Maslahah Mursalah dalam Konsep Hukum Keluarga
Ditulis oleh : Dian Rahmat, SH, M.Ag, Ai Nurhidayah Am.K
Pandangan manusia sebagai Kholifah fil ardh menjadi dasar bahwa Tuhan sangat memuliakan ciptaan-Nya dengan kemuliaan dan hormat. Sehingga hukum buatan manusia seharusnya tidak mereduksi kemuliaan dan hormat sebatas yang dikatakan dalam undang-undang. Hukum progresif memahami konsep keadilan sebagai hukum yang benar-benar memperhatikan sumber-sumber hukum yang baru untuk tercapainya keadilan. Sehingga tidak lagi mendasar bahwa wanita dan anak adalah subyek hukum yang paling lemah
Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata maslahah, yang berarti mendatangkan kebaikan atau yang membawa kemanfaatan dan menolak kerusakan.[1] Menurut bahasa aslinya kata maslahah berasal dari kata salahu, yasluhu, salahan, صلح , يصلح , صلاحا artinya sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat.[2] Sedang kata mursalah artinya terlepas bebas, tidak terikat dengan dalil agama (al-Qur’an dan al-Hadits) yang membolehkan atau yang melarangnya.[3]
Menurut Abdul Wahab Khallaf, maslahah mursalah adalah maslahah di mana syari’ tidak mensyari’atkan hukum untuk mewujudkan maslahah, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.[4]
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahra, definisi maslahah mursalah adalah segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syari’ (dalam mensyari’atkan hukum Islam) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjukkan tentang diakuinya atau tidaknya.[5]
Dengan definisi tentang maslahah mursalah di atas, jika dilihat dari segi redaksi nampak adanya perbedaan, tetapi dilihat dari segi isi pada hakikatnya ada satu kesamaan yang mendasar, yaitu menetapkan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam al-Qur-an maupun al-Sunnah, dengan pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia yang bersendikan pada asas menarik manfaat dan menghindari kerusakan.
Landasan Hukum Maslahah al-Mursalah
Sumber asal dari metode maslahah mursalah adalah diambil dari alQur’an maupun al-Sunnah yang banyak jumlahnya, seperti pada ayat-ayat berikut:
- S. Yunus : 57
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ ٥٧
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Q.S. Yunus : 57)
- S. Yunus : 58
قُلۡ بِفَضۡلِ ٱللَّهِ وَبِرَحۡمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلۡيَفۡرَحُواْ هُوَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ ٥٨
Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (Q.S. Yunus : 58).
- S. Al-Baqarah : 220
فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۗ وَيَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡيَتَٰمَىٰۖ قُلۡ إِصۡلَاحٞ لَّهُمۡ خَيۡرٞۖ وَإِن تُخَالِطُوهُمۡ فَإِخۡوَٰنُكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ ٱلۡمُفۡسِدَ مِنَ ٱلۡمُصۡلِحِۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَأَعۡنَتَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٢٢٠
Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Baqarah : 220)
Sedangkan nash dari al-Sunnah yang dipakai landasan dalam mengistimbatkan hukum dengan metode maslahah mursalah adalah Hadits Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Ibn Majjah yang berbunyi:
حدثنا محمد بن يحي , حدثنا عبدالرزاق . انبٲ نا معمر عن جابر الجعفى عن عكرمة عن ابن عباس قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : الضرر والضرا ر[6].
Muhammad Ibn Yahya bercerita kepada kami, bahwa Abdur Razzaq bercerita kepada kita, dari Jabir al-Jufiyyi dari Ikrimah, dari Ibn Abbas: Rasulullah SAW bersabda, “ tidak boleh membuat mazdarat (bahaya) pada dirinya dan tidak boleh pula membuat mazdarat pada orang lain”. (HR. Ibn Majjah)
Atas dasar al-Qur’an dan al-Sunnah di atas, maka menurut Syaih Izzuddin bin Abdul Salam, bahwa maslahah fiqhiyyah hanya dikembalikan kepada dua kaidah induk, yaitu:
د رء المفاسد .1 Artinya: Menolak segala yang rusak
جلب المصالح .2 Arinya: Menarik segala yang bermasalah[7]
Sementara itu Prof. Dr. Hasbi Asy-Siddieqy mengatakan bahwa kaidah kully di atas, pada perkembangan berikutnya dikembangkan menjadi beberapa kaidah pula, diantaranya adalah:
ان الضرر يزال .1
ان الضرر ال يزال بالضرر .2
وان د رء المفسدة مقدم على جلب المصلحة .3
ان الضرر الخاص يحتمل لد فع الضررالعام .4
انه يرتكب اخف الضررين .5
ان الضرورات تبيح المحظورات .6
ان الحاجة تنزل منزلة الضرورة .7
ان الحرج مرفوع .8
ان المشقة تجلب التيسير .9
Artinya :
- Sesungguhnya kemazdaratan itu harus dihilangkan
- Sesunggunhnya kemazdaratan itu tidak boleh dihilangkan dengan membuat kemazdaratan pula
- Sesungguhnya menolak kemazdaratan harus didahulukan atas menarik kemaslahatan
- Sesungguhnya kemazdaratan yang khusus harus dipikul untuk menolak kemazdaratan umum.
