1. Langkah Menuju Syukur
Dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulümid-Din, al Gazăli dengan sangat cermat dan rinci menguraikan hakikat syukur dan langkah langkah untuk merealisasikannya dalam kehidupan. Menurut al-Gazāli, syukur mencakup ilmu, hal dan amal. Yang dimaksud dengan ilmu adalah pengetahuan tentang nikmat yang dianugerahkan oleh sang pemberi nikmat (al-mun’im). Hal adalah rasa gembira yang terjadi akibat pemberian nikmat. Sedangkan amal adalah melakukan apa yang menjadi tujuan dan yang disukai oleh sang pemberi nikmat. Amal di sini terkait dengan tiga hal, yakni hati, lisan dan anggota-anggota tubuh.
Adapun kaitannya dengan hati ialah kehendak hati untuk kebaikan dan menyimpannya kepada semua makhluk. Sedangkan kaitannya dengan lisan adalah menampakkan rasa syukur kepada Allah dengan berbagai pujian yang menunjukan kepada rasa terima kasih itu. Adapun kaitannya dengan anggota-anggota tubuh adalah menggunakan nikmat karunia Allah dalam rangka ketaatan kepada-Nya dan menghindarkan diri dari kemungkinan menggunakannya untuk berbuat durhaka (maksiat) kepada-Nya (isti’măl ni’amillah ta’älä fi ta’atih wat-tawaqqi minal-isti’änah biha ‘ala ma’şiyatih). Seseorang baru dianggap bersyukur kepada Tuhannya jika ia telah menggunakan nikmat-Nya untuk hal-hal yang disenangi-Nya. Dengan demikian, syukur atas nikmat kedua mata yang dianugerahkan Allah berarti menutupi setiap aib yang kita lihat pada seseorang
Syukur atas nikmat kedua telinga berarti menutupi setiap aib yang kita dengar mengenai seseorang. Sebaliknya, apabila seseorang menggunakan nikmat Allah itu untuk hal-hal yang tidak disenangi- Nya, maka berarti ia telah kufur (ingkar) terhadap nikmat itu. Demikian pula jika ia membiarkan nikmat itu dan tidak memfungsikannya. Walaupun hal ini lebih ringan dosanya dibandingkan dengan yang sebelumnya, namun dengan menyia-nyiakan itu, ia dianggap telah kufur terhadap nikmat Allah. Segala apa yang diciptakan Allah di dunia ini adalah dimaksudkan untuk menjadi alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaannya.
Dalam hal ini perlu diketahui bahwa melaksanakan kewajiban syukur dan menjauhi perilaku kufur tidak mungkin terwujud kecuali dengan mengetahui terlebih dahulu apa yang disenangi Allah dan apa yang dibenci-Nya. Untuk membedakan hal itu ada dua jalan yang bisa ditempuh; pertama, keterangan yang datang dari syara’ berupa ayat-ayat dan hadis-hadis serta riwayat-riwayat; kedua, penglihatan mata hati (başīratul-qalb) yang berupa upaya penalaran dengan mengambil pelajaran guna mengetahui hikmah dari setiap sesuatu yang diciptakan Allah. Harus diyakini bahwa Allah tidak menciptakan sesuatu di alam ini kecuali pasti ada hikmahnya. Di bawah hikmah itu ada tujuan, dan tujuan itulah yang merupakan sesuatu yang disenangi Allah (al-mahbüb). Hikmah itu ada yang tampak dengan jelas (jaliyyah) dan ada pula yang tersembunyi (khafiyyah). Yang tampak dengan jelas antara lain hikmah penciptaan matahari, yakni agar terjadi pemisahan antara siang dan malam. Siang untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidup, malam untuk beristirahat. Terang benderangnya sinar di siang hari memudahkan manusia untuk bergerak mengarungi kehidupan. Sebaliknya tertutupnya sinar terang di malam hari mempermudah orang untuk diam dan tenang. Ini baru sebagian dari sebegitu banyak hikmah adanya matahari.
