Mashlahah Mursalah dalam penyelesaian Hukum
Pengertian Mashlahah Mursalah
Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata, yaitu kata mashlahah dan mursalah. Secara etimologis, kata mashlahah merupakan bentuk masdar (adverb) yang berasal dari fi’l (verb), yaitu saluha. Dilihat dari bentuknya, di samping kata mashlahah merupakan bentuk adverb, ia juga merupakan bentuk ism (kata benda) tunggal (mufrad, singular) dari kata masâlih (jama, plural). Kata mashlahah ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi maslahat, begitu juga kata manfaat dan faedah. Secara etimologis, kata mashlahah memiliki arti: manfa’ah, faidah, bagus, baik (kebaikan), guna (kegunaan). perbuatan (al-fi‘l) yang di dalamnya ada kebaikan (saluha) yang memiliki arti manfaat.[1] Husain Hamîd Hassan, berpendapat bahwa mashlahah, dilihat dari sisi lafaz maupun makna itu identik dengan kata manfaat atau suatu pekerjaan yang di dalamnya mengandung atau mendatangkan manfaat.[2]
Ahmad ar-Raisûnî memperjelas manfaat ini dari ungkapan kemanfaatan. Menurutnya, makna mashlahah itu adalah mendatangkan manfaat atau menghindari kemudaratan. Sedangkan yang dimaksud dengan manfaat di sini adalah ungkapan kenikmatan atau apa saja jalan menuju kepada kenikmatan. Adapun yang dimaksudkan dengan kemudaratan adalah ungkapan rasa sakit atau apa sajajalan menuju kepada kesakitan. 26[3] Ibn`Abd as-Salâm mengutip Ahmad ar-Raisûnî, membagi mashlahah ada empat, yaitu kenikmatan, sebab-sebab kenikmatan, kebahagiaan dan sebab-sebab yang membuat kebahagiaan.[4]
- Kehujjahan Mashlahah Mursalah sebagai Dalil Hukum Para ulama belum secara bulat tentang kehujjahan mashlahah mursalah sebagai metode untuk menetapkan suatu hukum untuk kasuskasus yang secara eksplisit tidak disebutkan di dalam nash. Menurut ulama Hânafiyah, mashlahah mursalah dapat dijadikan sebagai metode untuk menetapkan hukum baru dengan syarat didukung oleh ayat, hadis atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nas sebagai motivasi suatu hukum. [5]
Ulama Hânafiyah memberikan contoh tentang larangan Rasulullah bagi pedagang yang menghambat para petani di perbatasan kota dengan maksud untuk membeli barang mereka sebelum para petani itu memasuki pasar. Larangan ini berisi motivasi hukum, yaitu untuk menghindari “kemudaratan bagi petani” dengan terjadinya penipuan harga oleh para pedagang yang membeli barang petani tersebut di batas kota. Menghindari kemudaratan seperti ini merupakan tujuan hukum Islam. Larangan seperti ini dapat dianalogikan dengan keharusan membongkar dinding di pinggir jalan yang sudah miring sebab kalau dinding itu roboh akan menimpa banyak orang. Jadi, mashlahah mursalah dapat dilakukan dengan cara analogi. Dengan kata lain, ulama Hânafiyah menerima mashlahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat dalam nas atau ijma’ dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis sifat yang didukung oleh nas atau ijma. Penerapan mashlahah mursalah di kalangan ulama Hânafiyah ini disebut juga dengan istihsân. [6]
Ulama Mâlikiyah dan Hanâbilah termasuk golongan yang menerima mashlahah mursalah sebagai dalil untuk menetapkan suatu hukum baru yang secara eksplisit tidak disebutkan penjelasan hukumnya di dalam Al-Quran dan al-Maqbûlah. Alasan penerimaan ini karena dalam pandangan mereka, mashlahah mursalah dianggap merupakan induksi dari logika sekumpulan nas, bahkan Asy-Syâtibî, mengatakan bahwa mashlahah mursalah sebagai metode itu bersifat qat’i sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zannî. [7] Persyaratan Mashlahah Mursalah Para ulama yang ber-hujjah dengan mashlahah mursalah telah memberikan kriteria-kriteria tertentu dalam memverifikasi mana yang dipandang mashlahah dan mana yang tidak.
Persyaratan-persyaratan pandangan Imam Malik yang direduksi oleh as-Syatibi, terdiri dari;
- Kemaslahatan tersebut harus reasonable (ma’qûlât) dan relevan dengan kasus hukum yang dihadapi;
- Kemaslahatan tersebut harus menjadi blue print dalam memelihara sesuatu yang prinsip dalam kehidupan dan menghilangkan kesulitan (masyaqqât) dan kemudaratan; c. Kemaslahatan tersebut harus sejalan dengan intensi legislasi dan tidak boleh bertentangan dengan dalil syara’ yang qat’î.