- Sesungguhnya harus dikerjakan (dilakukan) kemazdaratan yang lebih ringan dari kedua kemazdaratan.
- Sesungguhnya segala yang darurat (yang terpaksa dilakukan) membolehkan yang terlarang Sesungguhnya hajat itu di tempatkan di tempat darurat Sesungguhnya kepicikan itu harus dihilangkan
- Sesungguhnya kesukaran itu mendatangkan sikap kemudahan[8].
Pemikiran at-Tûfî tentang kemaslahatan berbeda dengan para pendahulunya, semisal al-Ghazali atau asy-Syâtibî at-Tûfî merumuskan teori maslahah-nya. Menurut at-Tûfî, tujuan utama hukum Islam adalah memberikan perlindungan terhadap kemaslahatan manusia. Artinya, manusia memiliki hak untuk memperoleh kemaslahatan bagi dirinya. Menurut at-Tûfî, ada dua hak yang dimiliki manusia berkaitan dengan kemaslahatan ini, yaitu hak Allah dan hak manusia. Hak Allah terdiri dari hal-hal yang terkait dengan ibadah dan akidah. Hak Allah ini termaktub di dalam nash. Oleh karena itu, manusia wajib menaati isi dari nash yang mengatur dirinya. Sementara itu, hal-hal yang berkaitan dengan diri manusia itu menjadi hak atau kewenangan manusia. Kalau ada sumber di luar dirinya, termasuk dalam hal ini adalah nash, maka manusia berhak menolak nash. Artinya, kemaslahatan manusia yang menjadi hak manusia lebih didahulukan dari hak Allah (nash)[9].
Tolok ukur kemaslahatan, menurut at-Tûfî, didasarkan pada perspektif manusia sehingga perlindungan terhadapnya dalam masalah hukum muamalat lebih didahulukan atas pertimbangan hukum lain, termasuk dari al-Quran, asSunnah al-Makbûlah, dan ijmâ.‘ Artinya, jika ada nash yang tidak selaras dengan kemaslahatan manusia, maka kemaslahatan manusia harus diberi prioritas di atas nash[10]. Cara menentukan kemaslahatan, kata at-Tûfî, adalah melalui cara-cara yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu sifat-sifat alami, pengalaman-pengalaman hidup manusia sendiri, dan tuntunan akal atau intelegensinya sendiri. Dengan kata lain, hakim tertinggi dari kemaslahatan kehidupan manusia bukanlah teks-teks keagamaan atau kesimpulan ahli hukum, melainkan tuntutan-tuntutan akal atau intelegensia dalam seluruh kehidupan manusia itu sendiri[11]. Dari pendapat at-Tûfî ini dapat disimpulkan bahwa kemaslahatan berdasarkan perspektif manusia ini dapat dijadikan sebagai dalil yang mandiri tanpa harus dijustifikasi oleh dalil atau sumber hukum lainnya[12]. Pendapat at-Tûfî ini memang revolusioner dibanding dengan pendapat para ulama sebelumnya, sebut saja misalnya, tokoh mazhab Hanafî, Mâlikî, Syâfi‘î, dan Hanbalî. Di antara keempat ini tidak ada satu pun yang melegalisasikan kemaslahatan berdasarkan perspektif manusia sebagai dalil hukum yang mandiri. Oleh karena itu, oleh berbagai kalangan dikatakan bahwa at-Tûfî telah melakukan dekonstruksi sumbersumber hukum Islam
Syarat-Syarat Maslahah al-Mursalah
Maslahah mursalah sebagai metode hukum yang mempertimbangkan adanya kemanfaatan yang mempunyai akses secara umum dan kepentingan tidak terbatas, tidak terikat. Dengan kata lain maslahah mursalah merupakan kepentingan yang diputuskan bebas, namun tetap terikat pada konsep syari’ah yang mendasar. Karena syari’ah sendiri ditunjuk untuk memberikan kemanfaatan kepada masyarakat secara umum dan berfungsi untuk memberikan kemanfaatan dan mencegah kemazdaratan (kerusakan). Kemudian mengenai ruang lingkup berlakunya maslahah mursalah dibagi atas tiga bagian yaitu:
- Al-Maslahah al-Daruriyah, (kepentingan-kepentingan yang esensi dalam kehidupan) seperti memelihara agama, memelihara jiwa, akal, keturunan, dan harta.
