OpiniSantai

Etika berhutang dalam Islam Menurut Tafsir Klasik dan Kontemporer

Ditulis oleh Dian Rahmat Nugraha, M.Ag

 

Abstrak

Jagat media sosial hari-hari ini banyak memberitakan kasus seputar hutang piutang dengan konotasi yang kurang mengenakkan seperti lika-liku susahnya menagih hutang, tidak kembalinya uang yang dipinjamkan, atau bahkan yang tragis adalah dilaporkannya orang yang menghutangi kepada pihak berwajib oleh orang yang berhutang. Berangkat dari fenomena-fenomena tersebut, Penulis  ingin menilik kepada penafsiran Al-Quran surat al-Baqarah (2): 282-283 tentang etika berhutang dalam Islam. Dalam tafsir klasik dan kontemporer  menjadi pilihan penulis sebab metode indahnya yang memadukan antara tafsir bi al-ma‘ṡūr dan bi al-ma‘qūl. Terlebih kepiawaiannya dalam masalah fikih juga turut mewarnai penulisan tafsirnya tanpa tendensi pada suatu mazhab tertentu.. Setelah melewati proses analisa data, kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat beberapa etika berhutang dalam Islam yang telah Allah jelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 282-283, yaitu: (1) Mencatat transaksi, (2) Hendaklah yang berhutang membacakan kepada pencatat tanpa mengurangi dari jumlah hutangnya, (3) Menghadirkan saksi dalam transaksi, (4) Hendaklah juru tulis atau saksi tidak menolak jika diminta, (5) Tidak bersikap saling membahayakan, (6) Hendaklah mengambil barang dari orang yang berhutang sebagai jaminan, dan (7) Bertakwa kepada Allah.

Kata Kunci: hutang piutang, tafsir klasik dan kontemporer, etika berhutang

1.  PENDAHULUAN

Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia sebagai makhluk sosial akan membutuhkan orang lain. Contohnya adalah dalam hal pemenuhan rezeki. Berbagai cara seperti jual beli, hutang piutang, atau bahkan yang dilarang oleh Allah seperti riba, banyak manusia lakukan. Berbicara tentang hutang piutang, media sosial hari-hari ini banyak memberitakan kasuskasus seputar hal tersebut dengan konotasi yang kurang mengenakkan.

Banyak hal terjadi, seperti uang yang tidak kembali lagi kepada pemiliknya, dilaporkannya orang yang menghutangi kepada pihak berwajib oleh orang yang berhutang itu sendiri, atau yang tragis lagi adalah adanya kasus perempuan yang berpura-pura meninggal kemudian fotonya disebarkan di media sosialnya agar ia tak lagi ditagih hutang. Berita-berita yang terus bergulir tersebut jika dibiarkan akan menumbuhkan stigma buruk pada masyarakat terhadap hutang. Padahal Allah mensyariatkan hutang piutang sebagai solusi daripada riba. Bahwa riba diharamkan karena di dalamnya terdapat sikap kekerasan dan aniaya, sedang dalam hutang piutang terdapat sikap tolong menolong. Dalam tafsir Kemenag RI disebutkan, bahwa syariat hutang piutang diturunkan agar tidak ada anggapan bahwa hutang piutang itu haram sebagaimana riba diharamkan, dan ia merupakan sebab beredarnya uang.

