LARANGAN BERCERAI DAN PENYEBABNYA DALAM TINJAUAN PSIKOLOGI
Abstract
Pernikahan merupakan salah satu sumber kebahagiaan dalam kehidupan seseorang. Pernikahan akan memberikan banyak manfaat bagi tiap pasangan. Diantaranya dapat memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani bersama pasangannya. Ketika seseorang menikah tentunya memimpikan untuk memiliki pasangan yang dapat menyempurnakan dirinya, memperoleh keturunan yang baik, kehidupan yang sejahtera, dan berbagai impian tentang indahnya pernikahan sempurna lainnya. Namun di sisi lain, tidak semua pernikahan dapat berjalan seperti yang diharapkan. Berbagai konflik tidak dapat terlepas dari kehidupan rumah tangga seseorang. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya pertengkaran. Ketika suatu pernikahan tidak dapat memberikan kebahagiaan maka perceraian adalah solusi terbaik..
I. PENDAHULUAN
Pernikahan adalah suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan yang telah menginjak usia dewasa ataupun dianggap telah dewasa dalam ikatan yang sakral (Marlina, 2013). Dianggap sakral karena dalam pernikahan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan menjadisah secara agama (Dariyo, dalam Marlina, 2013). Menikah merupakan titik awal dari kehidupan berkeluarga dan tujuan yang ditetapkan dalam pernikahan akan berdampak pada kehidupan pernikahannya secara keseluruhan. Tujuan dari pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia selamanya (Agustian, 2013). Adapun menurut Undang-undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 pasal 1, bahwasanya perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Pernikahan adalah sebuah hubungan yang fundamental antar individu untuk dapat melaksanakan fungsi produksi, sosialisasi, penyaluran hasrat biologis (coitus), serta pemberian dukungan secara fisik maupun finansial bagi perkembangan anak-anak. Ketika seseorang telah menemukan seseorang yang akan mendampingi hidupnya, maka pernikahan adalah jalan untuk mempersatukan dua individu tersebut. Pernikahan pada dasarnya adalah berbagi perasaan dan ide antara suami dengan istri, sehingga melahirkan ekspresi dari perasaan dan komunikasi. Pernikahan juga mempunyai makna bahwa seseorang akan hidup berdampingan bersama pasangannya dan saling memberikan dukungan baik dalam suka maupun duka. Cinta adalah salah satu alasan mengapa seseorang memutuskan menikah, karena dengan menikah maka ia dan pasangan dapat mengekspresikan perasaannya secara intens. Sebuah pernikahan dapat dikatakan sukses jika di dalamnya terdapat kombinasi yang pas antara komunikasi yang baik, komitmen, cinta, kebersamaan, perhatian, dan saling memahami.
Namun dalam kenyataannya, tidak selalu pernikahan itu dihiasi dengan hal-hal yang indah. Pernikahan akan sangat rentan mengalami perbedaan pendapat antar pasangan dikarenakan perbedaan latar belakang dari suami maupun istri. Konflik yang terjadi dalam pernikahan adalah suatu hal yang sulit diprediksi un ngkuhan salah satu pihak (Rafiq dalam Rosyadi, 2012). Selain itu ada beberapa faktor lain yang menjadi penyebab perceraian menurut Nakamura (1989), Turner dan Helms (1995), maupun Sudarto dan Wirawan (2001) berupa: masalah ekonomi, perjudian, kekerasan verbal, penyalahgunaan narkoba, dan perselingkuhan (Dariyo, 2004).
Beberapa faktor pemicu perceraian yang telah disebutkan tersebut menunjukkan bahwa ada berbagai macam persoalan yang dapat menganggu kualitas hidup seseorang, khususnya dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Namun jika ternyata pernikahan tersebut sudah tidak dapat dipertahankan dan perceraian menjadi satu- satunya jalan yang harus dilalui oleh kedua belah pihak, maka Islam mengajarkan tiga cara untuk mengakhiri pernikahan tersebut. Pertama yang dapat dilakukan adalah dengan rekonsiliasi antara suami istri yang berselisih.
