Opini

Hukum Perkawinan di Arab Saudi

Hukum Keluarga di Saudi Arabia

Dian Rahmat Nugraha , M.Ag

LTNNU Kabupaten Tasikmalaya

 

Di Negara-negara yang hukum perkawinannya masih Uncodified Law, maka hukum perkawinannya didasarkan pada kitab kitab fiqh madhab yang dianutnya. Dalam hal ini Saudi Arabia hukum perkawinannya sesuai dengan madhab Hambali, yaitu pelaksanaan pernikahan serta hal-hal lain yang terkait dengannya seperti halnya talak dan Rujuk pada umumnya ditangani oleh para Ulama atau institusi keagamaan setempat yang dianggap berwenang dalam menangani masalah keagamaan umat Islam.

Perwalian Pernikahan

Mengenai perwalian dalam pernikahan, kalau kita merujuk kepada Madhab Hambali, maka Wali dalam madzhab Hambali hukumnya wajib, bahkan pernikahan dianggap tidak sah tanpa adanya wali. Seorang perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri baik atas izin walinya ataupun tidak, demikian pula seorang perempuan tidak dapat menikahkan untuk fasid, kalaupun terlanjur pernikahan yang akadnya dilakukan oleh pengantin perempuan sendiri, pernikahannya harus dipisahkan. Namun dalam hal hukuman, mengingat pernikahan tersebut menjadi wacana perdebatan sehingga tidak ada hukuman bagi pelaku pernikahan tersebut. Wali berurutan dari ayah, kakek kemudian saudara. Pernikahan oleh wali yang lebih jauh, sedangkan wali yang lebih dekat masih ada, menyebabkan pernikahannya batal.

Usia Pernikahan

Saudi Arabia tidak memiliki hukum khusus untuk mengatasi masalah ini. Karena di Negara ini tidak di tetapkannya Undang-Undang mengenai batasan minimal usia pernikahan, yang diterapkan hanyalah hukum fikih yang sebenarnya yaitu seseorang dapat menikah kapan pun asalkan telah cukup memenuhi syarat dalam madzhab yang dianutnya, dimana mayoritas mereka bermadzhab Imam Hambali. Tidak ada usia minimum untuk menikah di Arab Saudi dan Grand Mufti dilaporkan mengatakan pada tahun 2009 bahwa anak perempuan dari usia 10 atau 12 yang menikah.

Poligami

Begitu pula dengan masalah poligami, Saudi Arabia tidak memiliki hukum khusus untuk mengatasi masalah ini. Tidak ada batasan atapun tata cara yang khusus mengenai prosedur yang harusnya dilakukan bagi para suami yang ingin berpoligami. Poligami diperbolehkan untuk pria tetapi terbatas pada empat istri pada satu waktu. Bahwa praktek poligami telah meningkat, khususnya di kalangan yang berpendidikan, sebagai akibat dari kekayaan minyak. Pemerintah telah mempromosikan poligami sebagai bagian dari kembali ke program “Islam nilai-nilai”. Pada tahun 2001, Grand Mufti (otoritas agama tertinggi) mengeluarkan fatwa atau pendapat, menyerukan kepada wanita Saudi untuk menerima poligami sebagai bagian dari paket Islam dan menyatakan bahwa poligami itu diperlukan “untuk melawan pertumbuhan epidemi perawan tua”. Raja Abdul Aziz , pendiri negara, dilaporkan mengaku menikah lebih dari dua ratus perempuan.

Perceraian

Pria memiliki hak unlilateral untuk menceraikan istri mereka tanpa perlu dasar hukum. Perceraian adalah efektif dengan segera. Istri bercerai dapat mengklaim dukungan keuangan untuk jangka waktu empat bulan dan sepuluh hari sesudahnya. Seorang wanita hanya dapat memperoleh  perceraian dengan persetujuan dari suaminya atau secara hukum jika suaminya telah merugikan dirinya. Dalam praktek, sangat sulit bagi seorang wanita Saudi untuk mendapatkan perceraian pengadilan. Tingkat perceraian tinggi, sampai 50%. Dalam hal perceraian, ayah memiliki hak asuh anak otomatis dari usia 7 dan putri dari usia 9. Hak bagi pria untuk menikah hingga empat istri, dikombinasikan dengan kemampuan mereka untuk menceraikan istri kapan saja tanpa sebab.

