Suatu ketika sepasang suami istri yang menyandang gelar juara pertama pemilihan keluarga sakinah diminta berbagi pengalaman membina rumah tangga, sehingga dapat meraih predikat juara. Suaminya menyampaikan, “Alhamdulillah, selama tiga puluh tahun lebih kami membina rumah tangga, tidak pernah ada masalah.” Saat itu penulis terkejut dan dalam hati hanya membatin jangan-jangan ini bukan manusia, tetapi malaikat. Benarkah keluarga harmonis (sakinah) adalah keluarga yang tidak punya masalah? Tentu jawabannya tidak.
Sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dahulu akan diberikan penjelasan tentang arti masalah dan konflik. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan konflik dengan percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sementara masalah diartikan dengan sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan . Dari makna leksikal di atas, dapat diperoleh gambaran, bahwa konflik dalam keluarga dapat muncul disebabkan adanya masalah yang tidak segera dipecahkan. Tulisan ini bermaksud menjelaskan bagaimana pandangan Al- Qur’an tentang mengatasi masalah bahkan mungkin konflik yang muncul dalam kehidupan rumah-tangga.
Michael Gurian setelah mengadakan penelitian selama tidak kurang dari dua puluh tahun terhadap masalah perkawinan yang kemudian dituangkan dalam karyanya “What could He be Thinking? How a Man’s Mind Really Work”, yang diterjemahkan oleh penerbit Serambi dengan judul “Apa sih yang Abang Pikirkan: Membedah Cara Kerja Otak Laki-laki”, menyimpulkan bahwa setiap orang yang terikat dalam perkawinan akan mengalami beberapa fase. Ada pasangan yang dapat menyelesaikan sampai fase terakhir, namun tidak sedikit yang berhenti pada fase tertentu. Fase-fase tersebut oleh Michael disebut dengan “peta perkawinan”. Secara ringkas fase tersebut adalah:
Fase pertama, romantis; pasangan suami istri secara umum merasakan keindahan yang luar biasa, rasa cinta dari kedua belah pihak masih begitu menggumpal. Fase ini berlangsung antara enam bulan sampai dua tahun
Pase kedua, kecewa, ketika salah satu pihak baik laki-laki maupun perempuan melakukan sesuatu yang mengecewakan pasangannya atau merasa dikecewakan oleh pasangannya. Banyak hal yang bahkan mungkin terkesan kecil dapat mengecewakan pasangannya. Fase ini akan berlangsung antara enam bulan sampai satu tahun.
Fase ketiga, rebutan kuasa; fase ini adalah kelanjutan dari fase kedua di mana masing-masing berusaha untuk menyikapi kekecewaan yang ada dengan mencoba mengambil posisi untuk dominan dalam kehidupan rumah tangga. Fase ini termasuk fase krusial, tidak sedikit pasangan yang akhiraya kandas pada fase ini.
Fase keempat, sadar: setelah dapat melewati fase ketiga, masing-masing pihak merasa mendapat banyak ilmu bagaimana semestinya menyikapi rumah tangganya. Mereka memperoleh banyak pengetahuan dan kesadaran setelah menderita luka akibat kecewa dan perebutan kekuasaan.
Fase kelima, krisis, pada tahapan ini tidak setiap pasangan mengalaminya, karena ketika sampai pada fase keempat yaitu sadar mereka dapat mengambil hikmah, sehingga masalah yang muncul tidak sampai mengarah kepada krisis. Namun demikian, tidak sedikit pasangan yang mengalami krisis, baik karena faktor internal seperti perubahan sikap salah satu pasangan maupun faktor eksternal seperti suami sebagai kepala rumah-tangga yang kehilangan pekerjaan.
Fase keenam, cinta sejati, pasangan yang lolos dari krisis-jika ada kemudian berkembang normal menemukan cinta yang terus bersemi akan menjadi pasangan yang ideal, karena cinta mereka tampak memancar dalam kehidupan mereka.
Dari pemaparan di atas semakin menguatkan bahwa keluarga harmonis bukanlah keluarga yang tidak punya masalah. Keluarga harmonis secara sederhana dalam konteks tulisan ini, dapat diartikan sebagai keluarga yang cerdas dan terampil menyelesaikan setiap masalah, sehingga keharmonisan rumah tangga tetap dapat terpelihara.
Kesimpulan tersebut menjadi semakin kuat terlebih ketika dilihat dalam sejarah kehidupan rumah tangga Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam yang tentu saja adalah rumah tangga yang sakinah, sehingga setiap keluarga muslim harus meneladaninya, dan juga rumah tangga para sahabat utama. Riwayat dan sejarah merekam bagaimana masalah dalam rumah tangga Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menjadi penyebab turunnya wahyu untuk memberi solusi atas masalah tersebut. Beberapa contoh dapat disebutkan di antaranya turunnya Surah at-Tahrim/66: 1-5, Surah al-Ahzab/33: 28-30 dan lain- lain.
