(Pendiri Madzhab Syafi’i) (150 H-204 H)
Asy-Syafi’i dilahirkan di kampung Ghuzzah, wilayah Palestina pada Jumat akhir bulan Rajab tahun 150 Hijriah. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Sa’ib bin Abu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf. Ibunya bernama Fathimah binti Abdullah bin Hasan bin Husain bin Ali Bin Abi Thalib.
Asy-Syafi’idilahirkan tepat pada malam wafatnya Imam Abu Hanifah. Oleh karena itu, setelah nama Asy-Syafi’i mulai terkenal, muncul ungkapan, “Telah tenggelam satu bintang dan muncul bintang yang lain.”
Asy-Syafi’i lahir di tengah-tengah keluarga miskin. Ayahnya meninggal ketika beliau masih kecil. Kemudian ibunya membawanya ke Mekah. Ia hidup sebagai seorang anak yatim yang faqir dari keturunan bangsawan tinggi, keturunan yang paling tinggi di masanya, Asy-Syafi’i hidup dalam keadaan sangat sederhana. Namun, kedudukannya sebagai putra bernasab mulia menyebabkan ia terpelihara dari perangai buruk, selalu berjiwa besar, dan tidak menyukai kehinaan diri.
Setelah dididik di Mekah, beliau dimasukkan ke madrasah. Berkat usaha ibunya, beliau telah menghafal Al-Quran pada usia sembilan tahun. Kemudian Asy-Syafi’i melanjutkan belajarnya kepada majelis ulama besar di mesjid Al-Haram yang diasuh oleh dua ulama kenamaan, yaitu Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid Az-Zanji. Dari kedua ulama tersebut, beliau mulai mendalami ilmu-ilmu Al-Quran dan Al-Hadis sekaligus menghapalkannya.
Ketika gurunya, Muslim bin Khalid, memperhatikan kemajuan yang pesat pada Asy-Syafi’i dan menganggapnya telah cukup menguasai persoalan- persoalan agama, beliau diizinkan untuk memberikan fatwa kepada masyarakat. Ketika itu usianya baru lima belas tahun. Sungguhpun telah memperoleh kedudukan yang tinggi tersebut, beliau mencari ilmu karena ilmu itu merupakan lautan tak bertepi.
Ketika beliau mengetahui bahwa di Madinah ada seorang ulama besar yang terkenal dan ahli ilmu dan hadis, yaitu Imam Malik bin Anas, Asy- Syafi’i berniat untuk belajar kepadanya. Sebelum pergi ke Madinah, beliau lebih dahulu menghapal kitab Al-Muwaththa’, susunan Imam Malik yang telah berkembang pada masa itu. Kemudian beliau berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan membawa surat dari Gubernur Mekah. Asy-Syafi’i menerima didikan sang Imam. Ketika sang guru membacakan Al-Muwaththa’, beliau mendengarkannya dengan khusyu. Setelah agak lama Asy-Syafi’i berkata dengan sopan, “Maaf tuan guru, agar tuan tidak payah, barangkali saya akan meneruskan bacaan tuan guru. Insya Allah saya sudah menghapalkan semua.” Imam Malik merasa bangga mendengar ucapan muridnya itu dan beliau menyimak dengan saksama hapalan hadis dari Asy- Syafi’i.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap musim haji para jamaah haji setelah melaksanakan manasik, mereka berziarah ke makam Rasulullah SAW., dan melakukan shalat Arba’in di mesjid Nabawi sekaligus mengikuti pengajian kitab Al-Muwaththa’ yang diasuh oleh Imam Malik bin Anas. Sejak Asy-Syafi’i berguru kepada beliau, Asy-Syafi’i sering ditugasi menjadi badal (asisten) Imam Malik dalam mengajarkan Al-Muwaththa kepada para jamaah haji. Melalui media inilah, nama Asy-Syafi’i mulai dikenal luas. Inilah pula yang menjadi pendorong Asy-Syafi’i untuk mengadakan perlawatan ke Irak, Yaman, Mesir, dan negara lain di kemudian harinya. Singkatnya, Imam Asy- Syafi’i menerima ilmu, fiqih dan hadis dari banyak ulama besar Mekah, Madinah, Irak, dan Yaman.
Imam Asy-Syafi’i pertama mengembangkan madzhabnya di Irak (Baghdad), lalu kembali ke Mekah dan di kota inilah beliau mengadakan majelis ilmu dan madzhabnya mulailah tersebar. Kemudian beliau kembali ke Baghdad dan pada tahun 199 H., beliau pergi ke Mesir. Pada waktu itu kesuburan Ilmu Imam ASy-Syafi’i telah sampai puncaknya. Di kota inilah Asy-Syafi’i membentuk madzhab Jadid-nya dan melepaskan madzhab qadim- nya yang dibentuk ketika di Irak. Di kota ini pula Imam Asy-Syafi’i meng- imla’-kan (mendiktekan) kitab-kitabnya kepada murid-muridnya.
Imam Asy-Syafi’i wafat di Mesir, tepatnya pada hari Jumat tanggal 30 Rajab 204 Hijriah, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga saat ini masih banyak dibaca orang, dan makam beliau di Mesir sampai detik ini masih diziarahi orang. *)