HikmahNgajiOpiniSantai

Wakaf Menurut Enam Madzhab

 Oleh : Dian Rahmat N, M.Ag  (Kepala KUA Indihiang Tasikmalaya )

sepakat bahwa wakaf adalah suatu tindakan hukum yang disyariatkan. Mereka juga sepakat bahwa wakaf masjid ,wakaf ribath dan sejenisnya tidak dimaksudkan untuk menjadikan manfaat wakaf itu kepada orang tertentu dan juga tidak dimiliki oleh seseorang

Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai wakaf yang dimaksudkan  memberi  manfaat  kepada orang tertentu. Perbedaan pendapat itu  ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi milik dan segi keharusan terjadinya wakaf .  Adapun mengenai milik, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pemilik harta itu adalah orang yang mewakafkan.” Imam Asy-Syafi’i, Abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan berpendapat bahwa harta tersebut juga merupakan milik Allah Azza wa Jalla. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa harta itu menjadi milik penerima wakať sebagaimana halnya sedekah.

Adapun mengenai keharusan terjadinya wakaf tersebut, menurut pendapat Jumhur ulama, maka hal itu harus terjadi, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa itu tidaklah sesuatu terjadi, melainkan hanya sebagai pinjaman belaka.

Di sini Anda melihat bahwa perbedaan pendapat yang mempunyai akibat hukum dalam praktek (pengamalan), terletak pada harus atau tidaknya terjadi salaf tersebut. Mengenai hal inilah, kita perlu melakukan perlunya perbandingan.

Imam Abu Hanifah dalam masalah ini berdalil dengan As-Sunnah dan Ar-Ra’yu (logika).

Adapun As-Sunnah adalah:

  1. Hadis yang disandarkan oleh Ath-Thahawi dalam kitab Syarh Ma’anil Atsar kepada Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata, “Sesudah turunnya surat An-Nisa’ dan di dalamnya ada faraidh, saya mendengar Nabi SAW. melarang wakaf kepada ahli waris.”

  2. Dari jalan lain, yaitu Ad-Daruquthni telah meriwayatkan dari Ali r.a.,

“Tidak ada wakaf mengenai faraidh Allah, kecuali senjata atau alat perang.” Pengarang Al-Fath berkata, “Sepantasnya hadis itu dianggap marfu, karena setelah diketahui adanya wakaf, dikecualikan senjata dan alat perang. Yang demikian itu ada dasar hukum yang jelas

  1. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah mengenai jual beli dengan sanadnya dari Syuraih, ia berkata, “Telah datang Muhammad dengan menjual barang wakaf.”

Hadis ini telah diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqi. Walaupun hadis tersebut mursal, ia menjadi hujjah menurut Al-Hanafiyyah

 Adapun dalil logika, mereka berpendapat berikut ini.

  1. Sesungguhnya terjadinya wakaf yang demikian, mengakibatkan keluar- nya barang tersebut dari milik wakif (orang yang wakaf). Kalau tidak demikian, tentu orang yang wakaf boleh bertindak sebagai pemilik, karena kita belum pernah mengetahui bahwa seorang pemilik yang berwenang dilarang memperlakukan miliknya sebagaimana ia sukai. Seandainya ia keluar dari milik yang wakaf bukan kepada si pemilik yang lain, maka itu berarti kau-ubah, sedangkan dalam Islam tidak ada saaibah, sebagaimana firman Allah SWT.:

 

مَا جَعَلَ اللهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ

Artinya:

“Allah tidak menjadikan Bahiirah dan tidak (juga) saaibah.”

  1. Hak manusia tidak terputus dari harta yang telah diwakafkan, terbukti dengan dibolehkannya mengambil manfaatnya, misalnya dengan ditanami atau didiami. Tetap adanya hak merupakan bukti tentang masih terdapatnya milik.

Adanya hak-hak khusus bagi si pewakaf memperkuat bahwa milik itu masih di tangan si pewakaf. Hak-hak itu misalnya menentukan nadzir, memecat seseorang, dan memberikan hasil sesuai dengan syaratnya, sedang hak-hak itu telah disepakati bukan datang kemudian.

Adapun Imam Maliki, Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal. Abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan berdalil dengan:

  1. Hadis yang diriwayatkan bahwa Umar r.a. mempunyai sepetak kebun bernama Tsamagh. Kebun itu berisi pohon kurma subur. Beliau datang menghadap Rasulullah SAW. dan bertanya, “Wahai Rasulullah, saya mendapat harta yang menurut pendapat saya sangat baik. Apakah saya boleh bersedekah dengan harta itu?