Di dalam Al-Quran terdapat ayat yang oleh para mufassir sering disebut sebagai ayat mudāyanah atau ayat dain, yaitu Q.S. Al-Baqarah (2): 282-283. Di dalam ayat tersebut terkandung hukum-hukum terkait hutang piutang yang akan membawa kebaikan bagi individu dan sosial. Pada ayat tersebut, jika menilik hasil penafsiran dari para mufassir lain, maka ditemukan beberapa sudut pandang yang beragam satu dengan yang lain. Contoh saja, pembahasan mengenai siapa yang berhak untuk mendiktekan kepada juru tulis hal-hal yang harus dicatat dalam surat tanda bukti transaksi. Al-Maragi dengan tegas menjelaskan bahwa orang yang menghutangi-lah yang harus mendiktekan kepada juru tulis transaksinya. Berbeda dengan al-Maragi, Sayyid Quṭb dan Quraish Shihab justru menafsirkan orang yang berhutang-lah yang berkewajiban mendiktekan kepada juru tulis transaksi hutangnya. Keduanya sekalipun mempunyai alasannya masing-masing, namun sependapat bahwa yang berhutang adalah lemah keadaannya. Kemudian dalam hal hukum mencatat dan menghadirkan saksi, misalnya. Kembali didapati hasil penafsiran dari para mufassir yang amat beragam. Sayyid Quṭb menafsirkan adanya kewajiban untuk mencatat maupun menghadirkan saksi dalam masalah ini, tidak ada pilihan.. Ibnu Katsir yang di dalam kitab tafsirnya mengutip pendapat pendapat Abū Sa‘īd al-Khudri dan mengiyakan adanya nasakh pada ayat ini, menafsirkan bahwa tidak ada lagi kewajiban mencatat ataupun menghadirkan saksi jika kedua belah pihak saling mempercayai. Melihat keragaman penafsiran di antara para ulama’ tafsir di atas, menjadikan penelitian ini semakin menarik untuk dilakukan. Kitab tafsir Al-Munīr karya Wahbah al-Zuhaili menjadi pilihan peneliti dikarenakan ia memadukan dua metode tafsir sekaligus, bi al-Maˊṡūr (periwayatan) dan bi al-Ma‘qūl (Rasional), sehingga selain merujuk pendapat-pendapat ulama’ terdahulu, tafsir al-Munīr juga mengutip pemahaman ulama’-ulama’ kontemporer. Wahbah juga menuliskan kitab tafsir Al-Munir ini setelah ia menyelesaikan penulisan dua kitabnya yang sangat fenomenal, yaitu “Ushūl al-Fiqh al-Islāmy dan al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuhu.” Sehingga penafsirannya pada ayat masalah utang piutang ini sangatlah didasari pada 3 keilmuannya yang begitu mendalam dalam masalah fikih. Penelitian ini akan berfokus pada etika berhutang dalam Islam menurut Wahbah al-Zuhail

 

2.    HASIL DAN PEMBAHASAN

·    Penafsiran Q.S. Al-Baqarah (2): 282-283 dalam Tafsir kontemporer

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔاۗ فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْاۗ وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

 

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan, hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan, janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari utangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya), atau ia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan, persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi- saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan, bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (282)

Ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 282 diturunkan untuk menjaga agar tidak terjadi sengketa di masa mendatang. Ayat ini merupakan himbauan kepada manusia untuk menuliskan perjanjian dan mendatangkan saksi dalam setiap transaksi, baik utang-piutang maupun jual beli.

Ayat ini juga dikenal sebagai Ayat al-Mudayanah (ayat hutang-piutang). Berikut beberapa hal yang tercantum dalam ayat ini:

  • Mencatat dan membukukan utang-piutang
  • Menghadirkan dua orang saksi
  • Saksi tidak boleh enggan
  • Tidak boleh bosan menuliskan
  • Juru tulis tidak boleh merugikan
  • Tidak boleh menyembunyikan kesaksian