Begitu pula tentang hikmah adanya hujan, yakni untuk menyiapkan bumi agar dapat menumbuhkan berbagai tanaman sebagai bahan makanan bagi manusia dan sebagai ladang gembala bagi binatang binatang ternak. Al-Qur’an telah menyebut sejumlah hikmah yang tampak dengan jelas di balik penciptaan sesuatu yang kiranya mampu dijangkau oleh tingkat pemahaman manusia, bukan hikmah yang pelik dan rumit untuk pemahaman mereka. Sebagai contoh, Allah berfirman:
انا صبينَ المَاءَ صَبًا ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا فَأَنْتَنَا فِيهَا حَبًّا وَعِنْبًا وَقَضِبًا
Kamilah yang telah mencurahkan air melimpah (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu di sana Kami tumbuhkan biji bijian, dan anggur dan sayur-sayuran. (‘Abasa/80: 25-28)
Adapun hikmah di balik keberadaan planet-planet selain bumi dan matahari bersifat tersembunyi, dalam arti tidak semua orang dapat mengetahuinya. Kadar pemahaman yang umum dan mudah bagi manusia ialah bahwa planet-planet itu merupakan hiasan langit yang mata manusia merasa senang dan nikmat memandangnya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah:
إِنَّا زَيَّنَا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةِ الْكَوَاكِبِ
Sesungguhnya Kami telah menghias langit dunia (yang terdekat), dengan hiasan bintang-bintang. (as-Şaffät/37:6)
Pendek kata, semua bagian yang ada di alam semesta ini tidak sepi dari hikmah. Apabila manusia menggunakannya untuk tujuan yang tidak sesuai dengan hikmah penciptaannya dan dengan cara yang tidak dikehendaki oleh Allah, maka orang tersebut telah kufur terhadap nikmat Allah. Orang yang memukul orang lain dengan tangannya, berarti telah kufur terhadap nikmat, karena tangan diciptakan untuk manusia adalah untuk mempertahankan diri dari hal-hal yang mencelakakannya dan mengambil sesuatu yang bermanfaat, bukan untuk mencelakakan orang lain. Begitu pula orang yang menatap wajah seseorang yang bukan mahram dengan rasa birahi berarti telah kufur terhadap nikmat mata, karena mata diciptakan agar bisa digunakan untuk melihat hal-hal yang bermanfaat bagi agama dan urusan dunia orang itu, di samping untuk menghindari hal-hal yang merugikan.
Contoh menarik yang dikemukakan al-Gazāli tentang kekufuran manusia terhadap nikmat Allah yang seharusnya mereka syukuri ialah perbuatan orang yang mematahkan ranting pepohonan secara tidak bertanggungjawab, yang tidak didasari oleh tujuan yang benar (min gair hajah garad şahih). Pelaku yang iseng seperti itu- kata al-Gazāli telah melakukan kekufuran terhadap nikmat Allah dalam penciptaan pohon dan tangan.
Adapun terhadap nikmat tangan, karena Allah menciptakan tangan itu bukan untuk melakukan hal yang sia-sia, melainkan untuk melakukan dan membantu berbagai bentuk ketaatan kepada Allah. Sedangkan kufur terhadap nikmat pepohonan, karena Allah menciptakannya bersama akar-akarnya yang dapat menyerap air untuk makanan yang berguna bagi pertumbuhannya adalah agar pepohonan itu dapat berkembang menuju puncak perkembangan hidupnya. Jadi, bukan untuk dirusak sekehendak hati manusia.
Apabila terhadap orang yang mematahkan ranting sebatang pohon (man kasara gusnan min syajarah) saja al Gazāli secara khusus mencontohkannya sebagai orang yang kufur terhadap nikmat Allah, dapat dibayangkan betapa besarnya kekufuran para pelaku penebangan hutan masa kini di mata al-Gazālī. Para pelaku penebangan liar (illegal logging) telah melakukan perusakan pohon secara massif, bahkan telah melakukan penggundulan hutan yang sangat membahayakan bagi lingkungan hidup dan makhluk-makhluk yang menghuninya. Berbagai musibah dan bencana yang menimpa berbagai masyarakat dan bangsa, berkait erat dengan perilaku kufur terhadap nikmat pohon dan hutan ini.
