Memenuhi undangan walimah yaitu resepsi pernikahan hukumnya fardhu sehingga bagi yang diundang dilarang tidak hadir. Mazhab Hanafi mempunyai dua pendapat yakni hukumnya sunnah muakkad, baik undangan walimah maupun yang lain, selama syarat-syaratnya terpenuhi Pendapat kedua menyatakan hukumnya sunnah muakkadah mendekati wajib untuk walimah. Inilah pendapat yang masyhur.
Sedangkan memenuhi undangan selain walimah lebih baik daripada tidak memenuhi. Ada yang berpendapat bahwa memenuhi undangan walimah hukumnya wajib. Sedangkan memenuhi undangan selain walimah, seperti undangan khitanan, undangan makan sepulang dari bepergian jauh, dan sebagainya, hukumnya sunnah. Demikian pendapat madzhab Hanafi.
- MENURUT MADZHAB MALIKI, memenuhi undangan makan terbagi lima
Pertama, wajib untuk undangan resepsi pernikahan (walimah).
Kedua, dianjurkan untuk undangan makan temu kangen.
Ketiga, mubah (boleh) untuk undangan makan bertujuan baik seperti aqiqah, pulang dari perjalanan jauh, selesai membangun rumah, khitanan, dan sebagainya.
Keempat, makruh untuk undangan makan bertujuan membanggakan diri dan pamer.
Kelima, haram bagi orang yang haram menerima hadiah; misalnya hakim diundang makan oleh salah seorang dari dua orang yang beperkara
Ø Undangan wajib atau sunnah dihadiri jika memenuhi syarat:
- Si pengundang bukan orang yang menampakkan perbuatan fasik (dosa) juga bukan orang yang zalim atau bertujuan untuk membanggakan diri dan riya, atau untuk mempengaruhi undangan agar membantu proyek kemaksiatannya, seperti hakim diundang supaya memutuskan hukum secara tidak adil.
- Yang diundang tidak terhalang uzur syar’i yakni halangan yang menjadikannya boleh tidak shalat berjamaah seperti sakit.
- Undangan harus ditujukan secara khusus. Jika undangan bersifat umum, misalnya: “Mari hadiri acara…”, tanpa menyebutkan namanya maka memenuhinya tidak wajib.
- Walimuk tidak mengandung hal-hal yang diharamkan atau yang dimakruhkan. jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka menghadiri undangannya tidak sunnah, apalagi wajib.
I. Detilnya diuraikan keempat madzhab fikih
1. Menurut madzhab Hambali, syarat orang wajib memenuhi undangan antara lain
Pertama, undangan ditujukan secara jelas kepadanya. Kalau undangan berbunyi “Hadirin sekalian, diharap menghadiri acara”, maka seseorang dari mereka tidak wajib hadir karena ditujukan kepada umum (tidak khusus menyebut nama seseorang). Atau, si pengundang berpesan kepada yang ditugasi, “Undanglah siapa saja yang kamu jumpai.”
Kedua, si pengundang seorang Muslim. Kalau si pengundang seorang kafir dzimmi maka memenuhinya makruh. Juga, makruh apabila si pengundang orang yang zhalim atau fasik atau pelaku bid’ah atau dalam rangka membanggakan diri.
Ketiga, usaha (harta) si pengundang halal. Jika pekerjaannya haram maka tidak wajib memenuhinya, bahkan haram.
Jika hartanya sebagian halal dan sebagian lagi haram maka ada beberapa pendapat. Pendapat pertama, makruh. Ini yang paling kuat menurut sebagian ulama. Pendapat kedua, haram. Pendapat ketiga, jika lebih banyak haramnya maka haram memenuhinya.
Keempat, yang diundang bisa hadir. Jika ada halangan, seperti sakit, merawat orang sakit, menjaga hartanya atau harta orang lain, panas terik, dingin menusuk, atau becek, tidaklah wajib karena semua ini adalah halangan syari’i.