Cara kedua yang dapat dilakukan jika cara pertama tidak berhasil adalah dengan mengutusjuru damai yang menjadi mediator antara suami dan istri yang tentulah bukan menjadi cita-cita setiap pasangan. Namun pada akhirnya jika usaha yang dilakukan untuk mempertahankan tu, maka keputusan unuk bercerai merupakan bagian dari jalan hidup yang harus dilalui oleh individu yang mengalaminya.
Perceraian seperti yang sudah disebutkan pada hadits di atas, adalah suatu hal yang dibenci oleh Allah SWT, tetapi boleh dilakukan jika pernikahan sudah tidak mungkin dipertahankan.
Tulisan ini mencoba menelusuri faktor-faktor apa saja yang menyebabkan seseorang merasa tidak bahagia dalam pernikahannya dan kemudian memutuskan untuk bercerai ditinjau dari presfektif psikologi.
PEMBAHASAN
Pertahankan bahtera rumah tangga mereka memang didorong oleh beberapa faktor. Menurut R. Kamil Al-Hayali ada beberapa faktor yang membuat gonjang-ganjing sebuah rumah tangga yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya perceraian, yaitu:
- Faktor harta . Sudah banyak kasus seorang istri bisa tidak setia dengan suaminya hanya disebabkan keinginannya untuk memiliki benda-benda tertentu tidak terpenuhi. Istri merasa tidak tahan hidup bersama suami dalam suasana kemiskinan, sehingga lebih baik istri mencari suami baru lagi yang bisa memenuhi keinginannya untuk memiliki sesuatu yang berwujud materi (R. Kamil, 2004). Menurut Ganjar Triadi Budi Kusuma, banyak kasus pertengkaran terjadi pada sepasang keluarga baru yang tidak kokoh dari segi fondasi ekonomi (Ganjar, 2005). Pertengkaran itu apabila tidak segera dicarikan jalan keluarnya, dapat memicu perpecahan yang jadi catatan adalah banyaknya pasangan yang kurang memahami arti pernikahan dalam Islam yang tujuannya adalah ukhrowi banyak yang cerai alasan keuangan padahal menurut para ulama dilarang keras bercerai karena masalah ekonomi/harta semata atau hal duniawi . Harta bisa diusahakan jika pasangan sedang krisis , maka istri membantu dan terus bekerjasama karena sang khalik pun melalui firmannya berkata bahwa semua mahluk di muka bumi ini pasti diberi rezeki, tinggal kita mengelolanya sesuai kemampuan, Sabar dan syukur kita yang harus seimbang inyaalloh masalah harta bukan lagi jadi penyebabnya
- Faktor Kesetiaan . Banyak perceraian terjadi dikarenakan suami mempunyai wanita idaman lain atau istri mempunyai pria idaman lain. Kalau ditanya apa alasannya, ternyata pasangan suami istri tersebut sudah tidak ada rasa nyaman lagi untuk hidup berdua selama-lamanya. Masing-masing memiliki naluri untuk tidak setia dengan janji suci yang mereka ucapkan bersama atau mungkin masing-masing merasa ada cinta lain yang lebih hangat dan menggairahkan.
- Faktor Ketenangan . Sering dijumpai baik melalui media elektronik maupun media cetak, ikatan rumah tangga harus bubar karena sudah tidak ada lagi ketenangan, ketentraman dan keamanan di dalamnya. Rumah sudah tidak menjadi surga yang teduh lagi, tetapi menjadi neraka yang panas dan membahayakan karena suami sering ringan tangan atau istri sering menuntut. Selain ketiga faktor tersebut, dapat juga terjadinya perceraian karena belum adanya anak atau keturunan dari pasangan suami istri yang telah lama menikah. Banyak pasangan yang telah bertahun-tahun membina keluarga, belum juga dikaruniai kehadiran anak. Berbagai upaya sudah dilakukan, mulai dari mendatangi dokter spesialis kandungan hingga ke sejumlah paranormal atau orang pintar, namun hasilnya tetap nihil. Ternyata belum adanya karunia berupa anak kerap meresahkan sebuah pasangan baru. Bahkan tidak jarang dari persoalan ini timbul saling tuduh, saling menyalahkan, dan diakhiri dengan perceraian.
