HikmahOpiniSantai
Trending

Mengatasi konflik dalam rumah tangga

Oleh : Dian Rachmat N, SHI, M. Ag

Mengatasi konflik dalam rumah tangga

Konflik rumah tangga haruslah kita mencari pnyelesaiannya yakni dengan cara preventif dan Kuratif dan langkah yang harus dilakukan menurut al qur’an apabila ternyata konflik benar benar muncul dalam keluarga  , artinya jika Masalah dan Krisis dalam rumah tangga kalau pada akhirnya terus terjadi, maka Al Qur’an menawarkan beberapa solusi di antaranya

1.    Menggunakan Mediator

Di antara ayat yang memberi petunjuk masalah ini adalah:

وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَاۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا

Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada ■suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal. (an-Nisa’/4: 35)

Cara ini baru ditempuh setelah beberapa cara dan langkah lain sudah ditempuh. Cara-cara itu adalah seperti dijelaskan dalam firman Allah:

وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar

Sebelum menempuh langkah mediasi maka langkah yang harus  ditempuh adalah pertama, memberi nasihat. Hal ini penting karena memang menjadi kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga untuk membimbing anggota keluarganya seperti yang diisyaratkan dalam Surah at-Tabrim/66: 6. Sekiranya langkah ini tidak efektif, maka langkah kedua adalah memisahkan dari tempat tidur. Langkah kedua ini apabila dilaksanakan diberi catatan oleh Sayyid Qutub yaitu tidak boleh secara terang-terangan di luar tempat peraduan suami istri. Tidak boleh memisahkannya di hadapan anak-anak karena dapat mengganggu dan merusak pikiran mereka. Juga tidak boleh di hadapan orang lain yang merendahkan istri atau mengusik harga dirinya.

Jika dua langkah tersebut juga tidak efektif, maka menurut ayat di atas langkah selanjutnya adalah wadribü hurna (pukullab mereka). Terjemah ini menurut sementara pihak kurang tepat dan penulis sendiri juga merasakan hal yang sama. Namun demikian, adakah kata yang tepat untuk menggambarkan langkah ketiga tersebut? Rasanya sulit sekali menemukannya. Ini semakin menguatkan pendapat yang mnyatakan bahwa bahasa apapun termasuk Indonesia, tidak akan sangrap mesampung pengertian yang terkand dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Maka terjemah tersebut harus diberi konotasi bahwa langkah tersebut baru diambil setelah dua langkah sebelumnya dilakukan dengan maksimal. Kemudian tindakan tersebut dilakukan bukan untuk menyakitinya atau apalagi melecehkannya. Hikmah yang dapat diambil adalah betapa Al-Qur’an sangat menghormati lembaga perkawinan dan dengan sekuat tenaga harus dipertahankan oleh masing-masing pihak baik suami maupun istri.

Setelah tiga langkah tersebut dilakukan dan ternyata juga tidak efektif. prosedur yang disyaratkan dalam ayat 35 Surah an (Nisä/4 di atas baru ditempuh melalui proses mediasi. Seperti dijelaskan dalam ayat di atas yaitu dengan mengutus masing-masing hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak istri. Tugas hakam tersebut adalah mendamaikan. Namun apabila mereka gagal didamaikan apakah para hakam tersebut berhak mengambil keputusan menyangkut status perkawinan pasangan tersebut. Hal ini menjadi perdebatan yang cukup panjang di kalangan para fuqaha’ dan bukan dalam tulisan ini untuk diketengahkan. Bagi yang ingin mendalami lebih jauh dapat kembali ke buku-buku fikih.

Dalam poin ini, hal penting yang harus direnungkan bagi setiap keluarga yang dilanda krisis adalah betapa Allah sangat memuliakan institusi perkawinan dan keluarga. Institusi keluarga seperti tergambar di atas juga melibatkan keluarga besar atau fungsi sosial dalam keluarga. Sungguh wajar apabila kemudian muncul asumsi dalam masyarakat bahwa mengakhiri hubungan perkawinan (perceraian) adalah sesuatu yang dianggap negatif, tentu hal ini tidak sepenuhnya benar. Apakah yang dimaksud dengan talak atau perceraian? Bagaimana ini dilihat sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan krisis perkawinan secara kuratif? Inilah yang akan dibahas dalam uraian di bawah ini.