Tulisan ini bermaksud untuk menjelaskan tentang masalah atau konflik yang muncul dalam keluarga atau rumah tangga.: Pertama, prevenif; dalam bab ini diulas bagaimana petunjuk Al-Qur’an dalam mendorong usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh satu keluarga untuk dapat mengelola masalah secara baik, sehingga dapat mendeteksi kemungkinan munculnya masalah dalam keluarga dan kuratif; langkah-langkah yang harus dilakukan menurut Al-Qur’an apabila ternyata konflik benar-benar muncul dalam keluarga.
• Cara Preventif
Dalam Al-Qur’an ditemukan petunjuk yang jelas dan isyarat yang dapat dijadikan rujukan untuk mengelola masalah dalam keluarga secara baik, yang pada gilirannya dapat mencegah munculnya konflik apalagi krisis dalam rumah tangga. Cara-cara tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam; musyawarah dan pembagian peran yang fleksibel dalam keluarga.
• Musyawarah
Kata “musyawarah” berasal dari bahasa Arab musyawarah yang merupakan bentuk isim maşdar dari kata kerja syāwara, yusyawiru. Kata ini terambil dari akar kata syā wāw dan rã yang bermakna pokok “mengambil sesuatu”, “menampakkan”, dan “menawarkan sesuatu”. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata tersebut pada mulanya bermakna dasar “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat. Kata ini pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasar di atas.
Dalam Al-Qur’an, kata syāwara dengan segala perubahannya terulang sebanyak empat kali; asyārāť (Maryam/19: 29), syawir (Ali Imrăn/3: 159), syūrā (asy- Syūră/42: 38) dan tasyāwur (al-Baqarah/2: 223). Yang terakhir inilah ayat yang secara langsung memerintahkan untuk bermusyawarah dalam urusan keluarga. Dalam firman Allah disebutkan:
وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَاۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَاۗ وَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (al-Baqarah/2:
Ayat ini berbicara tentang bagaimana seharusnya hubungan suami istri dalam mengambil suatu keputusan yang berhubungan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti soal menyapih anak. Dalam ayat ini Allah memberi petunjuk agar persoalan tersebut juga persoalan-persoalan rumah tangga yang lain dimusyawarahkan antara suami istri.
Hal yang penting untuk diperhatikan oleh setiap pasangan dalam keluarga yang bermusyawarah atau berkomunikasi adalah:
a. Memilih saat yang tepat; niat baik úntuk membicarakan satu masalah dalam keluarga, agar mendapat hasil maksimal, harus memerhatikan waktu dan kondisi psikologis pasangannya. Waktu yang tidak tepat terkadang menjadikan niat yang baik menjadi kontra produktif.
b. Pilihan kata yang tepat; ungkapan yang tidak tepat juga dapat menjadikan komunikasi macet, sehingga jangankan musyawarah yang ada, justru yang muncul adalah pertengkaran. Maka memilih ungkapan yang tepat tentu saja hal tersebut merupakan buah dari kecerdasan masing-masing pihak, menjadi penting..
c. Menyampaikan secara tepat, kekurang- terampilan dalam menyampaikan maksud baik terkadang dapat memicu masalah dalam keluarga. Setelah sekian d. lama berumah tangga tentu semakin kaya pengalaman, termasuk dalam hal menyampaikan pesan-pesan untuk komunikasi dan musyawarah dalam keluarga.
Di samping ketiga hal di atas, yang juga tidak kalah pentingnya, adalah bahwa dalam musyawarah tidak ada istilah kalah dan menang. Masing-masing pihak harus menyadari tujuan bermusyawarah, yaitu untuk kebaikan bersama. Maka menjadi pendengar yang baik juga penting untuk sebuah hasil yang baik. Apabila ada usul pasangannya sekiranya tidak setuju, ia tidak segera mematahkan apalagi berprasangka buruk. Mendengarkan secara baik sambil memberi respons yang proporsional akan menjadikan komunikasi atau musyawarah dalam keluarga tersebut produktif. }
Untuk mengetahui sampai di mana kesiapan seseorang untuk menyukseskan musyawarah dalam urusan keluarga, M. Quraish Shihab membuat daftar pertanyaan yang dapat dijadikan indikator tentang hal di atas:
a. Apakah ada dorongan yang kuat dalam diri masing-masing pihak untuk segera menyelesaikan silang pendapat saat terjadi?
b. Apakah masing-masing merasa bahwa kehidupan perkawinannya lebih penting daripada membuktikan kebenaran pandangannya dalam perselisihan tersebut?
c. Apakah masing-masing bersedia mundur selangkah atau beberapa langkah saat terjadi silang pendapat dengan pasangannya?
d. Apakah masing-masing menilai masalah dalam keluarga dapat memantapkan kehidupan perkawinan mereka?
e. Apakah masing-masing berpikir dengan kata “kita” ketika merencanakan masa depan?
