Meskipun telah banyak kritik terhadap penggunaan metode qauli ini, baik dari berupa kritik ideologi, dan kritik metodologi, namun faktanya dari tahun 1926 sampai sekarang metode ini masih menjadi “prioritas” Lembaga Bahtsul Masa’il NU dalam kajian istinbath ahkam-nya. Hal ini didukung fakta bahwa pembahasan tentang zakat gaji/profesi dilakukan oleh Lembaga Bahtsul Masa’il NU pada Munas Alim Ulama yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama di Jakarta, 22-28 Juli tahun 2002,[1] 10 tahun setelah dirumuskannya Keputusan musyawarah Nasional alim-Ulama NU tahun 1992 di Bandarlampung tentang: sistem pengambilan keputusan hukum Islam dalam bahtsul masail yang merupakan tonggak awal pergeseran orientasi teoritis dalam bermadzhab, dari bermadzhab qauli ke bermadzhab manhaji dalam lingkup madzhab empat,[2] namun, sebagaimana akan dibuktikan nanti, metode qauli merupakan prioritas utama dalam memecahkan masalah-masalah yang dibahas dalam forum atau sidang bahsul masa’il.
Secara teoritis dan resmi metode ini baru dipopulerkan penggunaannya dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Bandar Lampung. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa Munas Bandar Lampung adalah era kesadaran perlunya redefinisi dan reformasi arti bermadzhab. Era ini dapat dikatakan sebagai titik awal untuk bersikap lebih inklusif dalam hal pemahaman beragama khususnya dalam Lembaga Bahtsul Masa’il menuju universalitas Islam dan era kesadaran perlunya “pabrik” pemikiran, disamping “gudang” pemikiran.
Munas Bandar Lampung juga dapat dikatakan sebagai titik awal untuk mendobrak pemahaman jumud (stagnan) yang berupa ortodoksi pemikiran dengan mencukupkan pada apa yang telah diformulasikan oleh para ulama terdahulu yang sudah terkodifikasi dalam kitab-kitab empat madzhab, khususnya Syafi’iyah, atau paling tidak, Munas Bandar Lampung adalah era dimulainya gerakan kesadaran ulama dan intelektual NU bahwa kitab-kitab madzhab empat tidaklah cukup dan perlu ada semangat reformasi menuju pemikiran madzhab yang luwes, luas dan mampu menghadapi tantangan zaman.
Munas Bandar Lampung adalah awal munculnya kesadaran pentingnya “berijtihad” untuk menghadapi tantangan zaman, walaupun ijtihad dalam formulasi dan definisi tersendiri. Memang Islam akan dianggap ortodoks, ketinggalan zaman dan tidak membumi ketika konsep ijtihad dibekukan dan tidak digalakkan. Namun bukan berarti semua orang boleh berijtihad, sebab kalau demikian risikonya sama saja dengan yang pertama. Maka kriteria atau syarat berijtihad harus betul-betul diperhatikan.[3]
Walaupun dalam memecahkan masalah yang dilakukan Lembaga Bahtsul Masa’il pasca Munas ini secara praktis masih tetap sama dengan sebelum Munas, namun ada kemajuan dengan adanya penegasan teoritis dalam hal metode dan prosedur istinbat hukum, terutama upaya penerapan metode manhaji dari empat madzhab, walaupun menurut penelitian Ahmad Zahro, setelah Munas sampai 1999 baru dua kali digunakan.[4]
Memang metode empat madzhab hingga Saat ini masih dianggap representatif untuk memecahkan masalah keagamaan warga NU. KH. MA. Sahal Mahfudh menjelaskan bahwa kaidah-kaidah (manhaj) pengambilan hukum yang dirumuskan ulama terdahulu masih tetap relevan hingga kini. Jadi yang perlu dilakukan adalah pengembangan fiqh melalui kaidah-kaidah tadi, menuju fiqh yang kontekstual.[5] Namun yang perlu diperhatikan adalah adanya perkembangan secara konseptual terkait dengan metode yang digulirkan oleh ulama reformis di kalangan NU,[6] Momen pengguliran ini makin mendapat angin segar setelah Munas Bandar Lampung yang menghasilkan keputusan tentang metode pemecahan masalah dalam bahts al-masail.[7]
Munculnya istilah bermadzhab secara manhajiy dan timbulnya gagasan untuk mempopulerkannya dapat ditelusuri sejak tahun 1987 ketika intelektual muda NU mengadakan kajiankajian kritis terhadap kitab kuning, walaupun akhirnya mendapat tanggapan negatif dan hambatan dari beberapa ulama senior dengan melarang pelaksanaan diskusi di kantor PBNU. Namun demikian para intelektual muda tetap mengadakan diskusi-diskusi kritis di tempat lain, yakni di P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). Melalui P3M inilah hasil-hasil diskusi tersebut dipublikasikan oleh Jurnal Pesantren.[8]