- Al-Maslahah al-Hajjiyah, (kepentingan-kepentingan esensial di bawah derajatnya al-maslahah daruriyyah), namun diperlukan dalam kehidupan manusia agar tidak mengalami kesukaran dan kesempitan yang jika tidak terpenuhi akan mengakibatkan kerusakan dalam kehidupan, hanya saja akan mengakibatkan kesempitan dan kesukaran baginya.
- Al-Maslahah al-Tahsiniyah, (kepentingan-kepentingan pelengkap) yang jika tidak terpenuhi maka tidak akan mengakibatkan kesempitan dalam kehidupannya, sebab ia tidak begitu membutuhkannya, hanya sebagai pelengkap atau hiasan hidupnya.[13]
Untuk menjaga kemurnian metode maslahah mursalah sebagai landasan hukum Islam, maka harus mempunyai dua dimensi penting, yaitu sisi pertama harus tunduk dan sesuai dengan apa yang terkandung dalam nash (alQur’an dan al-Hadits) baik secara tekstual atau kontekstual. Sisi kedua harus mempertimbangkan adanya kebutuhan manusia yang selalu berkembang sesuai zamannya. Kedua sisi ini harus menjadi pertimbangan yang secara cermat dalam pembentukan hukum Islam, karena bila dua sisi di atas tidak berlaku secara seimbang, maka dalam hasil istinbath hukumnya akan menjadi sangat kaku disatu sisi dan terlalu mengikuti hawa nafsu disisi lain. Sehingga dalam hal ini perlu adanya syarat dan standar yang benar dalam menggunakan maslahah mursalah baik secara metodologi atau aplikasinya.
Adapun syarat maslahah mursalah sebagai dasar legislasi hukum Islam sangat banyak pandangan ulama, diantaranya adalah :
- Menurut Al-Syatibi
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum bila :
- Kemaslahatan sesuai dengan prinsip-prinsip apa yang ada dalam ketentuan syari’ yang secara ushul dan furu’nya tidak bertentangan dengan nash.
- Kemaslahatan hanya dapat dikhususkan dan diaplikasikan dalam bidang-bidang sosial (mu’amalah) di mana dalam bidang ini menerima terhadap rasionalitas dibandingkan dengan bidang ibadah. Karena dalam mu’amalah tidak diatur secara rinci dalam nash.
- Hasil maslahah merupakan pemeliharaan terhadap aspek-aspek Daruriyyah, Hajjiyah, dan Tahsiniyyah. Metode maslahah adalah sebagai langkah untuk menghilangkan kesulitan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan.[14] sesuai firman Allah:
وَجَٰهِدُواْ فِي ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦۚ هُوَ ٱجۡتَبَىٰكُمۡ وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمۡ إِبۡرَٰهِيمَۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ مِن قَبۡلُ وَفِي هَٰذَا لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيۡكُمۡ وَتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِۚ فَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعۡتَصِمُواْ بِٱللَّهِ هُوَ مَوۡلَىٰكُمۡۖ فَنِعۡمَ ٱلۡمَوۡلَىٰ وَنِعۡمَ ٱلنَّصِيرُ ٧٨
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (Q.S. Al-Hajj : 78).
Menurut Abdul Wahab Khallaf
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai legislasi hukum Islam bila memenuhi syarat yang diantaranya adalah:
- Berupa maslahah yang sebenarnya (secara haqiqi) bukan maslahah yang sifatnya dugaan, tetapi yang berdasarkan penelitian, kehati-hatian dan pembahasan mendalam serta benar-benar menarik manfa’at dan menolak kerusakan.
- Berupa maslahah yang bersifat umum, bukan untuk kepentingan perorangan, tetapi untuk orang banyak.
- Tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan oleh nash (alQur’an dan al-Hadits) serta ijma’ ulama.[15]
Menurut Al-Ghozali
Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum bila:
- Maslahah mursalah aplikasinya sesuai dengan ketentuan syara’
- Maslahah mursalah tidak bertentangan dengan ketentuann nash syara’ (al-Qur’an dan al-Hadits).
- Maslahah 3mursalah adalah sebagai tindakan yang dzaruri atau suatu kebutuhan yang mendesak sebagai kepentingan umum masyarakat.[16]
Menurut Jumhurul Ulama bahwa maslahah mursalah dapat sebagai sumber legislasi hukum Islam bila memenuhi syarat sebagai berikut:
- Maslahah tersebut haruslah “maslahah yang haqiqi” bukan hanya yang berdasarkan prasangka merupakan kemaslahatan yang nyata. Artinya bahwa membina hukum berdasarkan kemaslahatan yang benar-benar dapat membawa kemanfaatan dan menolak kemazdaratan. Akan tetapi kalau hanya sekedar prasangka adanya kemanfaatan atau prasangka adanya penolakan terhadap kemazdaratan, maka pembinaan hukum semacam itu adalah berdasarkan wahm (prasangka) saja dan tidak berdasarkan syari’at yang benar.
- Kemaslahatan tersebut merupakan kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan yang khusus baik untuk perseorangan atau kelompok tertentu, dikarenakan kemaslahatan tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh orang banyak dan dapat menolak kemudaratan terhadap orang banyak pula.
- Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits baik secara zdahir atau batin. Oleh karena itu tidak dianggap suatu kemaslahatan yang kontradiktif dengan nash seperti menyamakan bagian anak laki-laki dengan perempuan dalam pembagian waris, walau penyamaan pembagian tersebut berdalil kesamaan dalam pembagian.[17]
Berdasarkan ketentuan di atas dapat dirumuskan bahwa maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum serta dapat diaplikasikan dalam tindakan sehari-hari bila telah memenuhi syarat sebagai tersebut di atas, dan ditambahkan maslahah tersebut merupakan kemaslahatan yang nyata, tidak sebatas kemaslahatan yang sifatnya masih prasangka, yang sekiranya dapat menarik suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan. Dan maslahah tersebut mengandung kemanfa’atan secara umum dengan mempunyai akses secara menyeluruh dan tidak melenceng dari tujuan-tujuan yang dikandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Hukum yang menyangkut ibadah diatur dengan nas-nas yang qat’i karena tidak menyentuh kepentingan lahiriyah manusia dan bersifat gair ma’qul ma’na (tidak dapat dijangkau oleh pikiran maknanya). Oleh karena itu, harus diterima apa adanya sebagaimana telah ditentukan oleh nas. Dengan demikian, manusia tidak dapat menentukan bentuk ibadah lain selain yang telah ditentukan oleh nas. Berlainan dengan nas-nas dalam masalah ibadah, nas-nas dalam bidang muamalah sebagian besar adalah nas-nas yang zanni, yang mengandung prinsip-prinsip umum tentang hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungannya dengan alam sekitarnya.
Syatibi memberikan pendapat bahwa jarang sekali dalil-dalil syara’ bila dilihat secara berdiri sendiri (ahad) yang qat’i. Pandangan ini didasarkan kepada prinsip bahwa bila dalil-dalil syara’ itu ahad tentu tidak qat’i, melainkan bersifat zanni. Penentuannya sangat bergantung kepada naql al-luqah dan pendapat-pendapat ahli nahwu. [18]
Syatibi bukan berarti menolak adanya ayat-ayat qat’i dalam al-Qur’an, tetapi Syatibi sesungguhnya ingin menyatakan bahwa untuk sampai pada pengertian qat’i al-dalalah sebagai istilah yang populer dipakai mengalami suatu proses sehingga suatu hukum yang diangkat dari ayat-ayat itu pada akhirnya disebut qat’i al-dalalah. Menurutnya, kepastian makna (qat’i al-dalalah) suatu nas berasal dari sekumpulan dalil zanni (ahad) yang semuanya mengandung kemungkinan makna yang sama sehingga satu sama lain saling mendukung dan memiliki kekuatan tersendiri. Kekuatan dari himpunan dalil ini membuatnya tidak bersifat zanni lagi yang menjadi semacam mutawatir ma’nawi. Inilah yang kemudian dinamakan qat’i al-dalalah.