Hak asuh anak dan perwalian

Pihak ayah adalah pihak yang memegang hak utama dalam kasus perceraian. Meskipun begitu, hakim dapat mempertimbangkan kesukaran orang tua dalam pemberian perwalian, apabila seorang ayah yang ditunjuk untuk menjadi orang tua yang mendapatkan perwalian anak sedang dalam kondisi yang tidak sehat, maka kakek dan nenek dari pihak ayah adalah yang diserahi tanggung jawab atas anak tersebut.

Perjanjian Perkawinan

Dalam Islam, seorang wanita diperbolehkan untuk mengajukan syarat/perjanjian pernikahannnya selama tidak melanggar ajaran Islam. Dia kemudian berhak atas suatu “perceraian bersyarat” jika salah satu dari persyaratan tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya. Hasil dari perceraian tersebut dianggap final dan seorang suami tidak boleh kembali kepada istrinya selama tiga bulan masa ‘iddah. Selama waktu ini pasangan dapat merevisi keputusan mereka dan dapat menghidupkan kembali perkawinan mereka jika mereka telah menyelesaikan perbedaan atau perselisihan diantara mereka.

Semua Ulama sepakat bahwa semua perjanjian dalam perkawinan adalah sah, dan pelanggaran terhadap perjanjian tersebut berarti membatalkan kesepakatan. Syekh Abdullah al- Manii, anggota Dewan Ulama Senior Saudi, mengatakan bahwa seorang wanita sah menceraikan suaminya setelah sang suami melanggar syarat dalam perjanjian perkawinan mereka yang salah satu poinnya adalah bahwa suaminya itu tidak akan menikah dengan wanita lain selama mereka masih bersama.

Hukum Kewarisan dan Perwakafan di Saudi Arabi

Menurut catatan para ahli sejarah hukum Islam, wakaf tidak dikenal pada masyarakat Arab Jahiliyah pra-Islam. Wakaf menurut Imam Syafi’I benar-benar tipikal Islam. Sama halnya di bidang hukum keluarga lainnya, hukum wakaf juga merupakan hukum yang hidup di seluruh dunia Islam, apakah itu Negara yang berpenduduk muslim minoritas, maupun yang berpenduduk muslim mayoritas, dan lebih lagi di Negara muslim konstitusional. Begitu penting dan strategisnya kedudukan wakaf ini bagi jaminan sosial umat dan kesejahteraan umum. Dalam hal ini, Saudi Arabia mengangkat Menteri Perwakafan.

Saudi Arabia sebagai Negara Islam konstitusional dan Negara yang menguasai tempat dimana Islam telah diturunkan dengan perkembangan zaman yang berubah dan kebutuhan umat yang beragam pula, kelembagaan perwakafan beserta manajemennya pun mengalami berbagai perubahan dan perbaikan di segala bidang. Termasuk Saudi Arabia yang pada tahun 1966 M membentuk Departemen Wakaf. Departemen ini memiliki tugas utama untuk menangani berbagai hal yang berhubungan dengan wakaf. Seperti membuat perencanaan, pengembangan dengan wakaf, dan memelihara serta mengawasi kelanggengan aset-aset wakaf disamping menyusun laporan lengkap dan rinci kepada pihak Kerajaan Saudi.

Diantara pengelolaan wakaf yang paling menonjol di Saudi Arabia adalah pengelolaan khusus bagi dua kota yang paling dihormati oleh umat Islam, yaitu al-Haramain : Makkah al- Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah. Di atas tanah yang terletak di sekitar Masjidil Haram di Makkah dan diatas tanah yang terletak di sekeliling masjid Nabawi di Madinah, dibangun sejumlah pertokoan dan perhotelan atau rumah-rumah penginapan yang kemudian dikelola secara professional guna menghasilkan dana yang kemudian untuk membiayai perawatan berbagai aset yang dimiliki kedua kota tersebut.