Kelima, walimah itu tidak mengandung kemungkaran; misalnya ucapan-ucapan keji, dusta, suara seruling, gitar, tari-tarian, atau jamuannya meliputi barang-barang haram seperi arak, wadahnya dari perak. Mendatangi acara seperti ini malah haram.
Jika ia mampu melenyapkan kemungkaran-kemungkaran tersebut maka wajib datang sehingga untuk menjalankan dua kewajiban. Kewajiban memenuhi undangan dan kewajiban melenyapkan kemungkaran. Jika ia tidak mengetahui adanya kemungkaran ini, lalu ia hadir dan menyaksikannya maka wajib baginya untuk melenyapkannya kalau mampu. Jika tidak mampu, wajib segera pulang Kalau ia tahu ada kemungkaran tetapi ia tidak menyaksikan (misalnya sebelum ditampilkan) maka ia boleh datang lalu segera pulang
Keenam, mengundang pada acara hari pertama. Jika acara hari kedua maka memenuhinya dianjurkan. Sedangkan acara hari ketiga memenuhinya dimakruhkan. Demikian pendapat madzhab Hambali.
2. Menurut madzhab Maliki, memenuhi undangan walimah wajib dengan beberapa syarat
Pertama, yang diundang namanya secara khusus disebutkan dalam undangan dengan jelas, misalnya ia diundang langsung oleh si empunya hajat atau melalui utusannya, sekalipun utusan itu anak-anak. Atau, masuk ke dalam cakupan yang diundang seperti si pengundang menugasi seorang untuk mengundang warga suatu kampung tertentu, setiap orang warganya wajib hadir. Kalau tidak jelas, misalnya seseorang berkata kepada utusannya, “Undanglah siapa saja yang kaujumpai, atau undangan untuk orang-orang miskin (tanpa ditentukan yang mana) maka memenuhinya tidaklah wajib
Kedua, dalam walimah itu tidak ada orang yang ditakuti bahayanya bagi agama atau keterhormatannya, seperti ia takut akan dijahati seseorang Jika yang diundang takut melihat atau bertemu dengan seseorang yang tidak ia sukai hanya semata-mata karena kepentingan pribadi mak mendatanginya tetap wajib.
Ketiga, walimah itu tidak mengandung kemungkaran sesuai syariat misalnya tempat duduknya dari sutra, sekalipun sutra itu hanya pelapis wadah dari emas dan perak, atau nyanyian yang diharamkan. Jika kemungkaran itu berada di lokasi lain sehingga ia tidak bisa mendengar ataupun menyaksikannya, wajib menghadirinya karena mendengar kemaksiatan sama seperti melihatnya.
Keempat, di tempat walimah tidak terdapat gambar binatang atau gambar manusia yang bersosok (patung) dan beranggota badan yang tidak mungkin hidup kecuali dengannya serta ada bayang-bayangnya.. Kalau gambar tersebut tidak sempurna dan tidak ada bayang bayangnya, misalnya dibuat (ukiran) pada dinding maka tidak mengapa Sebab, gambar makhluk bernyawa yang diharamkan ialah yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang akan dirinci. Sebagian ulama ada yang membolehkan menghadiri walimah yang mencakup hal yang diharamkan pengundang adalah penguasa atau tokoh yang ditakuti
Kelima, tidak ramai dan bendesak desakan
Keenam pintu rumahnya tidak tertutup, sekalipun untuk musyawarah Jika tuan rumah menutup pintu untuk menghindari tamu tak diundang atau karena mengikuti aturan yang ada maka tetap harus hadir.
Ketujuh, si pengundang (tuan rumah) seorang Muslim dan yang diundang tidak terhalangi udzur syar’i yang membolehkan tidak hadir, modalnya sakit. Juga, si pengundang bukan orang fasik, orang jahat, atau suka berbangga diri, ataupun wanita yang bukan mahram. Demikian pendapat mazhab Maliki
3. Menurut madzhab Hanafi, disunnahkan memenuhi undangan hanya ja memenuhi sejumlah syarat berikut:
Pertama, si pengundang bukan orang yang suka menampakkan kepasikan. Jika ia fasik atau zalim, lebih baik tidak datang karena menghindari makanan orang seperti itu baik.