Syatibi mengemukakan contoh mengenai perintah shalat. Apabila perintah shalat dipahami hanya dari firman Allah swt. yang potongannya berbunyi “aqimu al-salah”, maka akan bersifat zanni. [19] Namun, karena didukung oleh sejumlah dalil lain yang menjelaskan adanya pujian dari Allah bagi orang yang melakukan shalat, celaan dan ancaman bagi yang meninggalkannya dan perintah kepada mukallaf melakukannya dalam keadaan bagaimanapun, baik ketika sehat atau sakit, damai atau perang serta dalil-dalil lain tentang shalat. Kumpulan nas yang semakna dengan ini secara keseluruhan kemudian disepakati ulama melahirkan ketentuan secara pasti (qat’i) tentang wajib shalat.
Penjelasan qat’i al-dalalah tersebut, dapat diamati dari dua sisi, yaitu: pertama, suatu lafal yang menunjukkan untuk suatu makna yang jelas. Qat’i al-dalalah dalam pengertian ini dapat dipahami definisi berikut: “suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian pengertian lain secara pasti”.
Al-Gazali mengemukakan pendapat yang sama dengan ini, meskipun dalam rumusan yang berbeda. Menurut ulama ini, qat’i al-dalalah adalah suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat semenjak asalnya. [20] Tampaknya yang dimaksud Syatibi bahwa jarang sekali ayat-ayat qat’i dalam al-Qur’an adalah qat’i yang mengandung makna yang jelas lagi berdiri sendiri tanpa didukung oleh dalil lain.
Kedua, qat’i al-dalalah dari sisi bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian makna lain yang didukung oleh dalil. Dalam ide yang sama al-Gazali pun menyatakan bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat yang didukung oleh dalil. [21]
Abdul Wahbah Abdul Salam menyetujui pendapat yang mendefinisikan zanni al-dalalah sebagai: “Apabila dalalah suatu lafal tidak menunjukkan untuk makna tertentu, tetapi mengandung kebolehjadian makna lain, lafal itu sendiri mengandung dua makna atau lebih”.
Definisi tersebut, jelas bahwa nas atau ayat-ayat zanni al-dalalah mengandung kemungkinan lebih dari satu makna sehingga merupakan lapangan ijtihad bagi para ulama untuk menentukan makna mana yang lebih kuat dan dikehendaki oleh ayat tersebut dengan jalan menafsirkan atau menakwilkannya. Dalam konteks ini, mungkin sekali terjadi perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat-ayat zanni al-dalalah. Ayat-ayat zanni bukan hanya dapat dikaji dari sisi kebahasaan, tetapi dapat dikaji untuk selanjutnya dikembangkan dari sisi substantif yang dikandungnya. Untuk mencapai maksud ini, dilakukan dengan menggunakan metode istinbat hukum yang meliputi kias, istihsan, istislah dan ‘urf.
[1] Munawar Kholil, Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah, Semarang: Bulan Bintang, hlm. 43
[2] Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, 1973, hlm. 219.
[3] Munawar Kholil, op. cit
[4] Abdullah Wahab Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Bansany, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet-8, 2002, hlm. 123.
[5] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, et al., Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. 9, 2005, hlm. 424.
[6] Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, Juz 2, Bairut: Dar al-Fikr, tt., h, 784.
[7] Jalaluddin al-Suyuti, Al-Asbah wa al-Nazdo’ir, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, 1987, h. 31.
[8] Hasbi Asy-Siddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 373.
[9] Yûsuf Hâmid al-‘Âlim, al-Maqâsyid al-’Âmmah, h. 138
[10] Abdallah M. al-Susayn al-’Amri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam, h. 42.
[11] Abdallah M. al-Susayn al-’Amri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam ., h. 42-43
[12] Abdallah M. al-Susayn al-’Amri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam , h. 43.
[13] Muhammad Abu Zahrah, ….., h. 426
[14] Al-Syatibi, Al-I’tishom, Beirut: Dar al-Fikr, 1991, h. 115.
[15] Abdullah Wahab Khallaf,….h, 125.
[16] Mukhsin Jamil (ed.), Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang: Walisongo Press, 2008), h. 24.
[17] Mukhsin Jamil (ed.), Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam,……,25.
[18] Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Juz I (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 2003), h. 26.
[19] Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, ……27.
[20] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Jil. II (Beirut: Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, t.th), h. 94.
[21] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, …..95