Asma Barlas berargumen bahwa Islam merupakan agama yang anti terhadap sistem patriarki[1] Yang dijadikan dasar argumennya adalah kisah Nabi Ibrahim dalam Al-Qur’an, yang demi ketaatannya kepada Allah, ia tidak lagi taat kepada ayahnya. Padahal dalam budaya patriarki, ayah atau laki-laki dewasa (the patriarch) menduduki posisi yang paling utama. Merendahkan dan mengabaikan otoritas ayah, yaitu dengan menghancur- kan semua patung yang dibuat ayahnya, diartikan Barlas sebagai salah satu petunjuk bahwa Islam merendahkan, bahkan mengabaikan budaya patriarki. Yang terpenting dalam ajaran Islam, bukan ketaatan kepada laki-laki dewasa, melainkan ketaatan kepada Allah.
Sebetulnya ada lagi contoh kisah dalam Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Islam itu adalah agama yang anti sistem patriarki. Ini bisa terlihat misalnya dalam kisah keluarga ‘Imran, yang sangat mendambakan seorang anak. Mereka tidak putus asa berdoa memohon kepada Allah agar dikaruniai anak serta bernazar bahwa jika mereka dikaruniai anak, maka anak tersebut akan didedikasikan untuk hanya berbakti kepada Allah. Maka doa mereka pun dikabulkan dan lahirlah Maryam. Ibu Maryam kaget karena yang dilahirkannya ternyata adalah seorang anak perempuan, padahal ia sudah terlanjur berjanji kepada Allah bahwa ia akan mendedikasikan anaknya agar berbakti kepada Allah semata. Namun di luar dugaanku, ternyata Allah menerima nazar- nya dengan penerimaan yang baik seperti yang digambarkan dalam ayat QS. Ali ‘Imran [3]: 36-37 berikut ini:
“Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan, dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada setan yang terkutuk.” Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: “Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab : “Makanan itu dari sisi Allah Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendakiNya tanpa hisab
Dari kedua ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam memang agama yang anti sistem patriarki. Dalam sistem patriarki yang diunggulkan dalam beribadah serta mengabdi di masjid hanyalah laki-laki. Dengan kisah Maryam ini dapat dipahami bahwa baik laki-laki ataupun perempuan sama-sama berhak mengabdi di rumah Allah. Bahkan Maryam menerima keistimewaan yang luar biasa dengan disediakannya makanan di mihrab- nya, yang belum pernah dialami oleh nabi-nabi lain selain dirinya.
Selain itu, penegasan kemahaadilan Allah yang menjunjung tinggi kesetaraan relasi gender antara laki-laki dan perempuan dinyatakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini. Ayat-ayat berikut ini mungkin agak jarang dikutip dan cenderung kalah gaungnya dengan ayat Al-Qur’an yang sering dikutip untuk mendukung budaya patriarki, yaitu QS. Al-Nisa[4]: 34 dan QS. Al-Baqarah [2]: 228 seperti yang telah dibahas dalam isi tafsir Ibnu Katsir. Ayat-ayat yang mendukung kesetaraan relasi gender tersebut adalah sebagai berikut.
- QS. Al-Nisa [4]: 1 menjelaskan tentang penciptaan manusia pertama, yaitu bahwa manusia tercipta dari satu bahan yang sama, yaitu dari tanah; sementara manusia lainnya kecuali Nabi Isa diciptakan dari pencampuran sperma dan indung telur. Karena manusia diciptakan dari bahan yang sama, maka tidak ada dasar untuk mengklaim bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan.
- QS al-Hujurat [49]: 13 menjelaskan bahwa keunggulan manusia di mata Allah hanyalah berdasarkan atas ketakwaannya (sesuatu yang harus diusahakan), bukan atas dasar warna kulit, bangsa atau jenis kelamin.
- QS. Nisa [4]: 124 menunjukkan al-Nisa keadilan Allah yang tidak mendiskriminasi jenis kelamin perempuan sehingga siapapun yang berbuat baik, baik berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan, sedang ia beriman, maka mereka akan masuk surga dan tidak akan dizalimi sedikit pun. Ayat ini senada dengan QS. al-Nahl [16]: 97 bahwa Allah akan memberi ganjaran sebaik-baiknya kepada yang beramal saleh dan beriman baik berjenis kela- min laki-laki atau perempuan.
- Kesetaraan/kemitraan antara laki-laki dan perempuan juga tergambar dalam QS. al-Tawbah [9]: 71 dan QS. al- Baqarah [2]: 187. Yaitu bahwa mukmin laki-laki dan mukmin perempuan itu adalah wali atau pelindung atau teman bagi satu sama lain. Fungsi laki-laki bagi perempuan dan fungsi perempuan bagi laki-laki bagaikan pakaian satu sama lain. Fungsi pakain itu sendiri adalah untuk memberikan kenyamanan, menutupi aib dan melindungi, satu sama lain.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Muslim pada umumnya dipengaruhi oleh sistem patriarki dalam memahami agama dan membentuk budaya, sehingga budaya yang dihasilkan adalah budaya patriarkis yang memosisikan laki-laki selalu lebih unggul di atas perempuan. Padahal Islam adalah agama anti-patriarki, yang menjunjung tinggi keadilan dan menghargai manusia bukan atas dasar jenis kelaminnya, melainkan usahanya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman baru terhadap agama dengan menggunakan perspektif keadilan gender, yang lebih bisa membuka mata masyarakat Muslim akan pesan keadilan gender dalam Al Qur’an. Dengan menggunakan lensa keadilan gender, diharapkan masyarakat Muslim tidak lagi menganggap bahwa kenabian dan kepemimpinan hanya untuk laki laki saja
[1] Asma Barlas, “Believing Women” in Islam: Un- reading Patriarchal Interpretations of the Quran, (Austin, TX: University of Texas Press, 2002), hlm. 93-128.