Menurut Imam Fahrurrozi dan mayoritas ulama, perintah pencatatan hutang-piutang dalam ayat ini bersifat anjuran atau kesunahan, bukan wajib.[1]Ayat 282 surat al-Baqarah ini merupakan ayat terpanjang di al-Quran, oleh Wahbah dijelaskan bahwa hal ini menunjukkan Islam bukanlah agama rahbānah, Islam justru mengajarkan ummatnya bagaimana cara menjaga harta, memelihara hak-haknya, dan juga mengembangkannya. Permulaan ayat tadāyantum Wahbah tafsirkan sebagai transaksi tidak tunai, termasuk di dalamnya adalah hutang piutang, jual beli, dan juga pesanan (akad salam). Dalam melakukan transaksi di atas, seseorang wajib membuat surat tanda bukti yang disertakan di dalamnya keterangan tempo waktu pelunasan. Tempo waktu harus disebutkan secara pasti agar tak dapat dimaknai bermacam-macam. Adapun siapa yang berhak untuk menjadi pencatat/juru tulis, menurut penafsiran Wahbah adalah ia yang amanah, adil, netral, memahami fikih dan beragama dengan baik, dan cermat. Syarat adil didahulukan daripada syarat berilmu, karena adil menjadikan seseorang dapat mencatat surat tanda bukti dengan baik, sedangkan ilmu tanpa adil tidak berarti apa-apa. Jika seseorang mempunyai kemampuan tersebut di atas, maka dia tidak berhak untuk menolak jika diminta untuk menjadi juru tulis. Firman Allah: “Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya.” Selanjutnya terkait siapa yang berhak untuk mendiktekan kepada pencatat apa yang harus ditulis dalam surat tanda bukti, Wahbah menafsirkan bahwa orang yang berhutang-lah yang melakukannya. Tanggung jawab dari apa yang tersebut dalam surat tanda bukti adalah tanggung jawabnya. Pun juga surat tersebut adalah bukti atas dirinya, jika di kemudian hari terjadi sengketa ia tak akan dapat mengingkarinya. Penafsiran Wahbah ini memiliki kesamaan dengan beberapa mufassir yang telah peneliti sebutkan sebelumnya di atas, seperti Sayyid Quṭb dan Quraish Shihab. Berbeda dengan al-Maragi yang justru menurutnya orang yang menghutangi-lah yang mendiktekan, agar ia memiliki bukti di kemudian hari jika terjadi sengketa atau hal lainnya. Lain halnya jika yang berhutang adalah orang yang lemah akal/keadaanya. Maka walinya berhak untuk mendiktekannya.

Ketentuan selanjutnya adalah anjuran untuk mengukuhkan pencatatan dengan menghadirkan saksi sejumlah dua laki-laki atau satu laki-laki dan dua perempuan. Syarat seseorang dapat ditunjuk menjadi saksi adalah islam merujuk kepada firman Allah, min rijālikum, dan juga adil. Menjawab pertanyaan-pertanyaan perihal mengapa kesaksian satu laki-laki disamakan dengan dua perempuan, menurut Wahbah adalah bertujuan untuk saling mengingatkan di antara keduanya (perempuan) karena perempuan kurang mempunyai kejelian jika dalam masalah seperti ini. Sekalipun ditemukan perempuan-perempuan pada hari ini yang bekerja di dunia bisnis, maka itu tetap tidak menghapus 7 ketentuan yang sudah ada. Wahbah melanjutkan penafsirannya, bahwa bagi saksi juga tidak boleh menolak jika diminta, baik menolak menjadi saksi maupun menolak untuk bersaksi di pengadilan. Allah melarang manusia merasa bosan, malu atau malas untuk mencatat transaksi baik jumlahnya sedikit maupun banyak. Selanjutnya Wahbah menyimpulkan bahwa hukum mencatat dan menghadirkan saksi menurutnya adalah sunnah, mengikuti pendapat jumhur ulama’. Penafsiran Wahbah dalam masalah hukum mencatat dan menghadirkan saksi ini berbeda dengan pendapat beberapa mufassir lain yang telah peneliti sebutkan sebelumnya. Sayyid Quṭb berpendapat wajibnya mencatat dan menghadirkan saksi dalam masalah ini, berlandaskan pada banyaknya hikmah daripadanya yang telah Allah sebutkan di akhir ayat 282. Al-Maragi juga sependapat, meskipun kemudian ia menjelaskan adanya rukhṣah yang datang di ayat berikutnya, 283. Rukhṣah tersebut adalah jika seseorang berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan seperti perjalanan. Kebalikan dari keduanya, ada Ibnu Katsir yang berpendapat bahwa ayat 283 menghapus ayat 282, sehingga tidak ada lagi kewajiban bagi manusia untuk mencatat atau mempersaksikan jika kedua pihak saling mempercayai. Hikmah dari seluruh perintah dan larangan pada masalah ini menurut Wahbah adalah, pertama, bahwa bukti tulisan dan juga saksi dapat lebih menjamin kebenaran dan terjauhkan dari kebohongan atau manipulasi serta dapat lebih menjamin terciptanya keadilan. Kedua, tulisan juga menjamin bahwa persaksian yang disampaikan benar adanya. Ketiga, menghapus ketidakpastian seperti dalam menentukan jumlah dan batas waktu pelunasan hutang.