Imam al-Ghazâlî menetapkan syarat-syarat mashlahah mursalah diantaranya:
- Kemaslahatan tersebut termask dalam tingkatan atau kategori kebutuhan pokok (darûriyyât). Artinya, untuk menetapkan suatu mashlahah tingkatannya harus diperhatikan, apakah akan menghancurkan atau merusak lima unsur pokok (al-usûl al-khamsah) tersebut atau tidak;
- Kemaslahatan tersebut harus bersifat pasti dan tidak boleh disandarkan pada dugaan (zan) semata-mata. Artinya, harus diyakini bahwa sesuatu itu benar-benar mengandung kemaslahatan;
- Kemaslahatan tersebut harus bersifat universal, yaitu kemaslahatan yang berlaku secara umum dan untuk kepentingan kolektif, sehingga tidak boleh bersifat individual dan parsial;
- Kemaslahatan tersebut harus sejalan dengan intensi legislasi hukum Islam. [8] Abd al-Wahhâb Khallâf dengan redaksi yang berbeda tetapi esensi dan substansi hampir sama merangkum syaratsyarat mashlahah dapat dijadikan hujjah,[9] Artinya, dalam kemaslahatan itu harus;
- Hakiki dan tidak boleh didasarkan pada prediksi (wahm).[10] Mengambil kemaslahatan tersebut harus mempertimbangkan juga kemudaratan yang akan ditimbulkannya. Kalau mengabaikan kemudaratan yang akan ditimbulkannya, berarti kemaslahatan itu dibina atas dasar wahm. Misalnya upaya merampas haktalak suami, dengan melimpahkannya pada hakim dalam setiap kondisi;
- Kemaslahatan itu harus berlaku secara universal atau untuk semua lapisan dan bukan untuk orang perorang atau untuk kelompok tertentu saja (parsial). Artinya, kemaslahatan tersebut untuk kepentingan mayoritas manusia atau untuk menghindarkan mayoritas umat dari kesulitan dan kemudaratan; c. Pelembagaan hukum atas dasar kemaslahatan (mashlahah mursalah) tidak boleh bertentangan dengan tata hukum dan dasar-dasar penetapan nas (Al-Qur’an dan Sunnah) dan ijmak.
- Pembagian Mashlahah Klasifikasi makna Mashlahah dibagi berdasarkan beberapa segi, diantaranya dilihat dari segi kepentingan atau kebutuhan, dari segi isi atau kandungan, dari segi perubahannya, dan dari segi keberadaanya yang didukung oleh nash atau tidak.[11]
- Makna Maslalah dilihat dari segi kebutuhan, mashlahah terbagi menjadi tiga yaitu
1) Mashlahah darûriyyah, Mashlahah darûriyyah adalah kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok manusia di dunia dan di akhirat yang harus menjadi perioritas utama.
2) Mashlahah hâjiyah, Adapun yang dimaksudkan dengan mashlahah hâjiyah adalah kemaslahatan yang dibutuhkan untuk menyempurnakan kebutuhan pokok.
3) Mashlahah tahsîniyyah. Mashlahah tahsîniyyah adalah kemaslahatan yang sifatnya pelengkap. Dalam implementasinya ketiga macam kebutuhan ini merupakan tingkatan secara hirarkhis. Artinya, kebutuhan atau kepentingan darûriyyah diperioritaskan lebih dahulu dari hâjiyah dan tahsîniyyah, begitu juga hâjiyah lebih diperioritaskan dari tahsîniyyah. Dalam studi usul fikih, ketiga kemaslahatan tersebut selalu dikaitkan dengan lima hal, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima hal ini sering disebut dengan al-mashlahahal-kham-sah. Dengan kata lain, kelima hal (al-mashlahahal-khamsah) ini peringkatnya ada yang darûriyyah, hâjiyah dan tahsîniyyah untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini, baik sebagai ‘abd maupun sebagai khalîfah Allâh fî al-ard.
- Mashlahah dilihat dari kandungan masalah, [12] terbagi menjadi dua yakni
1) Mashlahah ammah,, mashlahah ‘ammah adalah kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak atau kebanyakan (mayoritas) orang.
2) Mashlahah khassah. Mashlahah khassah adalah kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali. Bila terjadi pertentangan antara kemaslahatan umum dengan kemaslahatan pribadi, maka yang didahulukan adalah ke-maslahatan umum.
- Segi berubah dan tidaknya, mashlahah dibagi menjadi dua bentuk36[13] , terbagi menjadi dua pula yaitu
1) Mashlahah dâbitah, Mashlahah dâbitah adalah kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Untuk kemaslahatan ini dapat diberikan contoh, misalnya, kewajiban salat, puasa, zakat dan haji.
2) Mashlahah mutagayyarah, Mashlahah mutagayyarah adalah kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu dan subjek hukum.
Kemaslahatan ini berkaitan dengan bidang muamalah dan adat istiadat. Dalam studi usul fikih,. pembagian seperti ini dimaksudkan untuk memperjelas batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan yang tidak.