Dalam hubungan ini Yūsuf al-Qaradawi syetan. berkata:
الْفَسَادِ
وَمِنْ أَسْبَابِ فَسَادِ الْبِيْئَةِ أَوْ ظُهُوْرِ . ففِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ الْكُفْرَانُ بِأَنْعُمِ اللَّهِ
Di antara penyebab rusaknya lingkungan hidup atau munculnya kerusakan di darat dan di laut adalah kekufuran terhadap nikmat karunia Allah.
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang memahami hikmah di balik penciptaan Allah terhadap segala apa yang ada, akan mampu melaksanakan tugas bersyukur kepada-Nya.
2. Hambatan untuk Bersyukur
Menurut al-Gazāli, kebodohan dan kelalaian merupakan penyebab pokok yang menghambat manusia untuk bersyukur. Dengan kebodohan dan kelalaian itu, manusia tidak mampu mengenali nikmat karunia Allah, padahal syukur atas nikmat tidak mungkin terwujud kecuali setelah orang mengenali nikmat itu. Kemudian manakala mereka sudah mengenali suatu nikmat, mereka mengira bahwa mensyukuri nikmat berarti mengucapkan dengan lisan kalimat: Alhamdulillah dan asy-syukru lillāh. Mereka tidak mengerti bahwa arti syukur adalah menggunakan nikmat karunia Allah dalam rangka menyempurnakan hikmah yang dikehendaki dari nikmat itu, yakni ketaatan kepada Allah. Kalau pengenalan terhadap kedua hal tersebut di atas- yakni arti nikmat dan arti syukur-sudah diperoleh, maka yang dapat menghalangi manusia untuk bersyukur adalah desakan keinginan hawa nafsu dan pengaruh kuat
Adapun hambatan pertama yakni ketidaktahuan tentang nikmat, sepintas aneh. Hal itu dikarenakan begitu jelas dan banyaknya nikmat karunia Allah yang dianugerahkan kepada manusia, seperti digambarkan dalam firman Allah:
وَإِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ
لَغَفُورٌ رَحِيمُ
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang (an-Nahl/16:18)
Allah juga berfirmn:
وَأَشْكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَا لِّتُمُوهُ وَإِنْ تَعْدُوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوْهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُوْمُ
Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (Ibrahim/14:34)
Dengan begitu banyaknya nikmat Allah yang bisa disaksikan dan dirasakan manusia dalam kehidupan ini, maka yang dimaksud dengan ketidaktahuan akan nikmat di sini ialah ketidaksadaran manusia terhadap nikmat itu. Salah satu penyebabnya adalah apa yang mereka saksikan bahwa nikmat yang mereka terima itu ternyata berlaku umum untuk semua orang. Karena tidak berlaku khusus untuk mereka, maka mereka tidak sadar bahwa itu merupakan nikmat yang harus mereka syukuri. Baru kemudian jika nikmat yang bersifat umum itu dicabut Allah dari mereka, mereka pun tersadar tentang nikmat itu. Menurut al- Gazāli, ini merupakan puncak kebodohan gayah al-jahl), karena syukur mereka bergantung kepada dicabutnya nikmat dari mereka untuk kemudian dikembalikan lagi. Banyak manusia yang hanya mau mensyukuri nikmat harta yang memang bersifat khusus untuk setiap individu ukuran besar kecilnya, sementara mereka lupakan semua nikmat Allah yang lain.