Selanjutnya, terdapat larangan bagi seluruh pihak yang terlibat, baik orang yang berhutang, yang menghutangi, pencatat maupun saksi, saling membahayakan atau merugikan. Berdasarkan firman Allah  . وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْد Menurut Wahbah, hal ini karena lafal َلَا يُضَاۤرَّ memiliki kemungkinan dua akar kata, yaitu bentuk ma’lūm yuḍārira dan bentuk majhūl yuḍārara. Bentuk membahayakan terhadap saksi atau pencatat seperti memaksa untuk mengubah isi catatan atau kesaksian. Bentuk membahayakan saksi atau pencatat terhadap kedua pihak seperti menolak menjadi pencatat atau saksi, atau menolak memberikan kesaksian, atau mengubah dan memanipulasi isi catatan atau kesaksian. Ayat berikutnya, yaitu 283, menjelaskan hukum masalah sebelumnya jika dalam kondisi bepergian. Allah mensyariatkan adanya barang jaminan apabila mencatat dan mempersaksikan adalah suatu hal yang tidak mungkin dilakukan dalam kondisi tersebut. Wahbah menafsirkan bahwa sesuatu yang menjadi barang jaminan seharusnya adalah barang yang ada dan sedang dipegang pada saat transaksi. Kondisi sedang dalam perjalanan adalah sebuah udzur atau alasan. Dan ini menurut Wahbah masih dapat ditafsirkan dengan hal lain yang serupa, yaitu keadaan yang dapat menyebabkan tidak dapatnya kedua belah pihak untuk mencatat dan mempersaksikan. Terkait hukum mencatat dan menghadirkan saksi, Wahbah kemudian jelaskan dalam kitabnya usai menafsirkan kedua ayat di atas, bahwa hukum keduanya adalah sunnah. Dan perintah mencatat yang terdapat dalam ayat, menurut Wahbah sekaligus menjadi perintah mempersaksikan. Karena bukti catatan tidak akan berarti di pengadilan tanpa adanya saksi. Jika dilihat dari penafsiran beberapa mufassir lain yang telah peneliti sebutkan di atas, penafsiran Wahbah mempunyai kesimpulan yang berbeda terutama dalam dua masalah tersebut. Dan penafsiran mereka tidak lepas dari pandangan mereka terkait ada atau tidaknya nasakh dalam dua ayat ini. Sayyid Quṭb dan Al-Maragi berpendapat wajibnya mencatat dan mempersaksikan karena keduanya tidak meyakini adanya nasakh. Ibnu Kaṡīr berpendapat tidak ada lagi kewajiban mencatat dan mempersaksikan jika kedua belah pihak saling mempercayai. Hal ini berdasarkan pendapatnya yang meyakini bahwa ayat 283 menasakh ayat 282[2]

Firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya,” ini merupakan bimbingan dari Allah Ta’ala bagi hamba- hamba-Nya yang beriman, jika mereka bermuamalah melalui aneka jenis muamalah yang tidak tunai, maka hendak mereka mencatatnya, agar catatan itu dapat menjaga batas waktu muamalah itu, serta lebih meyakinkan kepada orang yang memberi kesaksian. Hal ini diingatkan oleh Allah pada akhir ayat dengan firman-Nya, “Yang demikian itu lebih adil pada sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih dekat kepada ketidakraguan.”

Berkaitan dengan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskan. nya,” Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dan Ibnu Abbas, “Ayat ini diturunkan berkaitan dengan masalah salam (mengutangkan) hingga waktu tertentu. Saya bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk diselesaikan dalam tempo tertentu adalah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah.” Kemudian dia membaca ayat, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan ditegaskan dalam ash Shahihain, dari Ibnu Abbas, dia berkata bahwa Nabi saw, tiba di Madinah, sedang penduduknya mengutangkan buah selama satu, dua, atau tiga tahun. Maka Rasulullah saw. bersabda,

إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

   مَنْ أَسْلَفَ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ

Barangsiapa yang meminjamkan sesuatu, hendaklah dia melakukannya dengan takaran, timbangan, dan jangka waktu yang pasti.” (HR Bukhari dan Muslim)