  1. Perceraian

Setelah seluruh daya kemampuan dikerahkan untuk mengatasi kemelut rumah tangga dan ternyata tidak membuahkan hasil maksimal maka agama memberi alternatif untuk terjadinya perceraian. Dalam pandangan Islam hak untuk menceraikan ada pada suami. Tentu hal ini logis saja karena ketika pernikahan terjadi, suamilah yang awalnya meminang dan kemudian menerima qabül atas ijäb yang diucapkan oleh wali si istri, di mana hal itu merupakan simbol diterimanya tanggung jawab oleh si suami. Termasuk tanggung jawab untuk menjadikan rumah tangganya bahagia. Maka apabila tanggung jawab tersebut tidak dapat ditunaikan karena beberapa alasan kekeliruan (menurut syariah) yang ada pada istrinya maka wajar kalau seorang suami diberi hak untuk menceraikannya.

Di antara faktor yang menjadikan seorang suami diperbolehkan menceraikan istri adalah karena adanya perbuatan keji yang nyata. Hal ini diſsyaratkan dalam:

اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًاۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۚ

Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa. Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata[1]

Sebagian ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan keji tersebut adalah zina. Pendapat ini bersumber dari sahabat Ibnu Mas’üd dan Ibnu Abbās, sementara Ikrimah dan ad-Dahhäk mengartikan dengan nusyüz (durhaka) dan maksiat.[2]

Pendapat yang lebih kuat menurut M. Quraish Shihab adalah pendapat kedua dengan alasan; boleh jadi ada istri yang sengaja melakukan nusyüz, angkuh, atau melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak wajar dengan harapan agar suaminya menceraikannya dan sesaat setelah itu, ia kawin dengan laki-laki lain yang dicintainya. Maka untuk mencegah hal tersebut dan tidak merugikan masing- masing pihak, maka Allah membenarkan seperti yang tergambar dalam ayat di atas membenarkan suami mengambil langkah agar tidak kehilangan dua kali (istri dan mas kawin), [3]

Yang perlu diberikan catatan adalah apabila perceraian pada akhirnya terjadi, maka hendaklah itu dilakukan dengan cara ihsan. Hal ini diisyaratkan dalam firman Allah

اَلطَّلَاقُ مَرَّتٰنِۖ فَاِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌۢ بِاِحْسَانٍۗ

Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk) dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa apabila pada akhirnya perceraian tetap dilakukan oleh suami, hendaklah itu dilaksanakan dengan cara yang baik Roslaksi dalam ayat di atas menggunakan istilah hadn ini berbeda dengan apabila rujuk kembali, maka ungkapan yang digunakan adalah ma ruf

Kata sin terambil dari akar kata husn yang menurut ar-Rägib bermakna dasar segala sesuatu yang menggembirakan dan disenangi, kebaikan, atau kebajikan, dan lawannya adalah sayyi’ah yang sering diartikan sebagai keburukan. Kebaikan ini terdiri dari tiga macam; baik menurut akal, hawa nafsu, maupun menurut panca indera. Sedangkan kata ihsan secara leksikal kemudian digunakan untuk dua hal; pertama, memberi nikmat kepada pihak lain; dan kedua, perbuatan baik. Oleh karena itu, kata ihsan lebih luas dari sekadar memberi nikmat atau nafkah. Maknanya bahkan lebih tinggi dari kandungan makna adil. Adil sering diartikan sebagai memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya kepada diri kita. Sedangkan thaän adalah memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya terhadap kita. Adil juga sering diartikan mengambil semua hak kita dan atau memberi semua hak orang lain. Sedangkan ihsan adalah memberi lebih banyak daripada yang harus kita beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya kita ambil

Itulah salah satu sebab mengapa perintah berbuat baik kepada kedua orang menggunakan istilahan Lima kali perintah ini disebut antara lain terdapat pada Surah al-Isra/17: 23: al-Baqarah/2 83, an Nisa 36, al-An’am 6: 151; dan al Ahal 46: 15

Makna insan lebih tinggi dari nilai adil dapat pula dijelaskan dengan pendekatan kuantitatif. Al-Qur’an ketika menyebut kelompok kelompok orang yang dicintai oleh Allah menggunakan redaksi yuhibbu yang berarti mencintai. Kata tersebut dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 15 kali dan yang paling banyak adalah yuhibbul muhsinin (mencintai orang-orang yang berbuat ihsan), terulang sebanyak lima kali, masing-masing lokusnya adalah Surah al- Baqarah/2: 190; Ali Imrăn/3: 134 dan 148; al-Ma’idah/5: 13 dan 93.
Ayat di atas memberi tuntunan bahwa apabila seorang suami menalak istrinya (talak yang masih boleh kembali), kemudian suami memang berniat untuk rujuk kembali, maka hendaklah rujuk tersebut dilakukan dengan cara yang ma’rüf yaitu dengan niat yang baik untuk membangun rumah tangga kembali, bukan untuk menyakiti si istri. Sebaliknya kalau terpaksa jalan perceraian yang disertai dengan keengganan untuk melanjutkan kehidupan rumah tangga yang diambil, hendaklah itu dilakukan dengan cara ihsan.