Kedua, sebagian besar kekayaan atau hartanya tidak haram. Jika ia mengetahui bahwa sebagian besar kekayaannya haram maka tidak wajib menunaikan undangannya la tidak boleh makan makanan tersebut selama tidak diberi tahu bahwa itu berasal dari harta yang halal. Jika sebagian besar hartanya halal maka boleh datang.
Ketiga, walimah itu tidak mengandung kemaksiatan, seperti arak dan sebagainya. Orang yang tahu bahwa walimah itu mengandung kemaksiatan, tidak disunnahkan menghadiri. Kalau tidak tahu, tetap disunnahkan. Jika ia berangkat menghadirinya lalu ia mendapati itu mengandung kemaksiatan, seperti arak atau patung, ia harus segera permisi.
Sedangkan apabila kemaksiatan tersebut lokasinya jauh dari sana, tetapi ia bisa mendengarnya maka ia harus mencegahnya kalau mampu. Jika tidak, ia segera pamit apabila si pengundang tokoh panutan
Kalau bukan, tidak mengapa ia duduk, makan, lalu segera pulang. Kalau ia mengetahui ada kemaksiatan di walimah yang akan dihadirinya maka tidak halal menghadirinya, kecuali ia punya pengaruh untuk menghentikan kemungkaran itu maka wajib baginya hadir untuk mencega kemungkaran Boleh memenuhi undangan orang Yahudi dan Nasrani kara kemungkaran ada nyantap makanan dan sembelihan mereka. Sedangkan makanan orang majusi yang selain sembelihan boleh dimakan,
Keempat yang diundang tidak memiliki udzur syar’i seperti saka
Kelima, undangan ditujukan secara tegas kepada dirinya.
Keenam, walimah diadakan pada waktu yang sesuai dengan ketentuan syariat. Demikian pendapat madzhab Hanafi.
4. Menurut madzhab Asy-Syafi’i, syarat seseorang wajib menghadiri unalimah pernikahan dan sunnahnya mendatangi undangan makan lainnya ialah:
Pertama, yang diundang tidak khusus orang-orang kaya, tetapi juga orang-orang miskin. Bukan berarti mengundang semua orang, melainkan tidak membatasi undangan hanya orang kaya saja, yang menunjukkan bangga diri, riya dan gila pujian. Agama tidak mengakui sikap seperti ini Jika orang-orang kaya diundang bukan karena bangga diri ataupun riya, melainkan karena tetangga atau rekan kerja maka tidaklah mengapa
Kedua, undangan itu untuk acara hari pertama. Jika walimah diadakan selama 3 hari atau lebih maka yang wajib hanya pada hari pertama, sunnah pada hari kedua, sementara hari berikutnya makruh.
Ketiga, si pengundang seorang Muslim. Jika orang kafir maka tidak wajib. Jika kafir dzimmi maka hukumnya sunnah ghairu muakkad.
Keempat, si pengundang memiliki hak mutlak melakukan tindakan hukum. Jika ia diampu (dicegah dari bertransaksi) maka haram dipenuhi apabila wulimah dibiayai harta si pengampu (orang yang diserahi wewenang transaksi bagi orang yang diampu). Jika yang menyelenggarakan adalah walinya atas biayanya sendin maka wajib dipenuhi.
Kelima, undangan jelas-jelas ditujukan kepada pribadi, baik oleh si pengundang maupun oleh utusannya.
Keenam, si empunya hajat mengundang bukan karena takut terhadap yang diundang bukan kazma ingin memanfaatkan pengaruhnya bukan pula untuk membantunya melakukan kebatilan
Ketujuh yang diundang tidak menyatakan udzur kepada si pengundang lalu ketidak datangannya direlakan dengan lapang dada, bukan karena malu. Hal ini bisa diketahui melalui indikasi-indikasinya.