TAHAP TAHAP PROSES PERCERAIAN PAUL BAHANON (DALAM TURNER & HELMS, 1995; DARIYO, 2003; SOESMALIYAH SOEWONDO, 2001),
seorang ahli psikologi keluarga mengungkapkan bahwa perceraian itu terjadi melalui sebuah proses. Perceraian yang dialami oleh pasangan suami-istri terjadi melalui beberapa tahap. Ini artinya perceraian merupakan sebuah akhir dari proses yang didahului dengan peristiwa- peristiwa tertentu sesuai dengan kondisi hubungan pasangan suami-istri, seperti adanya perselingkuhan, apakah perselingkuhan dimulai oleh pasangan laki- laki atau wanita, maka proses perceraian sedang terjadi, sehingga masing-masing pasangan siap untuk berpisah antara satu dengan yang lain (Satiadarma, 2001). Lebih lanjut, Paul Bahanon menyatakan bahwa ada beberapa tahap dalam proses perceraian.
a Perceraian financial . Perpisahan antara pasangan suami-istri sangat krusial pada hal keuangan (financial divorce), untuk memberi uang belanja keluarga pada istrinya. Demikian juga, istri tidak mempunyai hak buat meminta jatah uang belanja keluarga, kecuali masalah keuangan yang dipergunakan buat memelihara anak- anaknya. Walaupun sudah bercerai, tetapi menjadi ayah, ia tetap berkewajiban buat merawat,membiayai dan mendidik anak- anak. Meskipun mereka sudah berstatus menjadi janda atau duda akibat dampak dari perceraian, mereka permanen adalah orang tua biologis terhadap anak-anak yang dilahirkan pada sebuah perkawinan yang sah menjadi anggota keluarga. Adanya realita tadi membawa konsekuensi kewajiban yang melekat secara alamiah bagi orangtua buat permanen memberikan biaya perawatan dan proteksi terhadap anak-anak, sampai mereka telah berdikari atau menginjak usia tertentu (misalnya usia 24 tahun, setelah lulus berdasarkan pendidikan sarjana).
b . Perceraian koparental (coparental divorce) . Setelah bercerai, masing-masing bekas pasangan suami-istri tidak lagi memiliki kebersamaan dalam mendidik anak-anak mereka, lantaran mereka sudah hidup terpisah dan sendiri, seperti sebelum menikah. Perceraian koparental (coparental divorce) tidak mensugesti fungsi mereka menjadi orangtua yang permanen wajib untuk berkewajiban buat mendidik, membina dan memelihara anak-anakmereka. Mereka tetap berkewajiban buat mengajak komunikasi dan memberi kasih-sayang pada anak-anak, walaupun tidak secara utuh. Untuk melaksanakan tugas pengasuhan pasangan yang telah bercerai, maka mereka akan melakukan perjanjian-perjanjian yang disepakati bersama, agar anak-anak sahih benar merasakan kasih sayang dan perhatian menurut orangtuanya. Dalam kenyataan, banyak sekali orangtua yang merasa kecewa, terluka dan depressif, akibatnya tidak sanggup melaksanakan tugas koparentalsecara utuh dan berkesinambungan.
Peristiwa perceraian selalu membayangi pikiran dan perasaannya, sehingga sulit terlupakan, akibatnya komitmen koparental terbengkelai sehingga mengakibatkan anak-anak semakin menjadi korban penelantaran dari orang tua biologis (Satiadarma, dalam Gunarsa, 2004). Hal ini sudah bisa ditebak akibatnya. Anak-anak pun semakin terluka, kecewa, sedih dan sakit hati atas perlakuan demikian. Ibaratnya mereka sudah jatuh dari tangga dan lalu tertimpa tangga lagi, sebagai akibatnya semakin parah keadaannya. Jadi anak-anak tumbuh dan berkembang dalam suasana dan situasi yang tidak menguntungkan,sehingga menjadi insan dewasa yang tidak utuh dan mengalami keterbelahan jiwa (gangguan ekulibrium jiwa). Keterbelahan jiwa (gangguan ekulibrium jiwa) merupakan gangguan kejiwaan yang di alami oleh seseorang dalam suatu keluarga yang mengalami perpisahan. Yang mana akibatnya adalah anak-anak yang akan merasakan dampak psikisnya.