Dalam hal rujuk ini harus dengan maruf dapat dijelaskan bahwa sesuai dengan pengertian ma’rüf yang telah dijelaskan di atas suami yang rujuk kembali dengan istrinya berarti ia akan memberi dan menerima secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai suami seperti saat sebelum terjadi perceraian. Demikian juga dengan istri. Sedangkan dalam hal tasrih (cerai yang tidak boleh rujuk) harus dengan ihsan mengandung isyarat bahwa suami masih tetap berkewajiban memberikan mut’ah/nafkah kepada istrinya, sementara ia tidak menerima apa pun dari mantan istri tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa salah satu makna ihsan adalah memberi lebih banyak dari yang seharusnya ia berikan atau menerima lebih sedikit dari yang seharusnya diterima.

Bagaimana kala kemudian yang berbuat maksiat dan durhaka itu adalah pihak suami adakah solusi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an? Inilah yang akan mencoba dijawab di bawah ini.

3.     Khulu

Penjelasan di atas dapat mengesankan bahwa pihak perempuan (istri) hanya diposisikan sebagai objek dan korban, dan tidak dalam posisi pengambil keputusan. Padahal dalam kehidupan perkawinan masalah itu bisa saja datangnya dari pihak suami. Apabila benar bahwa suami durhaka dan berbuat maksiat, langkah langkah apa yang harus dilakukan seorang istri. Sepengetahuan penulis, tidak ada penjelasan terperinci dalam ayat Al- Qur’an menyangkut hal tersebut. Merujuk kepada langkah-langkah di atas yaitu terkait apabila yang bermasalah adalah istri, maka menurut hemat penulis, hal tersebut juga dilakukan oleh istri tentu tidak harus persis sama. Misalnya pertama menasihati suami. Jangankan kepada suami, kepada kerabat atau orang lain pun apabila berbuat maksiat kewajiban seorang Muslim untuk menasihatinya. Apabila hal ini tidak efektif, maka seorang istri juga dapat langsung minta nasihat kepada

orang-orang yang dianggap memiliki kewibawaan di mata suami. Apabila ini pun gagal, maka meminta langkah mediasi juga dapat dilakukan. Seandainya juga berujung kepada kegagalan, barulah kemudian meminta untuk bercerai dan inilah yang kemudian dikenal dengan khulu.

Ayat utama yang menjelaskan hal ini adalah:

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَأْخُذُوْا مِمَّآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْـًٔا اِلَّآ اَنْ يَّخَافَآ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِۗ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِۙ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهٖۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَعْتَدُوْهَاۚ وَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

 

Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum- hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim. (al-Baqarah/2: 229)

Ayat ini dipahami oleh mayoritas ulama, sebagai petunjuk dibolehkannya seorang istri untuk mengajukan khulü. Dari sinilah dapat dimengerti, betapa adil aturan perkawinan dalam Islam. Kalau seorang suami memiliki hak untuk menceraikan,maka seorang istri juga memiliki hak untuk Khulu

Kata Khulu  dari segi bahasa berarti melepaskan dan menanggalkan”. Seorang istri yang meminta talak kepada suaminya disebut kuda karena ikatan suami istri dibaratkan oleh Al-Qur’an seperti pakaian (al-Baqarah/2: 187). Para ulama fikih mengartikan khulu sebagai talak yang diocapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak istri kepada suami.

Tulisan ini tidak akan mengelaborasi tentang aspek-aspek hukum dari ketentuan khulu. Namun yang perlu digarisbawahi adalah sekali lagi bahwa Al-Qur’an memberikan hak yang sama dalam menyelesaikan konflik, baik kepada suami (dengan hak menalak) maupun kepada pihak istri (dengan khulu”). Wallahu a’lam bis-sawah.

[1] Annisa ayat 19

[2] Ibnu Katsir Tafsir al qur’an al karim jilid 1 h 368

[3] M Qurais Sihab Tagsir al misbah jilid II h 364

LTN NU Kab. Tasikmalaya

Maju bersama ummat, umat kuat negara hebat

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button