- Segi keberadaannya dihubungkan dengan didukung dan tidaknya, mashlahah dibagi menjadi tiga yakni,
1) Mashlahah mu’tabarah, Mashlahah mu„tabarah adalah kemaslahatan yang didukung oleh dalil secara eksplisit, baik al-Quran, al-Sunnah al-Maqbûlah maupun ijma. Artinya, sumber kemaslahatan seperti ini, baik bentuk maupun jenisnya disebutkan secara jelas di dalam sumber utama ajaran Islam tersebut. Contoh untuk mashlahah mu„tabarah ini adalah larangan minuman keras merupakan bentuk kemaslahatan untuk memelihara akal.
2) Mashlahah mulgah, Mashlahah mulgah adalah kemaslahatan yang keberadaannya ditolak oleh syara’, disebabkan bertentangan dengan ajaran Islam. Contoh untuk kemaslahatan ini adalah hukuman berpuasa dua bulan berturut-turut bagi orang yang melakukan hubungan seksual antara suami istri pada bulan Ramadan di siang hari. Hukuman ini diterapkan karena lebih maslahat bagi pelaku daripada hukuman memerdeka-kan budak karena ia memang orang kaya. Dengan hukuman ini ia akan jera dan dikemudian hari tidak akan melakukan lagi karena beratnya hukuman. Tetapi kalalu diterapkan sesuai hadits Nabi, yaitu memerdekakan budak maka ia akan mudah melaksanakan hukuman itu karena ia kaya sehingga dengan hukuman ini ia ada kemungkinan melakukan ulang karena ringannya hukuman bagi dirinya.
3) Mashlahah mursalah, mashlahah mursalah adalah kemaslahatan yang keberdaannya tidak disebutkan atau didukung oleh dalil tetapi juga keberadaannya tidak ditolak oleh dalil. Adapun kata mursalah, secara etimologis adalah bentuk ism maf’ûl yang berasal dari kata kerja, arsala dengan mengikuti wazan af’ala. Kata arsala-yursilu irsâl, secara bahasa memiliki makna asysyâ’iah, al-mutlaqah, sesuatu yang terlepas. Yang dimaksud dengan mursalah dalam konteks ini adalah terlepas dari dalil. Yang dimaksud dengan dalil di sini adalah dalil khusus. Bila digabungkan dengan kata mashlahah, maka disimpulkan bahwa mashlahah mursalah itu maksudnya adalah adanya mashlahah dalam suatu perbuatan atau benda yang adanya tidak didasarkan pada dalil atau nas tertentu dalam penentuan mashlahahnya bagi manusia, baik yang membenarkan atau yang membatalkannya.
[1] Yûsuf Hâmid al-„Âlim, al-Maqâsid al-‘Âmmah li asy-Syarî‘ah alIslâmiyyah, (Herndon Virgina:The Internasional Institute of Islamic Thought, 1991), h. 132
[2] Husain Hamîd Hassan, Nazariyyah al-Mashlahah fî al-Fiqh alIslâmî, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-„Arabiyyah, 1971), h. 1.
[3] Ahmad ar-Raisûnî, Nazariyah al-Maqâsid ‘inda al-Imâm asySyâtibî, (Herndon: adDâr al-„Âlamîli al-Fikr al-Islâmîy, 1995), h. 256
[4][4] Ahmad ar-Raisûnî, Nazariyah al-Maqâsid „inda al-Imâm asySyâtibî,), h. 256
[5] Ibn Amîr al-Haj, at-Taqrîr wa at-Tahrîr, (Mesir: al-Matba„ah alAmîriyah, 1316 H), h. 150.
[6] Imron Rosyadi, Mashlahah Mursalah sebagai Dalil Hukum, (Suhuf, Vol. 24, No. 1, Mei 2012), h. 14 – 25.
[7] Abu Ishak al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi usul al-Syari’ah, Jilid II (Beirut: Dar alMa‟rifah, 1975), h. 38. 54
[8] Mukhsin Nyak Umar, Al-Maslahah Al-Mursalah: Kajian atas Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Aceh, Turats, 2017), h. 64.
[9] Abd al-Wahhâb Khallâf, Ilm Usûl al-Fiqh, (Kairo: Maktabah alDa`wah al33 Wahm merupakan prediksi yang lebih besar kemungkinan salah dan kelirunya, serta jauh dari kebenaran, sehingga tidak dipakai sebagai pertimbangan hukum. Lihat, Alî Ahmad al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1994), h. 417. 55 Islâmiyyah, 1990), h. 86-87
[11] Rusyada Basri, Ilmu Ushul Fikih, (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2019), h. 93
[12] Rusyada Basri, Ilmu Ushul Fikih (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2019), h. 94
[13] Rusyada Basri, Ilmu Ushul Fikih (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2019), h. 95