Opini

Poligami Ibadahkah ?

di Review oleh Dian Rahmat Nugraha, SHI,M.Ag ( LTNNU Kab. Tasikmalaya -Jawa Barat )

Monogami Sangat Indah


Masalah rumah tangga diantaranya Poligami yang dilakukan oleh seorang suami adalah masalah yang selalu ada di dalam perbincangan kehidupan sehari hari disekitar kita , masalah kehidupan keluarga yang terbukti suaminya berpoligami mengakibatkan istri nya yang disalahkan oleh keluarga suami atau masyarakat meski sangat banyak pula yang menyalahkan pihak suaminya yang terbukti melakukan hal hal yang tabu tersebut
Poligami yang dilakukan sebagian besar membuat perilaku munafik pada diri pelaku dan mencari kebohongan di atas kebohongan yang lain yang biasanya proses poligami ini dimulai dengan perselingkuhan dan ketidakberdayaan membendung syahwat dan dilakukan tanpa sepengetahuan istri dan juga dalam pernikahnnya sebagian besar dilakukan secara sirri atau juga dibawah tangan
Dalam ilmu antropologi ada dua jenis perkawinan yang menyebabkan si isteri berbeda dalam menerima poligami ini yaitu :
1. Romantic love marriage
Isteri tidak bisa menerima tapi suami masih mencintai sehingga yang ada isteri dan suaminya terus menerus terjadi perang dingain dalam rumah tangganya
2. Ekononic marriage
Ini tidak lain harus diterima dan di rasionalisasikan karena untuk pemenuhan kebutuhannya dan mayoritas terjadi pada keluarga petani atau agraris
Permasalahan dalam fiqih terus bergulir dan dinamis misal dalam masalah wudhu dan masalah saksi dalam perceraian. Dalam masalah wudhu contohnya batal wudhu ketika bersentuhan dan sentuhan ini memiliki perbedaan penafsiran ada yang mengatkan sentuhan biasa dengan yang bukan mahram dan ada juga yang memaknai zima, dan dalam buku sunnah monogami ini ada 3 persoalan yang nampak jelas diwarnai keragaman dan perbedaan bisa bersumber dari teks itu sendiri dan juga bisa pada konteks realitas dan dari ketiga nya bisa diidentifikasi 3 karakter dalam fiqih yanitu pluralitas, plexibilitas dan relativitas
SyehAl-ghojali adalah salah satu ulama yang gigih mengendepankan upaya pemihakan terhadap perempuan dalam isu isu tertentu , salah satu yang dikritik adalah larangan perempuan keluar rumah, bekerja dan beraktifitas dan juga mengkritik makna Wadribuhunna atau suami boleh memukul isterinya yang ada dalam sumber hukum kita yang meski berbentuk amar tapi redaksi ini tidak dipahami ulama sebagai perintah wajib, sunnah ataupun irsyad memukul hanyalah sebuah hak yang bisa digunakan atau tidak digunakan dan mayoritas berpendapat ulama bahwa meninggalkanya adalah lebih utama, Nabi sendiri dalam hadist memilih tidak menggunakan haknya sama sekali dan ada syarat kebolehan dengan syarat tidak mencederai dan tidak pada wajah
Jadi teks dalam fiqih klasik poligami dalam piqih dijelaskan sebagai sesuatu yang dibolehkan degan syarat keadilan, Imam zamaksari mengatakan bahwa al qur’an memerintahkan untuk menikahi dan meninggalkan kebiasaan poligami secepatnya karena pokok persoalan ayat adalah soal keadilan dan disitulah kita harus mengikuti dan memilihnya dan dalam Ayat 3 annisa menjadi primadona ketika seseorang bicara poligami mereka mengatakan bahwa yang menolak adalah tidak menerima syariat Alloh dan lebih prontal lagi pendapat Al Qur’an memerintahkan poligami daripada monogami .
