Adakah Iddah Bagi laki laki ?
Pembahasan Iddah laki -laki tidak lazim ada di setiap kitab fiqh. Mengapa ? Hukum Islam secara tekstual hanya merumuskan sistem masa iddah yang berlaku bagi perempuan. Nas tidak menyebutkan secara jelas tentang masa iddah bagi suami. Meskipun tidak umum , tetapi iddah laki laki memang ada , terlepas perbedaan istilah yang digunakan. Beberapa ulama tidak langsung menyebut iddah sebagai mani’ syar’I ( halangan secara syariat ) bagi suami yang akan menikah. [1] Pendapat demikian terdapat dalam kitab kitab fiqh ulama mu’tabarah. Seperti dalam Syarh al- yakut al-nafis, kitab Al fiqh ala Al Madzahib al arbaa’h dan al Fiqh al Islami wa adillatuhu
Hal itu karena pada dasarnya tiada aturan hukum yang berlaku bagi suami pasca bercerai atau di tinggal wafat isterinya. Menurut ketentuan fiqih, seorang pria boleh saja langsung menikah tanpa harus menunggu interval waktu tertentu. Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku bagi pelaku poligami 4 isteri maupun mereka yang ingin menghimpun dua saudara menjadi isterinya. Kedua keadaan ini hukumnya haram bagi mereka apabila melanggarnya. Keadaan tersebut diantaranya :
- Bagi suami yang berpoligami sudah maksimal 4 isteri , lalu salah seorang dari isterinya diceraikan. Maka pasca perceraian tersebut , suami harus ikut iddah ( tidak boleh langsung menikahi perempuan yang ke lima) sehingga selesai masa iddah wanita yang diceraikannya. Baik itu nikah sahih lalu diceraikan, atau nikah fasid . Keadaan masa syibh al- iddah suami ini sama lamanya dengan iddah isteri yang ditalak
- Bagi sorang suami yang menceraikan isterinya demi dapat menikahi kakak perempuan isteri tersebut, maka suami wajib menunggu dan dilarang terburu buru menikah sehingga selesai iddah mantan isteri yang baru diceraikannya . Dalam pembahasan larangan menghimpun dua saudara ini sebagaimana dalam bab pernikahan, hukum saudara ipar adalah mahram muaqqat (sementara). Mahram muaqqat juga berlaku seperti menghimpun seorang perempuan dengan bibinya atau anak perempuan saudara isterinya . Oleh karena yang menjadi sebab haram sudah tidak ada, maka hukum kembali ke asalnya, mantan saudara ipar atau mantan bibi atau mantan keponakan menjadi boleh dinikahi .
Dalam hal ini, Al- Jaziry menjelaskan, bahwa masa interval tersebut tidak dinamakan iddah syar-iyyah pria, meskipun belum boleh menikah, tetapi iddah wanita yang ditalak. Keadaan tersebut seperti berlaku bagi seorang suami yang mentalak 3 isterinya dan hendak menikahinya lagi. Keadaan tersebut tidak halal sehingga wanita dinikahi oleh orang lain pasca iddahnya habis dan diceraikan oleh suami tersebut. Seorang suami yang pertama dilarang menikahinya sehingga setelah iddah wanita tersebut selesai. “ Larangan menikah “ di sini disebabkan oleh iddah perempuan yang ditalak itu sendiri. [2]tetapi menurut pengamatan ulama alumi Mesir juga menjadi salah satu dosen STAI di jawa Timur contoh yang terakhir kurang tepat, sebab menikahi wanita yang dalam masa iddah memang dilarang.
