu memiliki lima orang isteri , Maka Rasululloh berkata kepada saya, pilih empat di antara yang kamu sukai dan ceraikanlah yang lainnya.
Dengan keterangan ini jelaslah bahwa poligami itu tidak boleh lebih dari empat orang Firman Allah:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Miaka jika kamu takut bahwa kami tidak bisa berlaku adil maka (culap) satu mang (saja) atau budakmu, demikian itu lebih dekat agar tidak melampaui batas
Ilam membolehkan poligami dengan syarat jika suami dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya itu. Akan tetapi, apabila dia tidak bisa berlaku adil , muka tidak boleh memiliki istri lebih dari satu. Adapun yang dimaksud dengan di sini, seperti yang telah disinggung dalam makna mufradat, adalahkeadilan dalam memberikan nafkah, yang disesuaikan dengan keadaan masing- masing istri, dan pembagian waktu buat mereka. Adapun perasaan hati, yang tekadang lebih menyayangi yang satu dari yang lain, tidaklah mengapa selama ndak diwujudkan dalam tindakan atau perbuatan. Alquran juga menafikan Imampuan seorang suami menyamaratakan perasaannya terhadap semua istrinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrim), walanipun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”
Firman Allah:[7]
وَمَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Calon suami harus memberikan maskawin kepada calon istrinya. Hal hak seorang istri pada suaminya. Istri boleh bertahan dari memberikan pelayanan kepada suaminya, jika suaminya itu belum menyerahkan maskawin kepadanya.
Alquran tidak menentukan kuantitas harta yang harus diberikan suami kepada istrinya sebagai maskawin. Karena maskawin itu merupakan hak istri, maka dialah yang menentukan jumlahnya. Akan tetapi, apabila ‘aqad nikah telah berlangsung, sedangkan maskawin belum ditentukan jumlahnya dan suami telah mempergauli istrinya itu, maka suami tersebut wajib membayar mahar misal, yaitu seharga mahar kaum kerabat istri.
Firman Allah:
فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا
Jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Para suami boleh mengambil maskawin yang diberikan kembali oleh istrinya, jika dia memberikan dengan niat yang tulus, tidak ada unsur keterpaksaan. Al-Qurthubi menyebutkan bahwa suatu kaum dahulunya tidak suka menerima pengembalian maskawin yang telah diberikan kepada istrinya. Maka ayat ini turun guna menjelaskan bahwa mereka boleh saja menerima pengembalian tersebut.
[1] Imu Manzhur, Jamaluddin Muhammad bin Mukrim, Lisän Al-‘Arab, (Beirut: Dâr Al-Fikr, 1990), Jilid XII, hlm. 645.
[2] Ath-Thahanawi, Muhammad Ali bin Ali in Muhammad, Kasysyäf Isthilähat Al-Funün, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1998), Jilid III, hlm. 288.
[3] Ath-Thabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ Al-Baydn ft Tafsir Al-Qur’an, (Beint Dår Al-Jail, t.th), Jilid IV, hlm. 155.
[4] Ibnu Katsir, Imaduddin Abi Al-Fida” Isma’il bin Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘A (Bandung: Syirkah Nur Asia, t.th), Jilid 1, hlm. 449.
[5]At-Tirmiden, Suran At-Tamidzi, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th), hlm. 272, hadis ke-1086.
[6] Ibid, hlm. 273, hadis yang ke-1087. Ibid, hlm. 298, hadis yang ke-1138.
[7] QS. An-Nisa’ (4): 129.