Firman Allah, “hendaklah kamu menuliskannya” merupakan perintah dari-Nya agar dilakukan pencatatan untuk arsip. Perintah di sini merupakan perintah yang bersifat membimbing, bukan mewajibkan. Abu Said, asy-Sya’bi, Rabi’ bin Arras, dan yang lainnya mengatakan bahwa pada mulanya mencatat transaksi itu wajib, kemudian hal itu dinasakh oleh firman Allah, “Namun, apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain. maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya.” (Yang dinasakh adalah kewajiban mencatat, bukan mencatat itu sendiri, karena mencatat transaksi lebih utama.)

 

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw., beliau bercerita, Sesungguhnya ada seorang Bani Israil yang memohon kepada Bani Israil Jainnya untuk meminjamkan uang seribu dinar. Orang yang meminjamkan berkata, Datangkanlah saksi-saksi. Aku ingin mempersaksikan peminjaman ini kepada mereka. Peminjam berkata, ‘Cukuplah Allah sebagai saksinya. Orang yang meminjamkan berkata, ‘Datangkanlah seorang penjamin.’ Peminjam berkata, ‘Cukuplah Allah sebagai penjamin. Orang yang meminjamkan berkata, ‘Kamu benar. Kemudian dia memberikan uang itu hingga tempo tertentu.

Peminjam uang pergi ke laut untuk memenuhi hajatnya. Kemudian dia merasa sangat membutuhkan perahu untuk mengantarkan uang pinjaman yang sudah jatuh tempo pembayarannya. Namun, dia tidak menemukannya. Kemudian dia mengambil kayu dan melubanginya. Lalu dia memasukan ke dalamnya uang seribu dinar berikut secarik tulisan yang ditujukan kepada pemilik uang. Kemudian melapisi- nya agar tak terkena air. Lalu dia membawa kayu ke laut. Dia berkata, Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya telah meminjam uang seribu dinar kepada si Fulan. Dia meminta penjamin dariku, kemudian kukatakan bahwa cukuplah Allah sebagai penjamin, dan dia pun rela. Dia memintaku mendatangkan saksi, lalu kukatakan bahwa cukuplah Allah sebagai saksi, dan dia pun rela. Sesungguhnya aku telah berusaha untuk mendapatkan perahu yang akan kugunakan untuk mengantar- kan utangku kepadanya, namun aku tidak mendapatkannya. Kini, kutitipkan uang itu kepada-Mu.’ Kemudian dia melemparkan kayu itu hingga tenggelam. Dia pun pergi. Walaupun demikian, dia tetap berusaha mencari perahu yang menuju ke negeri orang yang meminjamkan. Kini, orang yang meminjamkan uang pergi untuk menanti. Barangkali ada perahu datang membawa piutangnya. Tiba-tiba dia menemukan kayu yang berisi uang itu. Dia membawanya pulang sebagai kayu bakar untuk istrinya. Tatkala dia membelahnya, dia menemukan uang dan secarik pesan. Di lain pihak, si peminjam pun datang juga membawa seribu dinar. Dia berkata, Demi Allah, sebelum aku datang sekarang, aku senantiasa berusaha untuk mendapatkan perahu guna mengantarkan pinjaman ke- padamu. Orang yang meminjamkan berkata, ‘Apakah kamu mengirimkan sesuatu kepadaku? Peminjam berkata, Bukankah telah kuceritakan kepadamu bahwa aku tidak menemukan perahu, sebelum saya mendapatkannya sekarang ini? Orang yang meminjamkan berkata, “Sesungguh- nya Allah telah mengantarkan pinjaman mu yang kau taruh dalam kayu. Maka gunakanlah uangmu yang seribu dinar itu dengan baik.” Sanad riwayat ini sahih. Al- Bukhari meriwayatkan pula kisah ini dalam bentuk yang ketat.