c Perceraian Hukum. Perceraian secara resmi ditandai menggunakan sebuah keputusan hukum melalui pengadilan (law divorce). Bagi mereka yang beragama muslim, pengadilan agama akan mengeluarkan keputusan talak I, II dan III sebagai landasan hukum perceraian antara pasangan suami-istri. Sedangkan pasangan yang non-muslim, seperti Kristen Protestan, Katolik, Hindu maupun Budha), pengadilan umum negara atau kantor catatan sipil berperan untuk memutuskan dan mengesyahkan perceraian mereka. Dengan keluarnya keputusan resmi tadi, maka masing-masing individumantan pasangan suami-istri, mempunyai hak yang sama untuk memilih masa depan hidupnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh pihak lain. Kini mereka memiliki status yang baru yaitu sebagai janda atau duda. Oleh karenanya, mereka berhak untukmenikah lagi dengan orang lain yang dianggap cocok dengan dirinya. Mereka tidak perlu merasa takut terhadap siapapun dalam mengambil keputusan tersebut, lantaran telah bercerai resmi secara hukum. Dengan demikian, mereka tidak dipercaya sebagai suatu perselingkuhan apabila berpacaran, bertunangan dan maupun menikah dengan orang lain. Dengan kata lain mereka bebas bertindak dan memilih pendamping pasangan hidup sesuai apa yang mereka inginkan.
d Perceraian KomUnitas , Menikah merupakan upaya untuk mengikatkan 2 (dua) komunitas budaya, adatkebiasaan, sistem sosial-kekerabatan juga kepribadian yang berbeda supaya menjadi satu. Mereka bukan lagi menjadi dua orang individu yang berbeda tetapi telah menganggap dirinya menjadi satu- kesatuan yang utuh dalam keluarga. Apa yang mereka miliki akan menjadi milik bersama. Tetapi ketika mereka telah resmi bercerai, maka masing-masing individu akan kembali pada komunitas sebelumnya. Jadi mereka mengalami perpisahan komunitas (community divorce). Mereka tidak lagi akan berkomunikasi, berhubungan atau mengadakan kerja-sama dengan bekas pasangan hidupnya, mertua, atau komunitas masyarakat sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa perceraian komunitas keluarga juga mempengaruhi relasi dengan komunitas tempat pekerjaan. Atasan maupun teman-teman sekerja mempersepsikan hal-hal yang tidak baik terhadap seseorang yang bercerai yaitu gagal dan tidak mampu mengurus keluarga, tidak mampu membina rasa cinta dengan pasangan hidup dan tidak dapat dipercaya untuk mengemban misi perkawinan. Akibatnya komunitas tempat pekerjaan mengambil sikap atau menjaga jarak selama jangka saat eksklusif, sampai kemudian terjadi pemahaman yang shahih terhadap konflik yang mengakibatkan perceraian tersebut, sebagai akibatnya terjadi pemulihan hubungan komunitas tempat pekerjaan.