Kedelapan, si pengundang bukan orang fasik atau yang suka membanggakan diri
Kesembilan, sebagian besar kekayaan si pengundang tidak haram. Jika haram maka mendatanginya makruh. Jika ia tahu bahwa makanan yang dihidangkan kepadanya jelas-jelas dari hasil yang haram maka ia tidak boleh menyantapnya karena harta yang haram, haram pula dimakan.. Kalau keharamannya tidak jelas-jelas pada makanan tersebut maka diperbolehkan memakan apa yang diinginkan. Jika sebagian besar kekayaannya syubhat-bukan haram-maka menghadiri undangannya boleh, tidak wajib ataupun sunnah.
Kesepuluh, jika si pengundang wanita, apabila bukan mahram, si pengundang harus didampingi mahramnya atau yang diundang membawa mahramnya, sehingga tidak terjadi Halwat (berdua-duaan) sekalipun kemungkinan terjadinya khalwat ketika itu kecil.
Kesebelas, undangan ditujukan pada acara walimah, yakni sejak dilangsungkannya akad nikah.
Kedua belas, yang diundang bukan hakim atau pejabat. Maka, hakim atau pejabat tidak wajib menghadirinya selama masih dalam wilayah kerjanya. Bahkan, haram ia menghadirinya jika si pengundang sedang berperkara yang kasusnya ia tangani.
Ketigabelas, yang diundang tidak memiliki udzur syar’i yang membolehkannya tidak shalat berjamaah, misalnya sakit.
Keempat belas, yang diundang bukan seorang wanita atau remaja laki-laki tanggung yang berpotensi menimbulkan godaan atau mempermalukan. si pengundanng
Kelima belas, si pengundang tidak lebih dari satu. Kalau lebih dari satu maka yang didahulukan ialah yang lebih dahulu mengundang, kemudian yang lebih dekat hubungan kekerabatannya, kemudian yang lebih del rumahnya. Kalau sama maka diundi.
Orang yang menghadiri undangan berarti telah menjalankan hal wajib atau sunnah. la tidak dituntut harus makan. Makan hanya dianjurkan Tentang masalah ini ada dua pandangan di kalangan madzhab Malik Pertama, makan tidak wajib, yang wajib ialah memenuhi undangan, na inila pendapat yang lebih kuat. Kedua, wajib bagi yang tidak puasa.
Jika diundang padahal sedang puasa maka ia harus datang de memberitahu tuan rumah bahwa ia tengah puasa, la datang untuk mendoakan lalu pamit untuk pulang. Kalau tuan rumah merasa keberatan dan tersinggung, jika puasanya sunnah maka dianjurkan berbuka karena pahala menyenangkan orang lain lebih besar daripada pahala puasa sunnah. Jika puasanya fardhu maka tidak boleh berbuka. Adalah etis apabila tuan rumah menerima alasannya dan tidak mendesaknya berbuka puasa atau makan.
Menurut madzhab Hanafi, jika yakin dapat berpuasa lagi pada har lain maka lebih baik berbuka untuk menyenangkan tuan rumah. Jika tidak yakin maka tidak perlu berbuka, meski tuan rumah tidak senang. Ini apabila sebelum matahari condong. Kecuali, jika tetap berpuasa mengakibatkan durhaka terhadap orang tua.
Menurut madzhab Maliki, tidak boleh berbuka sekalipun puasa tersebut sunnah, kecuali jika orang tua yang memintanya. Dan, sekalipun ia disumpahi talak tiga, kecuali jika sumpah itu mengakibatkan keburukan lantaran hatinya cenderung kepada istrinya dan dikhawatirkan berhubungan suami istri padahal sudah jatuh talak. Maka, dalam kondisi ini ia boleh berbuka dan tidak perlu mengganti (qadha’) puasanya.