Secara umum, hukum kewarisan Islam pada dasarnya tetap berlaku di hampir atau bahkan di seluruh dunia Islam. Baik dunia Islam yang mengatur hukum kewarisannya dalam bentuk undang-undang, maupun yang belum mengatur hukum kewarisannya dalam bentuk undang- undang. Negara Islam atau Negara berpenduduk muslim yang telah mengundangkan hukum kewarisan Islam itu, ada yang menggabungkan hukum kewarisannya dengan undang-undang perkawinan, dan adapula yang memisahkannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan tersendiri. Saudi Arabia termasuk ke dalam Negara yang tidak menjadikan hukum kewarisannya ke dalam undang-undang akan tetapi mereka mengatasi masalah waris mengacu kepada Al-Quran dan As-Sunnah.

Mengenai warisan orang-orang beragama lain, di kalangan Saudi Arabia tidak memperbolehkan bagi para penganut agama-agama non-Islam tidak boleh mewarisi satu sama lain. Dengan demikian, seorang Yahudi tidak bisa mewarisi orang Nasrani, dan sebaliknya. Demikian pula halnya dengan pemeluk-pemeluk agama lainnya satu sama lain. Adapun mengenai tentang mendahulukan penyelenggaraan pemakaman atas hak yang berkaitan dengan Tirkah, seperti barang yang digadaikan pemiliknya sebelum dia meninggal dunia. Di Saudi Arabia penyelenggaraan pemakaman didahulukan atas seluruh hak dan utang-utang, sekalipun dalam bentuk gadaian ganti rugi pidana.

Penerapan Hukum Keluarga Saudi Arabia

Penggunaan Al-Quran dan sunnah sebagai hukum yang dipakai untuk mengatur hukum keluarga oleh Saudi Arabia menyebabkan para hakim, ulama dan mufti harus lebih banyak mengeluarkan ijtihadnya dikarenakan umumnya sumber hukum yang mereka miliki. Tidak jarang para ulama tersebut mengalami perbedaan pendapat mengenai masalah yang sama. Hal ini membuat pihak PBB menyarankan kepada Saudi Arabia untuk merevisi hukum keluarga yang dipakai oleh Negara tersebut.di samping perbedaan pendapat yang acap kali terjadi oleh para ulama yang ada di Saudi Arabia, PPB juga menilai hukum keluarga yang dipakai Saudi Arabia saat ini membuka kemungkinan terjadinya diskriminasi khususnya terhadap perempuan. Sehingga PBB merasa perlu untuk menyarankan adanya revisi terhadap hukum keluarga di Negara ini. Adapun aplikasi hukum keluarga di masyarakat Saudi Arabia sendiri banyak menghadapi masalah-masalah yang perlu diperhatikan karena dianggap melanggar nilai-nilai sosial oleh sebagian masyarakat dunia. Seperti praktek nikah di bawah umur dan nikah misyar. Namun hal tersebut dianggap boleh oleh pemerintah Saudi Arabia karena tidak dilarang oleh sumber hukum mereka. Dengan demikian, pemerintah kerajaan Saudi Arabia perlu membuat suatu peraturan (UU) untuk menangani permasalahan tersebut.

Nikah Di bawah Umur

Menteri Kehakiman Saudi Arabia Mohamed Al-Issa mengatakan, pemerintah akan membuat regulasi tentang perkawinan di bawah umur setelah kasus perkawinan seorang pria berusia 47 tahun dengan seorang anak perempuan berusia 8 tahun. Kasus ini sempat ramai di pengadilan Saudi, bahkan sampai ke tingkat pengadilan banding. Namun hakim yang menangani perkara, hakim Syaikh Habib al-Habib, lagi-lagi menolak membatalkan pernikahan tersebut, meski mempelai perempuan masih di bawah umur. Hakim al- Habib beralasan, begitu seorang anak perempuan sudah mengalami pubertas (menstruasi) dia bisa memutuskan sendiri apakah akan melanjutkan pernikahan atau akan mengurus proses perceraian. Dalam putusannya, hakim memerintahkan pengantin pria untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum mempelai perempuan memberikan keputusan. Seorang kerabat dari pihak ibu mempelai perempuan mengungkapkan, sang ibu ingin tetap melanjutkan kasus ini ke tingkat pengadilan yang lebih tinggi.