e Perceraian secara psiko-emosional . Sebelum bercerai secara resmi, adakalanya masing-masing individu merasa jauh secara emosional dengan pasangan hidupnya (psycho-emotional divorce), walaupun mungkin mereka masih tinggal dalam satu tempat tinggal. Pertemuan secara fisik, tatap muka, berpapasan atau hidup serumah, bukan tolok ukur menjadi tanda keutuhan hubungan suami-istri. Masing-masing mungkin tidak bertegur-sapa, berkomunikasi, acuh tidak acuh, “cuek”, tidak saling memperhatikan dan tidak memberi kasih-sayang. Kehidupan mereka terasa hambar, kaku, tidak nyaman, dan tidak bahagia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwasannya secara fisik berdekatan, akan tetapi mereka merasa jauh dan tidak ada ikatan emosional menjadi pasangan suami-istri. Ikatan emosional yang sudah terbentuk semenjak jatuh cinta dan berkembang dan ketika masing-masing pasangan mengucapkan ikrar kesetiaan dalam program ritual perkawinan, semenjak terjadi perceraian, maka ikatan emosional tadi telah hancur dan masing-masing mencoba untuk merepress ke dalam alam sadar. Seolah-olah mereka tidak pernah melakukan suatu perkawinan yang resmi, atau menganggap sebagai sebuah mimpi, sehingga pikiran dan perasaan mereka mencoba untuk meniadakan unsur keterangan sejarah perkawinan yang pernah dialaminya
f Perceraian secara fisik. Perpisahan secara fisik (physical divorce) merupakan suatu kondisi di mana masingmasing individu tidak lagi tinggal dalam satu rumah dan telah menjauhkan diri dari mantan pasangan hidupnya. Masing-masing tinggal pada rumah atau tempat yang berbeda. Mereka benar-benar tidak bertemu secara fisik dan tidak lagi berkomunikasi secara intensif. Dengan demikian, mereka tidak memperoleh kesempatan untuk melakukan hubungan sexual lagi dengan bekas pasangan hidupnya. Oleh karena itu, mereka wajib menahan diri untuk tidak menyalurkan libido sexual dengan siapa pun. Perpisahan fisik terjadi setelah mereka berpisah secara hukum melalui pengadilan. Proses perpisahan secara fisik, diawali menggunakan suatu kondisi psiko-emosional yang tidak seimbang pada diri masing-masing pasangan, sehingga mensugesti seorang pasangan untuk tidak bertemu muka, tidak berkomunikasi dan saling mendiamkan dengan partnernya (Dariyo, 2004). Dalam hal ini, setiap masing-masing pasangan mengetahui dan menyadari kondisinya secara psikis akan hasratnyauntuk tidak saling bertatap muka dan tidak saling berkomunikasi.
SEBAB-SEBAB DIBOLEHKANNYA PERCERAIAN DALAM TINJAUAN PSIKOLOGI
Tujuan dari sebuah pernikahan adalah tercapainya rumah tangga yang Sakinah Mawaddah dan Rahmah. Ketika kebahagiaan, ketenangan, kenyamanan dan rasa cinta dan sayang telah hilang dan jika bahtera rumah tangga diteruskan hanya akan membawa kemadharatan maka dengan sebab-sebab itulah sebuah perceraian dapat dijadikan alternatif suatu kebahagian dan ketenangan jiwa. Menurut Seligman, perceraian dapat dihubungkan dengan kebahagiaan melalui faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kebahagiaan. Seligman membagi dalam 2 (dua) factor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Berikut ini adalah penjabaran dari faktorfaktor eksternal yang berkontribusi terhadap kebahagiaan seseorang menurut Seligman, yakni uang, pernikahan, kehidupan sosial, kesehatan, dan agama.
- Faktor Eksternal Kebahagiaan Jika dilihat dari kelima faktor di atas, perceraian pada umumnya dianggap sebagai pemicu ketidakbahagiaan. Alasannya adalah bahwa perceraian menyebabkan lepasnya sumber keuangan, pemutus pernikahan, perusak kehidupan sosial, penyebab turunnya kesehatan, dan tidak patuh terhadap ajaran agama. Pasangan yang bercerai, apalagi ketika ia terbiasa mendapat suplai keuangan dari pasangannya, maka perceraian adalah sebuah ancaman keuangan yang serius. Ia akan bingung dan stres karena tidak mempunyai sumber penghidupan.