Tapi semestinya bagi kita persoalan poligami tidak dipahami dari satu penggalan ayat saja tapi penafsiran al Qur’an memerlukan kaidah kaidah tersendiri yang jika digunakan tidak menghasilkan kesimpulan yang simplisistis tentang poligami . Dan secara literal memang disebutkan dalam al Qur’an tapi tidak semuanya disebutkan di dalam al qur’an tidak disimpulkan sebagai anjuran dan tuntunan karena jika menelusuri kitab tafsir para ulama tidak memehami ayat ini secara literal begitu saja karena setiap ayat dibaca dengan dampingan ayat ayat lain dan hadist lain serta dengan bantuan ilmu bahasa dan ilmu ilmu lain nya. Banyak permasalahan yang ada dalam fiqih yang jadi wacana di kalangan umat kehilangan harga dirinya Perbincangan mengenau kesaksian perceraian adalah contoh bagaimana fiqih memiliki pemaknaan logika pemaknaan yang bisa berbeda dari makna literal , kitab kitab fiqih klasik kita ( madzhab sunni ) sama sekali tidak membahas secara cukup mengenai kesaksian perceraian . sementara kesaksian perceraian di bahas cukup panjang dan doperdebatkan diantara madzhab madzhab fiqih yang ada . Padahal al qur’an secara literal memerintahkan kesaksian perceraian dan tidak membahsa sama sekali persaksian pernikahan . sesuatu yang di perintahkan al qur,an yaitu persaksian perceraian tidak dibahas dalam fiqih , tapi yang tidak dibahas dalam al qur,an yakni pernikahan diperbincangkan dengan panjang lebar .Mayoritas ulama kita tidak mensyaratkan persaksian perceraian tapi mensyaratkan pernikahan
Anehnya madzhab Hanafi yang memiliki kaedah memprioritaskan perintah al qur,an daripada tuntunan Hadist juga tidak mensyaratka saksi perceraian , sekalipun diperintahkan al qur’an . Mungkin argumentasinya dibangun dari teks teks hadist yang oleh madzhab Hanafi sebenarnya tidak bisa mengalahkan teks perintah Al qur’an . Sementara mengenai saksi pernikahan, Madzhab Hanafi memilih mensyaratkan sekalipun al qur,an tidak menyebtkan dalam ayat ayat anjuran pernikahan dan hanya di sebutkan dalam redaksi teks teks hadist .
Persoalan lain yakni tentang hukum mandi jumat , ada teks hadisst yang tegas menyatakan setiap muslim wajib mandi pada setiap jumat , tapi mayoritas ulama fiqih termasuk syafii keras pembelaannya terhadap hadist , bahwa mandi jumat tidak wajib hanya sunnah saja , dengan argumentasi hadis yang tidak lebih kuat dari hadist pertama da nada argument lain yakni perubahan kondisi ruang masjid dan kebiasan yang jauh berbeda di banding masa awal Islam . Pada masa awal Islam ruangan masjid sangat sempit dan pengap sementara pada masjid zaman sahabat sudak luas dan lebar. bahkan maliki cukup dengan membersihkan badan dan atau memekai wewangian tanpa mandi
Dari 3 persoalan itu jelas bahwa pandangan fiqih syarat dengan keragaman dan perbedaaan . ini bisa bersumber pada pada lapal teks itu sendiri dan juga bisa konteks nya , dan salah satu ajaran fiqih yang dikritik al- Ghazali adalah larangan perempuan untuk pergi ke masjid, keluarr rumah untuk belajar bekerja dn berkreatifitas dan al ghojali menegeskan pemihakan terhadap perempuan dan menjelaskan betapa peminggiran perempuan telah muncul sejak zaman sahabat banyak contoh diantarnya perdebatan antara ibnu Umar ra dengan anaknya mengenai pelarangan perempuan ke masjid .
Dan Al-qur’an menegaskan Monogami , yang ada dalam ayat 1 surat annisa persoalan poligami tidak hanya dipahamai dari satu pengagalan ayat saja, karena penafsiran al- qur’an memerlukan syarat syarat dan kaedah – kaedah nya tersendiri, yang jika digunakan tidak akan menghasilkan kesimpulan kesimpulan yang simplistic tentang poligami . Dalam surat annisa ayat 3 menyatakan focus ayat tersbut ada dua hal : pertama berbuat adil kepada anak yatim , kedua ketika berpoligami juga harus di dasarkan pada moralitas keadilan . jika khawatir tidak mampu adil, seharusnya mencukupi diri dengan satu isteri saja , agar tidak terjadi kedzaliman dan kenistaan dan dalam penjelasannya , ayat annisa turun ketika orang orang pada saat itu mempraktikan poligami sesuka mereka , Mereka tidak takut berbuat bertindak tidak adil ketika mempoligami perempuan , sementara mereka merasa takut bertindak tidak adil terhadap anak yatim .