Firman Allah, dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menadiskermut dengan benar, yakni dengan tepat dan benar. Dia tidak boleh merugikan salah satu pihak dan tidak boleh menuliskan kecuali apa yang telah disepakati, tanpa menambah atau mengurangi. Firman Allah, “Penulis tidak boleh menolak untuk mencatat sebagaimana telah diajarkan oleh Allah. Hendaklah die mencatat.” Maksudnya, orang yang cakap menulis tidak boleh menolak, apabila dia diminta untuk menulis bagi kepentingan orang lain dan tidak menyusahkan diri nya, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya apa yang sebelumnya tidak diketahuinya. Maka, hendaklah dia berbuat baik kepada orang lain yang tidak cakap menulis. Dan tulislah! Dalam sebuah hadits dikatakan, “Sesungguhnya termasuk sedekah bila kamu membantu tukang atau kamu membantu dalam pembakaran.”

Firman Allah, “Dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah. Yakni, hendaklah orang yang menerima pinjaman mendikte- kan kepada penulis jumlah utang yang menjadi tanggungannya, dan hendaklah dia bertakwa dalam melakukan hal itu. “Dan janganlah dia mengurangi sedikit pun dari utang- nya,” maksudnya janganlah dia menyembunyikan sedikit pun mengenai hal itu. “Jika orang yang memiliki kewajiban itu tidak cakap dan dilarang melakukannya karena suka tergesa-gesa dan semacamnya, “atau lemah,” yaitu kecil atau gila, “atau dia tidak mampu mendiktekannya,” baik karena ca- cat atau tidak mengetahui letak kebenaran, “maka hendaklah walinya mendiktekannya de- ngan adil.” Firman Allah, “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu” merupakan perintah untuk mempersaksikan, di samping mencatatnya, supaya menambah validitasnya. “Jika dua orang saksi laki-laki tidak ada” hal ini hanya berlaku bagi perkara yang menyangkut harta dan yang diasumsikan sebagai kekayaan-maka dua orang wanita dipadukan dengan seorang laki-laki lantaran wanita kurang penalarannya, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., dia bersabda,

 

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدِّقْنَ وَأَكْثَرْنَ الاسْتِغْفَارَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنْ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ

وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ قَالَ تُكْثَرُنَ

الله وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عقلِ وَدِينِ أَغْلَبَ لِذِي لُبِّ مِنْكُنَّ قَالَتْ يَا رَسُولَ

الله وَمَا تُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ أَمَّا نُقْصَانُ

الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا

نقْصَانُ الْعَقْلِ وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي لَا تُصَلَّى وَتُقْطَرُ فِي رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ

“Wahai kaum wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah istighfar, karena aku melihat bahwa sebagian besar di antara kalian menjadi penghuni neraka. Salah seorang diantara wanita itu bertanya dengan petah, ‘Wahai Rasulullah, mengapa kebanyakan kami menjadi ahli neraka?” Nabi bersabda, ‘Kalian banyak mengutuk dan tidak bersyukur kepada suami. Saya tidak melihat orang-orang yang kurang penalaran dan agamanya yang paling dominan di antara pemilik akal selain daripada kalian. Wanita itu bertanya, ‘Apa yang dimaksud dengan kurang penalaran dan agama?’ Nabi bersabda, ‘Yang dimaksud dengan kurang penalaran adalah kesaksian dua wanita sepadan dengan kesaksian seorang laki-laki. Inilah maksud kekurangan penalaran (ingatan). Wanita pun berdiam beberapa hari, tidak shalat, dan berbuka pada bulan Ramadhan, dan inilah yang dimaksud dengan kekurangan agamanya.” (HR Muslim)

Firman Allah Ta’ala, “Di antara para saksi yang kamu ridhai.” Penggalan ini menunjukkan adanya syarat berupa sifat adil pada saksi. Ayat yang menunjukkan bahwa saksi itu harus adil dan diridhai ini pun digunakan untuk menolak perkara yang ditutup-tutupi. bila absi yang satu khilaf,” yakni apabila kedua perempuan itu lupa atas kesaksian- nya, “maka saksi yang lain mengingatkannya,” saksi vakni saksi laki-laki dapat mengingatkan kesaksian yang sebenarnya.