Namun masalah keuangan yang dihadapi oleh pasangan yang bercerai tidak selamanya akan menyengsarakan salah satu pihak. Banyak kasus menunjukkan dengan bercerai, justru bisa lebih bahagia tanpa harus membebani suami. Dalam hal pernikahan, perceraian memang akhir dari sebuah pernikahan. Pernikahan yang sakral terpaksa harus diputus karena kedua belah pihak tidak lagi seiring sejalan. Bagi sebagian orang, perceraian memang dianggap tabu, apalagi membawa dalil-dalil agama bahwa perceraian itu halal namun dibenci Allah SWT. Namun, jika pembacaan agama hanya sampai di sini, maka perceraian menjadi seperti sesuatu yang haram. Jika dipahami lebih mendalam, agama Islam mengijinkan seseorang untuk bercerai dengan syarat perceraiannya itu dilakukan dengan baik. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah: 229 yang berbunyi
طَّلَاقُ مَرَّتٰنِ ۖ فَاِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌۢ بِاِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَأْخُذُوْا مِمَّآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْـًٔا اِلَّآ اَنْ يَّخَافَآ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۙ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهٖ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَعْتَدُوْهَا ۚوَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Artinya: Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim. (al-baqarah: 229)
Ayat tersebut memberikan pengajaran bahwa pernikahan itu harus dijalankan dengan baik. Namun apabila tidak bisa dipertahankan, maka jalan keluarnya adalah bercerai dengan baik pula. Jalan baik dalam perceraian antara lain adalah melakukan perceraian yang mendapatkan legitimasi dari institusi pengadilan agama. Jika seseorang sudah bercerai, maka ia memiliki kesempatan untuk menikmati kesendiriannya yang lebih bebas daripada saat masih terikat dengan pasangannya. Apabila nanti setelah masa tertentu kemudian ia ingin menikah lagi dengan orang yang menurutnya tepat, maka ia akan mudah untuk melakukannya tanpa dibayang-bayangi oleh ikatan pernikahan sebelumnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perceraian merupakan salah satu cara untuk dapat menikah lagi di masa mendatang. Ini merupakan salah satu kebahagiaan tersendiri setelah seseorang bercerai. Lebih lanjut, kebahagiaan terkait dengan kehidupan sosial. Jika salah satu pihak atau keduanya masih muda, kemungkinan untuk mengganggu rumah tangga orang lain berpeluang besar.
Namun, jika pemikirannya ini dibiarkan, maka sekali lagi, pasangan yang bercerai menanggung banyak beban, termasuk beban sosial sebagai pengganggu. Oleh sebab itu, cara pandang semacam ini harus dirubah dengan cara melihat dari sisi positifnya. Perceraian ternyata berpotensi untuk membuat situasi kehidupan sosial lebih nyaman. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pasangan yang bercerai banyak disebabkan oleh situasi keluarga yang kurang harmonis. Keluarga yang bermasalah ini seringkali bertengkar yang bisa berakibat pada suasana rusuh, misalnya teriak-teriak atau beradu fisik sehingga dapat mengganggu tetangga. Belum lagi jika anak yang tidak berdosa ikut menjadi korban penelantaran. Oleh sebab itu, perceraian justru menjadi pintu darurat untuk menjaga ketenangan masyarakat sehingga kebahagiaan dapat dicapai. Berikutnya adalah tentang kesehatan.
Indra Noveldi dan Nunik Hermawati menjelaskan relasi antara pernikahan dan kebahagiaan. Mereka bahkan meminta masyarakat untuk memikirkan tentang masalah rumah tangganya dan berusaha menyelesaikannya. Namun jika tidak bisa, perceraian ternyata juga menjadi salah satu rekomendasi mereka.(Indra dan Nunik, 2014) Jika perceraian tidak juga diambil, maka seseorang yang memang mengalami masalah berat ini akan kehilangan stabilitas mentalnya sehingga dapat dengan mudah mempengaruhi kesehatannya. Ia akan galau dan sedih tersiksa oleh pikirannya yang kalut. Oleh sebab itu, perceraian merupakan langkah pamungkas untuk menyelamatnya jiwa seseorang dari kemelut rumah tangganya. Yang terakhir, perceraian sering dianggap sebagai pelanggaran nilai-nilai agama. Hal ini lebih menyedihkan jika dihubungkan dengan ikatan kuat dalam pernikahan yang biasa disebut mitsaqan ghaliza. Padahal, sekali lagi bahwa perceraian termasuk salah satu cara untuk menyelesaikan masalah keluarga yang diatur dalam Islam. Oleh sebab itu, perceraian tidak hanya dilihat dari sisi negatif, namun harus dilihat dari berbagai sisinya sehingga perceraian mempunyai posisi penting dalam membangun masyarakat.