Tahun berikutnya (1988) atas dukungan KH.MA. Sahal Mahfudh dan KH. Imron Hamzah, para intelektual muda mengadakan muzakarah (seminar) dengan tema ”Telaah Kitab Secara Kontekstual” di Pondok Pesantren Watucongol, Muntilan Magelang pada 15-17 Desember 1988, yang antara lain menghasilkan pokok-pokok pikiran berikut: memahami teks kitab harus dibarengi dengan konteks sosial historisnya, mengembangkan kemampuan observasi dan analisis tcrhadap teks kitab, memperbanyak muqabalah (perbandingan mengenai hal-hal yang berbeda) dengan kitab-kitab lain, meningkatkan intensitas diskusi intelektual antara pakar disiplin ilmu terkait dengan materi yang tercantum dalam kitab klasik, dan menghadapkan kajian teks kitab klasik dengan wacana aktual dan bahasa yang komunikatif.[9]
Kemudian pada pertengahan Oktober 1989 (menjelang Muktamar XXVIII) di Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak diselenggarakan halaqah (sarasehan) mengenai “Masa Depan NU” yang salah seorang pembicaranya, Ahmad Qodri Abdillah Azizy, menggagas perlunya redefinisi bermadzhab yang kemudian dicetuskanlah istilah bermadzhab fi al-manhaj (mengikuti metodologinya).[10]
Beberapa bulan setelah Muktamar XXVIII, yaitu pada 26-28 Januari 1990, di kalangan pesantren terjadi diskusi untuk mencari metode bahts al-masa’il yang lebih maju. Hal ini tecermin dalam halaqah di Pondok Pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar Jombang. Hasil keputusan halaqah ini antara lain adalah:[11]
- Untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’ an dan as-Sunnah dengan menggunakan sistem madzhab ini adalah cara yang terbagus.
- Madzhab ada dua, madzhab manhaj dan madzhab qaul.[12]
- Bermadzhab ada dua. Bagi orang awam adalah bermadzhab secara qauliy. Sedang bagi individu yang memiliki perangkat keilmuan tetapi belum mencapai derajat mujtahid mutlaq mustaqil (mujtahid yang sepenuhnya mandiri), bermadzhab dilakukan secara manhaji.
- Bermadzhab manhaji dilakukan dengan cara istinbat jama’i (penggalian dan penetapan hukum secara kolektif). Ini dilakukan bila tidak ditemukan aqwal (beberapa pendapat) dari madzhab empat oleh para ahlinya. Adapun terhadap hal-hal yang ditemukan aqwalnya namun masih berbeda (mukhtalaf fiha) dilakukan taqrir jama’iy (penetapan dan pemilihan qaul yang kuat secara kolektif).
- Bermadzhab baik manhaji maupun qauli dilakukan dalam ruang lingkup madzhab empat.
Gagasan dari rangkaian diskusi, muzakarah dan halaqah inilah yang kemudian ditawarkan dan dibahas dalam Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung yang melahirkan peresmian metode “baru” dalam istinbat hukum bagi Lembaga Bahtsul Masa’il, yakni metode bermadzhab secara manhaji yang disebut dengan istinbath jama’i.[13] Hal ini dapat dilihat dari keputusan Munas yang menyatakan bahwa dalam kasus penyelesaian masalah yang tidak ada qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka dapat dilakukan istinbat jama’iy dengan prosedur bermadzhab secara manhajiy oleh Lajnah Bahtsul Masatil. Dalam Munas Bandar Lampung dijelaskan bahwa prosedur istinbat adalah dengan mempraktekkan qawa’id usuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh) oleh para ahlinya.[14]
Diktum tersebut mengandung arti bahwa penerapan metode manhajiy harus dengan menelusuri dan mengikuti secara hierarkis prosedur istinbat hukum madzhab empat berikut:
- Madzhab Hanafi dengan metode dan hierarki: al-Qur’an, al-hadits as-sahih, aqwal as-sahabah, qiyas, al-istihsan, ijma dan al-‘urf;
- Madzhab Maliki dengan metode dan hierarki: Al-Qur’an, al-hadits as-sahih, ijma’ sahabat, ‘amal ahl al-Madinah, fatwa sahabat, qiyas, al-istihsan, al-masalih al-mursalah dan az-zara’i.
- Madzhab Syafi’i dengan metode dan hierarki: AI-Qur’an dan al-hadis al-sahih, ijma’, Aqwal as-sahabah dan qiyas; serta
- Madzhab Hanbali dengan metode dan hierarki: nas, ijma’, qiyas, al-masalih al-mursalah, al-istihsan, az-zara’i’, fatwa sahabat dan al-istishab.