Jika jawabannya “ya” maka masing- masing telah berada di jalan yang benar untuk meraih kehidupan keluarga yang harmonis.” Kehidupan keluarga adalah seperti halnya individu yang terus bergerak secara dinamis untuk membuat perubahan tentu perubahan yang lebih baik, maka komunikasi atau musyawarah adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan keluarga. Judith G Glaser menyatakan dalam bukunya, The DNA of Leadership, seperti yang dikutip oleh Rhenald Kasali, “Everything happens through conversation” (dalam setiap perubahan diperlukan percakapan/komunikasi).
Dalam musyawarah tersebut seseorang hanya perlu memilih apakah ingin terus mempertahankan budaya saling menyalahkan (culture of blame), dengan mencari kesalahan pasangannya dan terlalu memerhatikan apa yang tidak dikerjakan oleh pasangannya? Atau akan menumbuhkan budaya saling menghargai (culture of appreciating), dengan mencari sisi baiknya atas setiap pendapat dan fokus kepada apa yang bisa dikerjakan bersama? Bagi yang menginginkan keluarga harmonis tentu akan memilih yang kedua.
Apakah ada contoh dari Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabat dalam bermusyawarah tentang urusan keluarga? .Sepengetahuan penulis tidak banyak riwayat yang menyebutkan tentang bagaimana Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dalam urusan keluarga terlebih pada masa-masa awal pernikahannya bersama Khadijah sampai istri tercinta Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut wafat pada tahun kesepuluh kenabian.
Hal ini bukan berarti luarga Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam mebut tidak punya masalah tetapi kemungkinan yang terjadi adalah, bahwa masalah yang muncul tidak sampai menjadi krisis, karena usaha preventif yang begitu sempurna dari dua manusia kekasih Allah tersebut. (Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khadijah).
Masalah yang serius baru muncul dan banyak direkam oleh riwayat ketika Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Medinah dan menikah lagi dengan beberapa orang istri. Faktor penyebabnya bisa dari internal istri-istri Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam ada faktor eksternal. Satu hal yang harus dicatat adalah bahwa apa yang dialami oleh Rasulullah şallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya adalah bagian dari cara Allah untuk memberikan pelajaran kepada manusia.
Di antara contoh komunikasi atau musyawarah Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam karena ada masalah internal keluarga adalah seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang bersumber dari sahabat Jäbir bin ‘Abdullah sebagaimana dikutip oleh Ibnu Kaşir, suatu ketika Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dengan dikelilingi oleh beberapa orang istri beliau. Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan diam (sepertinya menahan kegalauan hati). Abū Bakar dan ‘Umar bin al-Khattab minta izin masuk, awalnya tidak diizinkan kemudian sahabat berdua diizinkan masuk. Abū Bakar kemudian mendatangi putrinya ‘Aisyah sambil marah dan bertanya, “Apakah engkau minta sesuatu kepada Rasulullah şallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau tidak memilikinya?” Demikian juga ‘Umar bin al-Khattabmendatangi Hafşah dengan keadaan yang sama seperti Abü Bakar bahkan lebih keras. (riwayat tidak menyebut permintaan apa yang diajukan oleh para istri Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut). Para istri itu kemudian menyatakan dengan berjanji tidak akan minta sesuatu yang Rasulullah şallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memilikinya. Kemudian turunlah ayat 28 Surah al-Ahzab/33.
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ اِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتَهَا فَتَعَالَيْنَ اُمَتِّعْكُنَّ وَاُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلًا
Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah agar kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.” (al-Ahzab/33: 28)
Dan setelah ayat tersebut turun, Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Aisyah untuk bermusyawarah dengan ayahandanya Abū Bakar. Namun kemudian ‘Aisyah menjawab “Apakah dalam hal seperti ini aku harus bermusyawarah dengan ayahku? Tidak! Sesungguhnya aku menginginkan Allah dan Rasul-Nya serta kehidupan akhirat.” Demikian juga dengan istri-istri yang lain.
Ketika menafsirkan ayat tersebut, M. Quraish Shihab memberi tiga catatan;
1) pertama, istri-istri Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia biasa juga seperti manusia yang lain. Mereka adalah perempuan sebagaimana perempuan yang lain. Ada kecenderungan mereka untuk memperoleh perhiasan hidup, dan untuk itu mereka “menuntut” Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam. Permintaan mereka itu tidak disalahkan Nabi, namun itu menjadikan hati Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam sedih sampai-sampai beliau menyendiri dan enggan untuk menerima tamu.