2 . Faktor Internal Kebahagiaan Menurut Seligman, terdapat tiga faktor internal yang berkontribusi terhadap kebahagiaan, yaitu kepuasan terhadap masa lalu, optimisme terhadap masa depan, dan kebahagiaan pada masa sekarang. Ketiga hal tersebut tidak selalu dirasakan secara bersamaan, seseorang bisa saja bangga dan puas dengan masa lalunya namun merasa getir dan pesimis terhadap masa sekarang dan yang akan datang. Ketiga hal itu adalah kepuasan terhadap masa lalu, optimisme terhadap masa depan, dan kebahagiaan masa sekarang. Jika didalami lebih jauh, perceraian yang dihubungkan dengan faktor internal kebahagiaan berkaitan dengan bagian optimisme terhadap masa depan. Perceraian memang situasi yang dihadapi pada masa sekarang. Perceraian terjadi karena adanya ketidakpuasan dengan situasi masa lalu dan situasi sekarang. Untuk itu, perceraian diambil sebagai solusi melepas dari masa lalu yang kurang menyenangkan dan masa sekarang yang dirundung masalah. Menurut penulis ketika sebuah rumah tangga dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan dari sebuah pernikahan yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah dan jika diteruskan hanya akan membawa madharat baik secara fisik maupun mental maka dapat lah kiranya perceraian sebagai alternatif kebahagian dan kemaslahatan. tapi alasan ini bukan karena kekurangan harta atau keuangan karena rijki sudah di tentukan oleh sang khalik dan masalah rizki bisa di usahakan
III. KESIMPULAN
Perceraian memiliki hubungan erat dengan kebahagiaan. Hal ini terkait dengan cara pandang terhadap perceraian itu sendiri. Jika dipandang dari sisi negatif, maka perceraian dianggap masalah yang harus dihindari dan dipandang sebagai sebuah penyakit. Namun, jika perceraian dianggap sebagai jalan keluar yang dilakukan untuk mencapai kemaslahatan, maka perceraian bisa dinilai sebagai solusi, namun alangkah baiknya perceraian penyebabnya bukan masalah karena harta, sebab larangan keras jika perceraian akibat hal kekurangan masalah harta ini
IV. DAFTAR PUSTAKA
Agustian, H. (2013). Gambaran Kehidupan Pasangan yang Menikah di Usia Muda di Kabupaten Dharmasraya. Spektrum PLS, Vol. 1(1). Dariyo, A. (2003). “Psikologi perkembangan dewasa muda”, Grasindo, Jakarta. Dariyo, A. (2004). Memahami Psikologi Perceraian dalam Kehidupan Keluarga. Jurnal Psikologi Universitas INDONUSA Esa Unggul, Vol. 2 (2). ———— (2004). ”Psikologi perkembangan remaja”, Ghalia Indonesia, Jakarta. Ganjar Triadi Budi Kusuma, (2005). Bercerai dengan Indah (Problematika Cinta, Rumah Tangga, dan Perceraian), Intishar, Yogyakarta. Gunarsa, S. D, (2004). ”Anak-anak telantar”, Dalam bunga rampai psikologi perkembangan dari anak sampai lanjut usia BPK Gunung Mulia, Jakarta. Indra Noveldi dan Nunik Hermawati, (2014). “Menikah untuk Bahagia”, Formula Cinta Membangun Surga di Rumah, Noura Books. Marlina, Nur. (2013). Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Orangtua dan Kematangan Emosi dengan Kecenderungan Menikah Dini. Empathy: Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Vol. 2(1). R. Kamil Al-Hayali, (2004). Jangan Ceraikan Aku, Diva Press, Yogyakarta. Rosyadi, I. (2012). Perceraian di Luar Sidang Pengadilan Agama: Perspektif Majelis Tarjih. Jurnal Tajdida, Vol. 10 (2). Satiadarma, M. P, (2001). ”Menyingkapi perselingkuhan”, Pustaka Populer Obor, Jakarta. Soewondo, Soesmaliyah, (2001). “Keberadaan pihak ketiga. poligami dan permasalahan perkawinan (keluarga) ditinjau dari aspek psikologi”, Dalam bunga rampai Psikologi perkembangan pribadi dari anak sampai lanjut usia, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Turner, J. S & Helms, D. B, (1995). “Life-span development”, (5th edition). Holt, Rinehart & Winston, New York.