Hal ini dilakukan dengan menelusuri secara berturut-turut metode dan hierarki masing-masing madzhab dimulai dari mencari ayat Al-Qur’an, kemudian hadits Nabi, dan begitu seterusnya, dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqhiyyah ataupun usuliyyah sebagai bingkai dan landasan pemahamannya.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa pengambilan qaul (pendapat imam madzhab) ataupun wajah (pendapat pengikut madzhab) merupakan metode utama dan prioritas yang digunakan Lembaga Bahtsul Masa’il dalam menyelesaikan masalah keagamaan, terutama yang menyangkut hukum fiqh, dengan merujuk langsung pada teks kitab-kitab imam madzhab ataupun kitab-kitab yang disusun oleh para pengikut madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali), walaupun dalam prakteknya didominasi oleh kitab-kitab Syafi’iyah. Inilah yang kemudian disebut metode qauli atau Metode Bayani ‘ala NU.
Apabila menghadapi masalah baru yang tidak dapat dirujukkan langsung pada kitab-kitab sebagaimana tersebut di atas, maka ditempuhlah langkah , yakni mengaitkan masalah baru yang belum ada ketetapan hukumnya dengan masalah lama yang mirip dan telah ada ketetapan hukumnya, walaupun ketetapan hukum itu hanya berdasarkan teks suatu kitab yang dianggap mu’tabar. Cara istinbat hukum seperti ini kemudian dikenal dengan metode ilhaqi atau Metode Qiyasi ala NU.
Di samping dua metode di atas masih tetap dipakai secara dominan, Munas Bandar Lampung menetapkan metode baru dalam istinbat hukum manakala kedua metode tersebut tidak digunakan, yaitu apa yang disebut dengan bermadzhab secara manhaji yakni menelusuri dan mengikuti metode istinbat hukum dari madzhab empat untuk memecahkan masalah keagamaan, yang disebut dengan Metode Istinbath Jama’i.
Terkait dengan prosedur ijtihad, Lembaga Bahtsul Masa’il NU mulai mencantumkan ayat al-Qur’an, al-Hadis dan dalil-dalil syara’ lainnya dalam setiap jawaban hukum, karena pada hakikatnya setiap hukum pasti berdasarkan al-Qur’an, Hadis dan dalil-dalil syara’ lainnya. Dengan asumsi bahwa ayat al-Qur’an, Hadis dan dalil syara’ tersebut merupakan bagian dari pendapat ulama yang terdapat dalam kutub mu’tamadah. Hal ini karena ulama NU menyadari bahwa yang mampu berijtihad langsung dari al-Qur’an dan hadis dan dalil syara’ lainnya adalah para mujtahid mutlaq, sehingga prosedur penetapan hukum NU adalah : Aqwal ulama didahulukan baru kemudian dilengkapi dengan ayat al-Qur’an beserta tafsirnya, hadis beserta syarahnya dan dalil syara’ lainya karena ayat al-Qur’an, Hadis dan dalil-dalil syara’lainyya dalam pandangan ulama NU tidak dijadikan sebagai dalil yang mandiri tetapi merupakan bagian dari ijtihad ulama
Berdasarkan pemikiran di atas dan apabila dikaitkan dan dianalisis dengan pembagian ijtihad dan tingkatan mujtahid yang dipaparkan dalam kerangka teori, maka ijtihad versi NU yang dilaksanakan oleh Lembaga Bahtsul Masa’il dapat dikatagorikan sebagai ijtihad juz’iy (sebagian persoalan keagamaan), jama’iy (dilakukan secara kolektif) dan status pelakunya (dalam hal ini anggota Lembaga Bahtsul Masa’il) adalah sebagai “mujtahid” fatwa (yang mengeluarkan fatwa atas dasar madzhab yang diikuti). Ijtihad yang dipahami NU adalah ijtihad dengan pendekatan madzhabi. Sedang metode yang digunakan adalah metode qauli, metode ilhaqi dan metode Istinbath Jama’i[15] dalam koridor madzhab empat.