Beberapa ulama menetapkan hitungan masa syibh al iddah bagi kondisi laki laki tersebut di atas sesuai dengan proporsi iddah yangdijalani oleh isteri yang ditalak . Apabila wanita yang dicerai sudah dijima tetapi tidak hamil, maka hendaklah laki laki tersebut ikut menahan diri ( menunggu ) hingga tiga kali quru’. Apabila wanita tersebut hamil, masa iddahnya ikut sampai wanita tersebut melahirkan . Apabila wanita dicerai belum disetubuhi, maka ulama sepakat tidak ada kewajiban iddah yang disempurnakan . Dan, apabila perempuan yang dicerai masih di bawah umur dan pernah haid, maka iddahnya selama tiga bulan ( 90 hari )
Perlu dijelaskan , beberapa ketentuan talak raj’I dalam hukum Islam, kedudukan isteri masih boleh dirujuk dan suami mempunyai hak keutamaan untuk melakukan rujuk terhadap wanita yang yang masih dalam masa iddah tersebut, kecuali terjadi talak ba’in. Dalam iddah talak raj’I suami tidak berhak mengeluarkan isterinya dari rumahnya hingga masa iddahnya selesai , sang isteri pun tidak berhak untuk keluar rumah. Oleh karena demikian , menjadikan seorang suami pasca perceraiannya , pada kedua kasus di atas, harus menangguhkan untuk menikah. Tujuan dari semua itu adalah agar kemarahan antara mereka sirna, keduanya mampu introspeksi diri dan kembalinya kasih saying seperti sedia kala. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam alqur’an surat al-Talaq ayat 1
Setelah masa iddah tersebut habis, suami mempunyai dua pilihan, ingin rujuk atau melepaskan isterinya. Apabila bercerai , hukum berlaku normal. Pria tersebut bebas dan mantan isterinya juga bebas menentukan dirinya. Dalam keadaan ini, baik posisi kasus pertama atau kasus kedua , keduanya baru diperbolehkan menikah
Demikian juga dalam percerain karena isteri wafat, karena nas Islam tidak gambling mengatur iddah suami, rasanya tak pantas apabila suami buru buru melaksanakan pernikahan disaat suasana pihak keluarga isteri sedang berkabung. Tindakan ini menyalahi nilai nilai moral manusia. Secara akhlak dan etika, seseorang hendaknya pasca perceraian atau pasca pasangan meninggal tidak menunjukan hal yang tidak patut dan harus mampu menahan diri untuk tidak bersuka ria, dengan langsung menikah . Ini adalah etika secara umum bagi siapapun . Tujuannya supaya tidak menimbulkan fitnah sekaligus menjaga perasaan keluarga yang ditinggalkan .
Mempertimbangkan hikmah dan kebaikan pada iddah tersebut, sepatutnya iddah sebab wafat juga berlaku bagi laki laki secara umum. Hikmah iddah bukan hanya untuk mantan isteri saja tapi juga untuk mantan suami. Sayangnya tiada teks hukum islam yang membahas masa iddah suami. Pada perihal ini seakan akan hukum Islam tidak adil dan bertentangan dengan semangat moral hukum Islam itu sendiri, untuk menegakan kemaslahatan sosial . Hal ini karena laku laki tiada alas an factor terkait kehamilan. Dengan adanya iddah baik suami maupun isteri justeru untuk menjaga prasangka negatif dan agar tetap menjaga hubungan baik dengan sanak family dari pihak isteri atau suami . Terlebih jika terjadi perceraian atau meninggal salah satu dari pasangan tersebut terdapat anak- anak yang ditinggalkan. Oleh demikian meskipun tidak ada nas sarih yang menjelaskan iddah laki laki, tetapi alangkah baiknya seorang pria melakukan syibh al-iddah secara mandiri pasca isterinya meninggal . Adapun masanya bisa dilakukan secara ma’ruf melihat kondisi adat yang patut bahkan sekarang kemenag melalui Dirjen Bimas Islam mengeluarkan surat edaran Nomor P-005/DJ.III/Hk.00.7/10/2021 menurut penulis juga ini patut diapresiasi oleh masyarakat luas dan sesuai dengan ajaran Islam yang mengedepankan etika dan moral juga langkah berikutnya bagaimana meningkatkan kekuatan hukum ini , dari surat edran menjadi regulasi yang lebih tinggi posisinya , tentu kita dorong bersama , Wllohu’alam
[1] Al Zuhaili, Wahbah, Fiqh islam wa ADILLATUHU,( Damascus, Dar al Fikr,1996) Juz 7 ,627
[2] Q.S Al Nisa ayat 23 ; Al Jaziry Abd al Rahman , 1990 AL Kitab al fiqh al madzahib al arbaah ( Bairut: Dar al kutub al ilmiyah ) Jil 4 , 452