تَصَدَّقُ بِأَصْلِهِ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَلَكِنْ تُنْفَقُ ثَمَرَتُهُ

Artinya

Bersedekahlah dengan asalnya, tidak dijual dan tidak dihibahkan tidak diberikan) dan tidak diwariskan. Akan tetapi, dinafkahkan hasilnya.”

Lalu Umar menyedekahkannya pada jalan Allah, yaitu kepada budak yang mau menembus diri, tamu, orang-orang miskin, ibnu sabil, kaum kerabat. la membolehkan orang yang mengurusnya memakan kurma itu menurut yang layak atau memberi makan kawan-kawannya dengan tidak berlebih-lebihan. Hadits ini diriwayatkan pula dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim juga dalam kitab-kitab hadits lainnya dengan perbedaan lafazh.

  1. ijma Amali, karena praktek umat sejak zaman Rasulullah SAW. sampai sekarang, mereka mewakafkan harta untuk selama-lamanya tanpa ada suatu bantahan.
  2. Qiyas, yaitu adanya pendorong seseorang untuk mewakafkan hartanya. Pendorong itu ialah adanya keinginan agar pahala wakaf ini sampai kepadanya. Tidak ada jalan lain agar pahala tersebut sampai, kecuali dengan wakaf itu dan tidak terputusnya wakaf itu. Syara telah mengisyaratkan bahwa sesuatu yang memastikan tercapainya keinginan itu ialah waqaf.

Isyarat tersebut terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh At- Tirmidzi dari Abu Hurairah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:

ذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

Artinya

Apabila anak cucu Adam meninggal dunia, terputuslah seluruh amabey, kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya.”

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Jamaah Ahli hadis selain Al-Bukhari dan Ibnu Majah.

Demikianlah dalil-dalil yang dikemukakan oleh kedua belah pihak.

Ada yang menyanggah Imam Abu Hanifah mengenai hadis, “Tidak ada waqaf mengenai faraidh Allah. Mereka berkata, walaupun hadits itu umum, kaidah mengkompromikan antara kedua dalil yang berlawanan, mewajibkan kita untuk mengkhususkannya dengan apa yang telah terjadi pada zaman Jahiliyyah, yaitu memberi warisan dengan sebab pengakuan, saling berwali dan saling bersaudara, dan tidak memberikan warisan kepada wanita secara mutlak, dan kepada laki-laki yang masih kecil, melainkan hanya diberikan kepada laki-laki yang telah mampu berperang.

Hal itu ditentukan sesudah turunnya ayat waris yang menetapkan bahwa laki-laki ataupun perempuan mempunyai bagian dari warisan, dan menjelaskan bagian-bagian ahli waris serta hak-hak mereka masing-masing. dan sebagian kaum kerabat lebih utama dari sebagian lainnya.

Hadis itu, setelah diteliti, tidak mencakup wakaf karena wakaf itu bukanlah menahan faraidh Allah yang hanya tsabit sesudah matinya orang yang diwarisi, atau ketika sakit kerasnya, karena waqaf itu merupakan tindakan hukum yang dilakukan orang yang berwenang mengenai haknya. Kalaulah wakaf itu dianggap menahan faraidh Allah, tentulah seluruh sedekah termasuk menahan faraidh Allah, sedangkan terhadap hal ini, tidak ada seorang pun yang mengatakan demikian.

Imam Abu Hanifah pun di debat mengenai hadis Syuraih bahwa hadits tersebut tidaklah menunjukkan apa yang dikatakan Abu Hanifah karena wakaf dengan pengertian syara’ belum dikenal pada masa Jahiliyah, melainkan baru dikenal pada zaman Islam sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Asy-syafi’i. Dengan demikian, tidak mungkin Habs yang dijual oleh Nabi mencakup wakaf yang dikenal Syara’, dan wajiblah kita pertanggungkan hadis itu kepada Habs yang dikenal pada masa itu, yaitu Bahirah, saibah, dan wasilah,[1]

Seandainya ditakdirkan bahwa wakaf menurut syara sudah dikenal pada man Jahiliyah, tetap diamalkan oleh para sahabat dan para tabi’in napakan bukti bahwa Habsyi[2] yang dijual Nabi itu adalah jenis lain, yaitu mengkompromikan antara semua dalil sebagaimana yang telah lalu