Pandangan imam Zamaksari mengenai ayat ketiga suroh Annisa juga sama bahwa ayat ini mengaitkan kewaspadaan terhadap poligami dengan pengurusan anak yatim dari kemungkinan ketidakadilan dan justru memerintahkan untuk menikah dengan satu saja agar terhindar dari ketidakadilan atau menganiaya pasangan , pernyatan imam zamaksari adalah penegasan yang lugas bahwa focus ayat ini bukan pada soal poligami tapi soal ketidakadilan baik terhadap anak anak yatim ataupun isteri yang dipoligami . Keempat ayat dari surat Annisa pun semuanya berbicara tentang moralitas keadilan, kebaikan dan kerelaan , semangatnya sama dengan ayat ke tiga
Tidak ada anjuran poligami
Hampir pasti tidak ada seorang ulama pun paling tidak rujukan kitab kitab di atas, yang menganjurkan perkawinan poligami dengan bersandar pada ayat annisa tersebut dan imam dawud azzahiri berpendapat ayat itu hanya anjuran untuk perkawinan biasa saja bukan poligami Jika kebanyakan para ulama tafsir tidak merekomendasikan poligami , pertanyaanya mengapa praktik poligami banyak dilakukan masyarakat muslim awal , termasuk para sahabat dan tabiin
Dalam penjelasan Dr. Musthofa , poligami bukan datang pertama kali di bawa oleh Islam , jauh sebelum islam poligami telah dipraktekan bangsa bangsa diseluruh belahan bumi , oleh bangsa Yunani , Cina, India Babilonia , Mesir dan tempat lainnya bahkan umat Yahudi dan kristen pada sejarah awal mempraktekan poligami nabi seperti Nabi Sulaeman dalam kitab taurat di katakan berpoligami dan beristrikan 700 dari perempuan merdeka dan 300 budak dan seperti di sebutkan pula dalam kisah beberapa sahabat juga berpoligami dan terjadi sebelum AL qur;an di turunkan bahkan jauh sebelum masuk Islam spt kisah Ghilan bin Salamah , wahab al asady dan Qays bin Hadits semua masuk Islam dengan membawa lebih dari empat Isteri ada yang 10 ada yang 8 dan nabi kemudian memerintahkan 4 isteri saja dalam hadis yang di riwayatkan Tirmidzi . Jadi poligami tidak mungkin bisa di hapuskan begitu saja, Sama dengan kasus perbudakan yang juga tidak mungkin dihapuskan pada kelahiran awal Islam tapi al Qur’an turun melakukan kritik dan batasan batasan yang menginsfirasikan pentingnya transformasi social dan pembebasan, baik sebagai manusia dalam perbudakan maupun perempuan dalam kasus poligami
Poligami Ibadahkah ?
Nilai keibadahan poligami sebagai sebuah relasi perkawinan sangat susah ditemukan rujukannya dalam kitab kitab tafsir , kelompok azzahiri memandang pernikahan sebagai sebuah kewajiban agama dengan memandang pada ayat tersebut , tapi imam syafii memandang bahwa pernikahan adalah urusan syahwat manusia , sehingga tidak layak dikaitkan dengan perintah dan anjuran agama.  perkawinan karenanya tidak termasuk yang diwajibkan atau disunnahkan , ia hanya masuk dalam kategori sesuatu yang di perkenankan (mubah) untuk di lakukan
Sesuatu yang jika di tinggalkan di anggap lebih baik dalam istilah syari’ah tidak bisa disebut dengan kewajiban , sunnah atau dianggap ibadah. Karena kewajiban adalah sesuatu yang dalam agama harus di lakukan dan ibadah adalah paling tidak memperoleh apresiasi ketika dilakukan . Dengan demikian paling jauh yang mungkin dikatakan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang diperkenankan agama .

LTN NU Kab. Tasikmalaya

Maju bersama ummat, umat kuat negara hebat

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button