OpiniSantai

Elastisitas Fikih dan Nikah Tidak Tercatat: Menjaga Kemashlahatan Hukum Islam”

Oleh : Dian Rahmat, SHI, M. Ag

A.     Pendahuluan

Hukum Islam dikenal sebagai sistem hukum yang tidak hanya bersifat ilahiyah (bersumber dari wahyu), tetapi juga memiliki kelenturan dan adaptabilitas terhadap berbagai perubahan kondisi zaman dan tempat. Salah satu bukti dari elastisitas hukum Islam tersebut adalah keberadaan kaidah-kaidah fikih (al-qawa’id al-fiqhiyyah) yang menjadi pedoman dalam penerapan hukum secara kontekstual. Salah satu kaidah fikih yang mencerminkan prinsip elastisitas ini adalah:

“إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اتَّسَعَ، وَإِذَا اتَّسَعَ ضَاقَ”

“Jika suatu perkara menyempit, maka diberi kelonggaran; dan jika suatu perkara menjadi longgar, maka bisa dipersempit.”

Kaidah ini menjelaskan bahwa syariat Islam memberi ruang untuk keringanan dalam kondisi sulit dan sebaliknya, bersifat tegas dalam kondisi normal guna mencegah penyimpangan. Artikel ini akan mengelaborasi relevansi kaidah ini dalam konteks fenomena pernikahan tidak tercatat (nikah sirri) yang marak terjadi di masyarakat, serta bagaimana fenomena ini menunjukkan ketidaktaatan terhadap pemerintah dan mengancam kemaslahatan umat.

B.     Kaidah Fikih dalam Konteks Sosial: Antara Kemudahan dan Ketegasan

 

Secara prinsip, kaidah “Idza daqa al-amr ittasa’a” menunjukkan bahwa syariat Islam tidak bersifat kaku. Dalam kondisi darurat, seperti sakit, safar, atau kelaparan yang mengancam nyawa, seseorang diperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang biasanya dilarang, seperti mengqashar shalat atau mengonsumsi makanan haram. Namun, kaidah ini memiliki padanan yang memperingatkan bahwa kelonggaran bukan untuk disalahgunakan: “wa idza ittasa’a daqa” menegaskan bahwa dalam kondisi normal, ketegasan hukum perlu ditegakkan.

Dalam konteks sosial, ketidaksesuaian antara norma hukum dan praktik masyarakat seringkali menimbulkan perdebatan. Salah satunya adalah praktik pernikahan tidak tercatat. Sebagian pelaku berdalih bahwa pencatatan nikah bukanlah syarat sah pernikahan dalam Islam, sehingga mereka merasa tidak perlu melaporkannya ke Kantor Urusan Agama (KUA). Padahal, dalam konteks negara-bangsa modern, pencatatan pernikahan adalah bagian dari kemaslahatan yang penting untuk menjaga hak-hak perempuan, anak, dan tertib sosial secara umum.

 

  1. Pernikahan Tidak Tercatat: Kemudahan yang Disalahartikan

Fenomena pernikahan tidak tercatat marak terjadi, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah atau pada kasus pernikahan kedua dan seterusnya (poligami) yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pelaku berdalih bahwa yang penting adalah terpenuhinya rukun dan syarat nikah menurut fikih: adanya wali, dua saksi, ijab qabul, dan mahar. Namun mereka melalaikan aspek administratif yang menjadi kewajiban dalam konteks negara.

Dalam hal ini, kaidah “idza ittasa’a daqa” menjadi sangat relevan. Ketika kelonggaran dalam memahami syarat sah nikah disalahgunakan untuk menghindari aturan negara, justru hukum harus ditegakkan lebih tegas. Hal ini karena ketiadaan pencatatan nikah membuka banyak masalah:

Anak tidak memiliki akta kelahiran dari orang tua yang sah Istri tidak mendapatkan hak hukum saat terjadi perceraian atau kematian, Sulitnya pembagian warisan Penyalahgunaan praktik poligami

Jika dibiarkan, fenomena ini tidak lagi menunjukkan elastisitas hukum, tetapi justru menjadi penyimpangan yang merusak tatanan sosial dan bertentangan dengan maqashid al-syariah (tujuan-tujuan hukum Islam), terutama dalam menjaga nasab, kehormatan, dan keadilan. Pentingnya Ketaatan terhadap Pemerintah dalam Rangka Kemaslahatan

Dalam sistem negara, pemerintah memiliki wewenang untuk membuat regulasi demi kemaslahatan rakyat, termasuk dalam urusan keagamaan seperti pencatatan nikah. Islam sendiri memerintahkan umatnya untuk taat kepada ulil amri (pemerintah), sebagaimana firman Allah SWT:

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ”

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 59)

Maka, sikap tidak mencatatkan pernikahan karena alasan tidak wajib menurut fikih klasik sesungguhnya adalah bentuk ketidaktaatan terhadap pemerintah dan mengabaikan kemaslahatan publik. Padahal, pencatatan nikah merupakan bagian dari tanggung jawab negara untuk melindungi hak-hak warga.

Lebih jauh, pencatatan nikah juga memberikan kepastian hukum, yang menjadi pilar dalam kehidupan sosial modern. Dalam sistem hukum nasional, pencatatan pernikahan adalah syarat legalitas untuk pengakuan status suami istri oleh negara. Ketidaktercatan menjadikan perempuan dan anak rentan terhadap ketidakadilan, dan membuka peluang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga tanpa perlindungan hukum.

D.    Kesimpulan dan Rekomendasi

Kaidah “idza daqa al-amr ittasa’a wa idza ittasa’a daqa” menunjukkan betapa hukum Islam mampu memberikan kelonggaran saat dibutuhkan, tetapi juga menegakkan ketegasan saat ada potensi penyimpangan. Fenomena pernikahan tidak tercatat menunjukkan bahwa sebagian masyarakat menyalahartikan kelonggaran fikih klasik untuk menghindari aturan negara. Hal ini berdampak buruk terhadap kemaslahatan sosial dan menandakan lemahnya ketaatan kepada pemerintah.

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang menyeluruh:

  1. Edukasi kepada masyarakat bahwa pencatatan nikah adalah bagian dari menjaga maqashid al-syariah.
  2. Kolaborasi antara ulama dan pemerintah dalam menegaskan pentingnya legalitas nikah.
  3. Pemberian sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang berpotensi merusak tatanan hukum dan sosial.
  4. Penguatan regulasi dan sosialisasi melalui media massa, sekolah, dan majelis taklim untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
  5. Pelibatan tokoh agama sebagai agen perubahan dalam menyuarakan pentingnya pernikahan legal secara agama dan negara.
  6. Dengan demikian, hukum Islam akan tetap terjaga keotentikannya, sekaligus mampu menavigasi realitas modern demi terwujudnya kemaslahatan umat secara adil dan berkelanjutan.

E.     Daftar Referensi:

Al-Suyuthi, Jalaluddin. Al-Asybah wa al-Nazha’ir fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2001.

Wahbah al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 1985.

Kompilasi Hukum Islam (KHI), Indonesia.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Departemen Agama RI. Panduan Pencatatan Pernikahan, Direktorat Jenderal Bimas Islam, 2020.

  1. An-Nisa: 59.

Auda, Jasser. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach, London: IIIT, 2008.

 

 

LTN NU Kab. Tasikmalaya

Maju bersama ummat, umat kuat negara hebat

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button