Firman Allah Ta’ala, “Para saksi tidak boleh menolak apabila mereka dipanggil.” Ada pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat itu ialah apabila mereka dipanggil untuk menjadi saksi kondisi suatu kejadian, maka mereka harus memenuhi. Dari penggalan ini dapat dipahami bahwa memberikan kesaksian merupakan fardhu kifayah. Ada yang mengatakan, itu pendapat jumhur ulama. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah, “para saksi tidak boleh menolak apabila mereka dipanggil” untuk memberikan kesaksian (ihwal kasus yang dahulu telah disaksikannya). Mujahid dan yang lainnya mengatakan, “Apabila Anda dipanggil untuk memberikan kesaksian, maka Anda berada dalam suatu pilihan (dapat bersedia dan dapat tidak). Namun, jika Anda telah bersedia untuk memberikan kesaksian, lalu dipanggil, maka Anda wajib memberikan kesaksian tadi.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa penggalan ini dapat mencakup dua hal: menjadi saksi dan memberikan kesaksian (sebagai kelanjutan dari menjadi saksi). Firman Allah, “Janganlah kamu merasa jemu untuk mencatat kejadian, baik kecil maupun besar, sampai batas waktunya.” Dan firman Allah, “Yang demikian itu lebih adil pada sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih dekat kepada ketidakraguan.” Yakni, perkara yang telah Kami perintahkan kepadamu ini adalah lebih adil dan lebih menguatkan kesaksian, yakni lebih memantapkan bagi saksi jika dia melihat tulisannya yang mengingatkan kepada kesaksiannya, karena mungkin saja dia lupa, jika tidak ditulis; dan lebih dekat kepada tiadanya keraguan. Bila terjadi perselisihan, maka tulisan yang dahulu telah kamu tulis itu dapat dirujuk sehingga permasalahan dapat dijernihkan tanpa keraguan.

Firman Allah, “Kecuali berupa perdagangan tunai yang dilakukan di antara kamu, maka tidak mengapa jika kamu tidak mencatat- nya. Maksudnya, jika jual beli itu disaksikan dan kontan, maka tidak apa-apa apabila tidak dicatat karena hal-hal yang dikhawatirkan karena tidak mencatatnya pun tidak ada.

Adapun mempersaksikan jual beli, maka Allah Ta’ala berfirman, “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.” Yakni, persaksikanlah apa yang menjadi kewajibanmu, baik transaksi itu mengandung tempo maupun tidak. Oleh jumhur ulama, penggalan ini diartikan sebagai bimbingan dan anjuran, bukan sebagai kewajiban. Alasannya ialah hadits Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Umarah bin Khuzaimah bahwa pamannya, dan dia adalah salah seorang sahabat Nabi saw., menceritakan kepadanya, “Sesungguhnya Nabi saw. membeli seekor kuda dari orang badui. Nabi menggiringkan Badui untuk membayar harga pembelian kudanya. Nabi berjalan dengan cepat, sedangkan Baduy berjalan perlahan. Maka, orang-orang pun mulai menghadang Badui guna menawar kudanya. Mereka tidak mengetahui bahwa Nabi saw. telah membelinya. Maka Baduy memanggil Nabi saw., ‘Jika engkau sebagai pembeli kuda ini, maka belilah. Dan jika bukan, maka aku akan menjualnya.’ Setelah mendengar seruan itu, Nabi bangkit dan berkata, “Bukankah aku telah membelinya darimu?’ Badui itu menjawab, Tidak, demi Allah.’ Nabi saw. bersabda, “Justru saya telah membelinya darimu. Maka, orang-orang pun mulai mengelilingi Nabi dan Badui yang keduanya saling berkata-kata. Maka Badui berkata, “Ayo, datangkan seorang saksi yang akan mempersaksikan bahwa aku telah menjualnya kepadamu. Kemudian ada seorang Muslim datang, lalu berkata kepada Badui, ‘Hai Badui, Nabi saw. itu selalu berkata benar. Kemudian datanglah Khuzaimah, dan dia menyimak perkataan Nabi dan bantahan Badui. Badui berkata, “Ayo datangkanlah seorang saksi yang akan mempersaksikan bahwa aku menjualnya kepadamu. Maka Khuzaimah berkata, ‘Aku bersaksi bahwa kamu telah menjualnya.’ Maka Nabi saw. menatap Khuzaimah seraya berkata, ‘Apa yang hendak kamu persak- sikan?” Khuzaimah menjawab, ‘Kebenaran- mu, wahai Rasulullah. Maka Rasulullah saw. menjadikan kesaksian Khuzaimah itu sebagai kesaksian dari dua orang laki-laki.” Keterangan yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan an-Nasa’i.