Imam abu hanifah pula mengenai logika , yaitu tidak ada halangan keluarnya wakaf itu dari milik pewakaf

tidak dengan keluarnya wakaf itu dari milik pewakaf. Alasannya, karena mesjid keluar dari milik si pewakaf, tidak ada seorangpun yang memilikinya dan hal itu pun telah disepakati. Dengan demikian, wakaf yang bukan mesjid sama dengan wakaf masjid

Adapun adanya sangkut-paut hak hamba Allah pada barang wakaf dan sahnya hak si pewakaf, tidak menunjukkan masih terdapatnya hak milik di karena qurban itu sudah menjadi kepunyaan Allah SWT. dan bukan lagi alik yang memberi kurban pada saat kurban itu disembelih. Orang yang memberi kurban itu masih dapat bertindak untuk makan sendiri, memberi makan orang lain dan bersedekah. Itu adalah wewenang yang ditentukan oleh mara, dan begitu pula tentang wakaf

Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa kedua golongan itu sepakat bahwa si pewakaf mempunyai beberapa hak mengenai harta wakaf.

Imam Abu Hanifah dan dua orang pengikutnya berpendapat bahwa antara tetapnya milik si pewakaf pada harta wakaf dan tidak seharusnya terjadi kaf itu (ada sangkut pautnya). Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa adanya hak si pewakaf menunjukkan masih kekalnya milik. Adapun Imam Maliki berdiri di tengah-tengah persoalan ini. Beliau berpendapat tidak ada sangkut-pautnya antara kekalnya milik dan tidak harus terjadi wakaf. Harta wakaf menurut beliau tidaklah keluar dari milik si pewakaf karena ketika wakaf itu dilakukan, harta wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan (diberikan), dan tidak boleh diwariskan. Ulama Hanafiyah telah menetapkan suatu perbandingan mengenai budak dan mudabbar dan ummul walad

Al Kamal memandang baik pendapat ini dan menguatkannya yang secara ringkasnya adalah, “Milik si pewakaf adalah pasti sebelum diwakafkan, sedang larangan menjual dan sebagainya telah ditetapkan oleh hadits Umar dan praktek kaum muslimin, maka hendaklah tetap seperti itu. Adapun mengenai milik tidak dijumpai suatu dalil yang menghilangkannya, bahkan ada sebagian riwayat hadits Umar yang menunjukkan tetapnya milik itu seperti semula, yaitu sabda Rasulullah SAW.:

نْ شِئْتَ حَسَبْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا

Artinya:

“Jika engkau suka, tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya Hadis ini jelas mengenai bersedekah dengan hasilnya, sedangkan kepemilikan- nya tetap. Demikian pula, makna yang dipahami dan dipegang oleh kebanyakan ulama hanya menunjukkan kepastian terjadinya wakaf itu saja.” Itu adalah tahqiq yang baik

Begitu juga dari keterangan yang telah lalu, sangatlah jelas bahwa kuatnya pendapat Jumhur Ulama tentang keharusan terjadinya wakaf. Hal ini, karena hadits-hadis dan atsar-atsar banyak yang menunjukkan itu, dan praktek umat pun sejak zaman Rasul SAW. sekarang terus-menerus melakukan hal yang sama. Itu adalah lima secara ‘amali, yang tidak ditentang satu pun dari dalil-dalil Abu Hanafi

 

[1] Bahirah ialah unta yang telinganya dilubangi sebagai tanda bahwaa unta itu tidak diperkenankan lagi dimakan, tidak boleh dikendarai dan tidak boleh digunakan untuk mengangkut, yaitu apabila unta itu sudah beranak lima kali, dan yang kelimarya betina. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abdullah bin abbas r,a

Sae-ibah ialah  unta yang dilepaskan untuk Tuhan mereka karena kaul (nadzar), maka is pergi bebas kemana saja dan tidak boleh digunakan lagi. Wasilah inilah kambing yang sudah beranak tujuh kali, sedang yang ketujuhnya kembar, satu jantan satu betina, dan tidak dimakan.

[2] Habs  adalah pemilikan barang tersebut tetap berada pada tangan pemilik asliga. Dia boleh mewariskan menjualnya dan lain-lain.

Adapun wakaf berarti kepemilikan atas barang tersebut lepas secara perzsah dari orang yang newswafany ha schaheya, maka barntg yang diwaqafian tersebut tidak boleh diwariskan dan digunakan un kepentingan kepentingan lain seperti itu.

 

 

LTN NU Kab. Tasikmalaya

Maju bersama ummat, umat kuat negara hebat

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button