Menghadapi hati manusia yang tidak sadar semacam ini, al-Gazāli menawarkan solusinya, yakni: untuk orang-orang yang tajam mata hatinya (al-qulüb al-başirah( direkomendasikan untuk senantiasa melakukan perenungan tentang berbagai macam nikmat Allah yang bersifat umum itu. Dengan perenungan itu, mereka akan sadar bahwa itu benar-benar nikmat yang wajib disyukuri. Adapun untuk orang-orang yang hatinya dungu (al-qulüb al-balidah) yang memandang sesuatu sebagai nikmat hanya bila sesuatu itu berlaku secara khusus untuk mereka, cara penyadarannya ialah dengan senantiasa memperhatikan keadaan orang yang secara fisik materil berada di bawahnya dan melakukan apa yang biasa dilakukan oleh sebagian ulama sufi, yakni setiap hari mereka mendatangi rumah. sakit, kuburan dan lokasi-lokasi tempat para terpidana menjalani eksekusi. Dengan menyaksikan semua itu, diharapkan bahwa seseorang akan sadar bahwa apa yang ia jalani yang ternyata keadaannya lebih baik dan beruntung dibandingkan dengan keadaan orang-orang yang ia saksikan, sungguh merupakan nikmat karunia Allah yang wajib untuk disyukuri.”
Terkait dengan pernyataan al-Gazāli tentang pentingnya memperhatikan dan memandang kepada orang-orang yang berada di bawah kita, terdapat hadis Nabi yang memang memerintahkannya. Nabi bersabda:
أَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَرْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ . (رواه مسلم عن أبي
Pandanglah orang yang lebih rendah daripada kamu, dan janganlah kamu memandang kepada orang yang lebih tinggi daripada kamu. Hal itu akan lebih layak untuk membuatmu tidak menyepelekan nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadamu, (Riwayat Muslim dari Abū Hurairah)
Seperti ditulis oleh Abdul-Aziz al Khüli, hadis ini memberikan tuntunan cara menciptakan sikap qanaah dan rida dalam jiwa dan cara mengenalkan kita kepada nikmat karunia Allah yang telah dilimpahkan kepada kita, agar kita dapat melaksanakan kewajiban untuk bersyukur atasnya. Dengan demikian, Allah akan menambah nikmat itu kepada kita.19
Masih terkait dengan pengenalan terhadap nikmat Allah, satu hal yang harus digarisbawahi ialah bahwa setiap nikmat duniawi bisa menjadi cobaan (bala’) dalam waktu yang sama. Begitu pula sebaliknya, cobaan yang diberikan Allah kepada seseorang bisa jadi dalam waktu yang sama merupakan nikmat baginya. Dengan demikian, tidak ada cobaan yang mutlak sebagaimana tidak ada pula nikmat yang mutlak. Maka terhadap keadaan seperti ini ada dua tugas rangkap pada manusia, yakni sabar dan syukur.
Jika ada orang membantah hal ini dengan mengatakan bahwa sabar dan syukur merupakan dua hal yang kontradiktif, maka bagaimana mungkin dapat bertemu, bantahan itu bisa dijawab dengan menyatakan bahwa suatu hal bisa dianggap menyusahkan dari satu sisi, tetapi dari sisi yang lain ia bisa dianggap menyenangkan Maka sabar diperlukan untuk menyikapi sisi yang menyusahkan, sedangkan menyikapi sisi yang menyenangkan harus dikembangkan sikap syukur. Sebagai contoh, orang yang miskin dan sakit wajib bersabar atas kemiskinan dan penyakit yang dialaminya. Tetapi di lain pihak ia wajib bersyukur, sebab seandainya ia kaya dan sehat, kemungkinan ia akan melakukan hal-hal yang tidak benar, seperti yang banyak kita saksikan. Allah berfirman:
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ
وَلَكِنْ يُنَزِلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Teliti terhadap (keadaan) hamba-hamba- Nya, Maha Melihat. (asy-Syūrā/42:27)
Orang yang dapat mengerti kaitan antara nikmat dan cobaan semacam ini, dimungkinkan untuk mampu bersyukur atas cobaan yang dihadapi. Sebaliknya orang yang tidak memahami adanya nikmat dalam cobaan, tidak dapat diharapkan untuk bersyukur atas cobaan, karena syukur bergantung kepada pengenalan terhadap nikmat. Orang yang tidak percaya bahwa pahala musibah lebih besar daripada musibah itu sendiri, tidak mungkin diharapkjan untuk bersyuklur atas musibah yang menimpanya