2) Kedua, permintaan itu beliau tolak bukan karena beliau tidak memiliki peluang untuk mendapatkan harta. Bukankah kekuasaan telah beliau dapatkan, tetapi yang beliau miliki diberikan untuk hal-hal yang lebih penting. Oleh karena itu, beliau dan keluarga hidup sederhana.
3) Ketiga, hubungan kekeluargaan dengan Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, baik sebagai istri maupun anak cucu, sama sekali tidak membatalkan prinsip dasar bahwa yang termulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
Contoh musyawarah Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah rumah tangga/keluarga karena adanya faktor eksternal adalah peristiwa yang kemudian dikenal dengan hadisul-ifk (berita bohong). Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan berita bohong adalah berkenaan dengan tuduhan yang dialamatkan kepada Aisyah. Menyikapi masalah tersebut, Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bermusyawarah dengan sahabat dan beberapa anggota keluarga dekat beliau di antaranya adalah ‘Umar bin al-Khattab, ‘Ali bin Abi Talib, Usāmah bin Zaid, Ummu Aimān dan Zaid bin Säbit. Masing-masing mengemukakan pendapatnya. Di antara pendapat yang muncul adalah dari Zaid bin Säbit yang menyarankan agar Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam menunggu wahyu. Dan akhirnya turunlah wahyu 10 ayat dalam Surah an Nür/24: 11-22 yang intinya membersihkan nama ‘Aisyah, dari segala macam tudultan yang diterimanya.
Dari kisah di atas ada poin yang menarik untuk dianalisis, dalam kasus pertama Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi masalah keluarga yang disebabkan faktor internal dengan respons diam menahan diri tidak reaksioner apalagi marah. Sementara dalam kasus yang kedua karena penyebabnya adalah faktor eksternal maka Nabi şallallahu ‘alaihi wa sallam merespons dengan cara bermusyawarah dengan orang-orang yang dianggap dapat memberi masukan. Dua respons yang berbeda namun intinya sama yaitu ketika menghadapi masalah maka beliau mengambil sikap tenang untuk kemudian mencari solusi, salah satunya dengan cara bermusyawarah, Dalam konteks modern mengacu kepada hasil penelitian yang dilakukan oleh Michael Gurian cara kerja perasaan (emosi) laki-laki (suami) secara umum adalah bersifat;
a) Lelaki cenderung menangguhkan reaksi emosional, sementara perempuan sebaliknya,
b) Lelaki cenderung mengedepankan emosi fisik daripada emosi verbal sementara perempuan lebih mengedepankan emosi verbal.
c) Ketika memproses perasaan lelaki cenderung menutupi, sementara perempuan lebih suka mengungkapkannya.
d) Bagi lelaki emosi yang bermasalah adalah sesuatu yang harus dicari solusinya, sementara perempuan lebih suka membicarakannya (mungkin bagian dari cara mencari solusi).
Dari sinilah kemudian muncul kesimpulan bahwa perempuan lebih mempercayai perasaannya, sementara lelaki kurang percaya dengan perasaannya. Yang perta diberikan catatan adalah pendapat Michael Gurian tersebut didasarkan kepada studi neorologis bukan studi sosiologis yang biasanya mengasumsikan bahwa perbedaan tersebut karena konstruk sosial,
Dalam bahasa lebih sederhana, M. Quraish Shihab menyimpulkan bahwa dalam konteks menghadapi masalah, lelaki masuk ke dalam guanya, ia enggan berbicara, tetapi berkonsentrasi sepenuhnya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya, la bagaikan masuk ke dalam gua yang tertutup tidak ingin diganggu, bahkan dilihat oleh siapa pun. la akan banyak sekali diam, hingga. problem yang dihadapinya teratasi. Kalau pun belum terselesaikan maka boleh jadi ia mengalihkan pikiran sejenak kepada hal yang lain, seperti membaca dan lain- lain yang tidak terlalu membutuhkan konsentrasi penuh. Ini berbeda dengan perempuan yang lebih senang menguraikan persoalan yang dihadapinya kepada pihak lain yang dipercayainya.”
Salah satu penyebab munculnya masalah dalam keluarga adalah ketika istri ingin didengar ketika sedang menguraikan masalahnya, dan pada saat yang sama. suami juga menghadapi masalah sehingga tidak ingin diganggu, maka kemungkinan besar dapat menimbulkan kesalahpahaman Pada gilirannya kalau salah satunya tidak segera menyadari maka keadaannya bisa lebih rumit, karena menyangkut kehidupan keluarga secara keseluruhan. Di sinilah, sekali lagi Al-Qur’an memberi petunjuk untuk bermusyawarah seperti yang dijelaskan dalam firman Allahı
اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ وَاِنْ كُنَّ اُولٰتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍۚ وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗٓ اُخْرٰىۗ
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kaти bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (at-Talaq/65: 6)