Keputusan Munas Bandar Lampung tersebut kemudian disempurnakan menjadi Keputusan Muktamar ke-31 NU tahun 2004 di Boyolali yang merupakan langkah metodologis fiqh NU dalam rangka menjawab persoalan keagamaan yang terus berkembang. Mereka menyadari bahwa teks rujukan tidak sepenuhnya dapat menjawab sehingga banyak permasalahan yang belum terjawab karena terbatasnya qaul ulama. Penggunaan metode taqrir jama’I, ilhaqul masail bi nadhairiha dan istinbath jamai yang ada dalam keputusan tersebut belum ada petunjuk operasionalnya dalam mengimplementasikan metode penetapan hukum islam dalam bahsul masail NU. Dengan demikian prosedur pengambilan Fatwa Bahtsul Masail NU yang berangkat dari hasil keputusan Muktamar NU ke XXXI di Boyolali tahun 2004, masih memunculkan banyak pertanyaan dan kritik terhadap prosedur teknis diantaranya tidak jelasnya batasan dan istilah metode teknis Bahtsul Masail seperti istilah “ilhaq”, Kitab Mu’tabarah, istinbath jama’iy dan lainnya. Berdasarkan hal tersebut maka NU kembali merumuskan petunjuk teknis implementasi sistem pengambilan keputusan Hukum Islam pada Musyawarah Alim Ulama Nahdlatul Ulama tanggal 27 – 30 Juli tahun 2006 di Surabaya melengkapi batasan operasional teknis dalam pengambilan fatwa Bahtsul Masail diantaranya batasan “Taqrir Jama’i”, “Ilhaq”, “Istinbath Jama’i”, dan Al-Kutub Mu’tabarah.[16]
[1] Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama Tahun 1423 H/ 2002 M Nomor : 002/Munas/7/2002 Tentang Masa’il Waqi’iyah Ubudiyyah/Muamalat. Lihat Tim Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PBNU, Ahkamul Fuqaha, hlm. 586
[2] Ahmad Zahro, Lajnah, hlm. 130
[3] Kalau hak ijtihad diberikan kepada semua orang tanpa pandang kriteria, tidak mustahil akan terjadi kekacauan dan liberalisasi pemikiran Islam yang tidak menutup kemungkinan terjadinya pengaburan dan penyimpangan Islarn itu sendiri, bahkan dapat dimanfaatkan oleh mereka yang tidak simpati pada Islam dengan mengatasnamakan kebebasan berfikir. Terkait dengan NU, para ulama memandang bahwa pintu ijtihad tidak tertutup tetapi persyaratan untuk benjtihad itu amat ketat, sehingga sepertinya ijtihad tidak mungkin dilakukan lagi, walau sebetulnya bila menghadapi problem yang tidak ada dalam kitab, maka dapat berijtihad sekalipun bukan ijtihad mutlaq mustaqil melainkan ijtihad secara manhaji, lihat Ahmad Zahro, Lajnah, hlm. 127
[4] Sebagaimana dibahas dalam Bab III bahwa ruang lingkup kajian hukum NU dibagi menjadi tiga, masail al-diniyah al-waqiiyah, masail al-diniyah al-maudhu’iyah dan masail al-diniyah al-qanuniyah Penelitian Ahmad Zahro terkait Lembaga Bahtsul Masa’il NU dalam masalah metode manhaji ini nampaknya hanya memperhatikan kategori masalah al-dinniyah al-waqiiyah, karena dalam lingkup masail al-diniyyah al-maudhu’iyah serta masail al-diniyah al-qanuniyah penggunaan metode manhaji atau istinbath jama’i sangat kentara. Diantara keputusan Lembaga Bahtsul Masa’il NU yang menggunakan metode manhaji dalam dua lingkup masalah tersebut diantaranya tiga masalah dalam Keputusan Muktamar NU ke-29 Tasikmalaya, 4 Desember 1994 M (al-masail al-maudhuiyah), kemudian ada tiga masalah dalam Keputusan Munas Alim Ulama NU tentang Masail al-Diniyah al-Maudhuiyah 17-20 Nopember 1997 M di Lombok Tengah, lihat Tim Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PBNU, ahkamul Fuqaha, hlm. 746, 777.
[5] KH.MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, hlm. 46
[6] Pemikiran Abdurrahrnan Wahid, Masdar Farid Mas’udi dan lain-łain dapat dibaca dalam Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara, terj. Lesmana (Yogyakarta: Lkis, 1999), hlrn. 377-378.
[7] KHA. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan NU (Surabaya: PP RMI dan Dinamika Press, 1997), hlm. 365-367
[8] Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa,Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: Lkis, 1994), hlm. 222
[9] Hasil Mudzakarah Pengembangan Ulum al-Diniyyah melalui Telaah Kitab Secara Kontekstual” di PP. Watucongol, Muntilan, Magelang (15-17 Desember 1988). Dalam Ahmad Zahro, Lajnah, hlm. 129
[10] Lihat Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 10-12 dan 50-54
[11] Ahmad Zahro, Lajnah, hlm. 129
[12] Manhaj adalah metode Yang digunakan seorang mujtahid untuk menggali hukum. Sedang qaul adalah hasil ijtihad mujtahid dengan menggunakan manhajnya
[13] Lihat Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PBNU, Ahkamul Fuqaha, hlm. 471
[14] Ibid., hlm. 473
[15] Bandingkan dengan Ahmad Zahro menyebut jenis metode ini dengan metode manhaji. Lihat Ahmad Zahro, Lajnah, hlm. 142
[16] Lihat pembahasan mengenai hal dalam Bab III