Firman Allah Ta’ala, “Penulis dan saksi tidak boleh saling menyulitkan.” Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Seseorang datang. Dia meminta dua orang untuk menjadi saksi dan penulis. Kedua orang itu berkata, ‘Kami sedang ada keperluan.’ Orang itu berkata, ‘Sesungguhnya kamu berdua telah saya suruh supaya kamu memenuhinya.’ Orang itu tidak berhak memaksa keduanya.” Keterangan senada diriwayatkan pula oleh Ikrimah, Mujahid, Thawus, dan lainnya. Firman Allah Ta’ala, “Dan jika kamu melakukannya, maka sesungguhnya hal itu merupakan kefasikan pada dirimu.” Yakni, apabila kamu menyalahi apa yang telah Aku perintahkan kepadamu, atau kamu mengerjakan sesuatu yang telah Aku larang, maka sesungguhnya hal itu merupakan kefasikan bagi dirimu, sehingga kamu tidak dapat melepaskan dirimu. dan mencopot kefasikan dan

 

Firman Allah Ta’ala, “Dan bertakwalah kepada Allah. Yakni, takutlah, bermurah lah (merasa diawasi terus), dan ikutilah perintah-Nya serta jauhilah larangan-Nya “Allah mengajarmu,” firman ini senada dengan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan.” (al-Hadiid: 28) Firman Allah, “dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu,” yakni mengetahui berbagai hakikat persoalan, kemaslahatan, dan akibatnya. Tidak ada satu perkara pun yang tersamar bagi-Nya. Bahkan pengetahuan-Nya itu meliputi segala yang ada.

 

وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَنٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَنَتَهُ، وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةً وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ عَائِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ )

 

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (oleh yang mengutangkan). Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Tuhannya. Dan, janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Barangsiapa yang menyembunyikannya,

3.            PENUTUP

Menelaah dan menganalisa penafsiran dalam tafsir kontemporer yaitu tafsir Al- Munīr dan klasik yakni tafsir ibnu katsir terhadap ayat hutang, Q.S. Al-Baqarah (2): 282-283, menyampaikan peneliti pada kesimpulan etika-etika berhutang dalam Islam, sebagai berikut: pertama, mencatat transaksi. Kedua, orang yang berhutang memdiktekan kepada juru tulis tanpa mengurangi dari jumlah hutangnya. Ketiga, menghadirkan saksi dalam transaksi. Keempat, tidak boleh bagi juru tulis atau saksi untuk menolak jika diminta. Kelima, tidak boleh saling membahayakan dan merugikan, baik dari kedua belah pihak kepada juru tulis atau saksi, berlaku juga sebaliknya. Keenam, mengambil barang jaminan dari orang yang berhutang sebagai jaminan jika kedua belah pihak sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkannya untuk mencatat dan menghadirkan saksi. Ketujuh, bertakwa kepada Allah SWT.

 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Kemenag, diakses dari quran.kemenag.go.id. Al-Zuhaily, Wahbah. 1991. Al-Tafsir Al-Munir fi al-Aqidah wa Al-Syari’ah wa al-Manhaj Juz III. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir. Amin, Ahmad. 1993. Etika (Ilmu Akhlak). Terj. Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang

[1] https://www.google.com/search?sca_esv=25ac67c7e3425c2e&sxsrf=ADLYWIIYispKQFFb0nJOirnXVSl1xAy0Qg:1729094394826&q=Asbabun+Nuzul+Al+Baqarah+282&sa=X&ved=2ahUKEwiT-r7JopOJAxVFVmwGHWsPD0kQ1QJ6BAgpEAE

[2] https://eprints.ums.ac.id/114180/11/NASKAH%20PUBLIKASI%20G100171014.pdf

LTN NU Kab. Tasikmalaya

Maju bersama ummat, umat kuat negara hebat

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button