Meski perkawinan di bawah umur di Saudi merupakan hal yang lumrah, kasus yang mencuat sejak bulan Desember 2008 ini mengundang perhatian media lokal dan internasional, karena hakim menolak membatalkan pernikahan di bawah umur itu. Menurut kuasa hukum keluarga perempuan, Abdullah Al-Jutaili, hakim menyatakan bahwa ibu mempelai perempuan yang sudah bercerai dari suaminya, bukan wali mempelai yang sah sehingga tidak bisa mengajukan permohonan perceraian puterinya.

Isu pernikahan di bawah umur kembali memanas di Saudi setelah Mufti Saudi Syaikh Abdul Aziz Al-Syaikh pada bulan Januari lalu mengatakan bahwa menikahkan anak perempuan yang masih berusia 15 tahun atau kurang tidak melanggar syariah Islam, bahkan menurutnya syariah Islam memberikan keadilan bagi kaum perempuan.

Praktisi hukum di Saudi, Abdul Rahman Al-Lahem mengungkapkan, kasus-kasus pernikahan di bawah umur anak-anak perempuan Saudi dengan lelaki yang jauh lebih tua, biasanya terjadi karena pertimbangan masalah finansial. Sementara itu, Menteri Kehakiman Saudi mengatakan, regulasi tentang usia perkawinan yang akan dibuat bertujuan untuk mengakhiri sikap orang tua atau wali yang sembarangan menikahkan anak perempuannya yang masih di bawah umur. Rencana Menteri Kehakiman didukung oleh Komisi HAM kerajaan Saudi Arabia yang menentang perkawinan anak-anak perempuan dibawah umur. Dengan alasan bahwa, menurut Zuhair al-Harithy juru bicara HRC Saudi, melanggar kesepakatan internasional dimana Saudi Arabia juga ikut menandatanganinya.

Nikah Misyar (Nikah Sirri) dan Pencatatan Nikah

Nikah misyar di wilayah timur Saudi Arabia meningkat karena sejumlah Fatwa Ulama membolehkan jenis pernikahan itu selama memenuhi syarat sah. Syarat sah pernikahan, menurut sebagian Ulama adalah Ijab dan Qabul (persetujuan kedua mempelai) dan Saksi. Sebagian lainnnya adalah mewajibkan Wali sebagai syarat sah apalagi yang menikah adalah gadis. Sebagaiman telah dijelaskan dimuka, bahwa perwalian dalam madhab Hambali dikemukakan tidak sah menikah tanpa adanya wali dan dua orang saksi muslim. Seorang wanita tidak sah menikahkan dirinya sendiri, nikah tidak dianggap sah apabila tidak menghadirkan dua orang saksi muslim.

Sementara bagi para janda tidak disyaratkan wali.Lewat pernikahan yang tidak diakui Negara, atau dikenal dalam bahasa arab sebagai al- Zawajul Urfi. Jumlah orang asing di Madinah secara legal atau illegal jauh melebihi orang orang Saudi Arabia, adanya orang asing yang mencoba mendapatkan uang dengan menikahi perempuan- perempuan orang Saudi. Ini semakin meningkatkan jumlah nikah seperti ini. Kantor pencatatan nikah “mazun” tidak memberi izin kepada calon suami istri untuk melakukan pernikahan antara saudi dan non-Saudi, tanpa surat izin. Orang Saudi yang ingin menikahi non-Saudi harus meminta surat izin dari Mendagri, yang bisa memakan waktu berbulan bulan atau bertahun tahun. Kalau lewat pernikahan biasa, seorang pemuda selain harus membayar maskawin mahal, juga menyediakan rumah dan menanggung biaya pesta yang tergolong besar untuk ukuran kebanyakan. Karena itu, banyak pria lebih memilih menikah dengan cara diam-diam yang penting halal. Salah satu penyebab utamanya adalah factor ekonomi, karena tidak mampu mengangung biaya pesta, menyiapkan rumah milik dan harta gono gini.

 

 

LTN NU Kab. Tasikmalaya

Maju bersama ummat, umat kuat negara hebat

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button