Isra Mi’raj menurut Ahli Tafsir
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Maha Suci Dzat yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkati sekitarnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebagian ayat Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Allah mengagungkan Zat-Nya sendiri dan mementingkan urusan-Nya karena urusan-Nya atas apa yang tidak dapat dilakukan seorang pun selain Dia. Tidak ada Tuhan selain Dia dan tidak ada Riba kecuali Dia “Yang telah memperjalankan hamba-Nya” Muhammad saw., “Pada malam hari dari Masjidil haram,” yaitu masjid di Mekah. “ke Masjidil Aqsa” di Baitul Maqdis yang menjadi sumber para nabi sejak Ibrahim a.s.. Oleh karena itu, mereka berkumpul di sana, untuk menyambut Nabi Muhammad saw. Beliau mengimami mereka di tempat tinggal mereka. Hal ini menunjukkan bahwa beliau merupakan imam besar dan pemimpin yang terkemuka. Semoga shalawat dan salam dari Allah dilimpahkan kepadanya dan kepada mereka semua.
Firman Allah Ta’ala, “Yang telah Kami berkati sekitarnya,” dalam hal tanam-tanaman dan buah-buahan “agar Kami memperlihatkan kepadanya,” yaitu kepada Muhammad, “sebagian ayat Kami” yang besar seperti firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya, dia telah melihat sebagian ayat Tuhan nya yang besar.” Kami akan menceritakan sebagian ayat ini yang dimudahkan A sebagaimana yang terdapat dalam has hadits Nabi Muhammad saw..
Dalam hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Qatadah yang menceritakan dari Anas bin Malik bahwa Malik Sha’sha’ah telah menceritakan hadits itu kepada Anas hingga sabda Nabi Muhammad saw,
مَّ رُفِعْتُ إِلَى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى فَإِذَا نَبْقَتُهَا مِثْلَ قِلَالِ هَجَرٍ, وَإِذَا وَرَقُهَا مِثْلَ آذَانِ الْفِيَلَةِ, فَقَالَ هَذِهِ سِدْرَةُ الْمُنْتَهَى قَالَ وَإِذَا أَرْبَعَةُ أَنْهَار
ٍنَهْرَانِ بَاطِنَانِ وَنَهْرَانِ ظَاهِرَانِ, فَقُلْتُ: مَا هَذَا يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: أَمَّا الْبَاطِنَانِ فَنَهْرَانِ فِي الْجَنَّةِ وَأَمَّا الظَّاهِرَانِ فَالنَّيْلُ وَالْقُرَاتُ – قَالَ – ثُمَّ رُفِعَ إِلَى الْبَيْتِ الْمَعْمُورِ.
“…. Kemudian, aku naik ke Sidratul Muntaha. Ternyata, buah pohonnya sebesar kendi Hijir dan daunnya sebesar telinga gajah. Jibril berkata, ‘Inilah Sidratul Muntaha. Ternyata, di sana, ada empat sungai: dua sungai sumbernya kelihatan dan dua sungai lagi tidak kelihatan. Aku bertanya, ‘Hai Jibril, sungai apakah ini?’ Dia menjawab, ‘Dua sungai yang sumbernya tidak kelihatan ialah dua sungai di surga adapun yang kelihatan ialah Sungai Nil dan Eufrat.’ Kemudian, aku dibawa naik ke Baitul Ma’mur.” (HR Ahmad)
Dalam hadits yang diriwayatkan Qatadah dari Abu Hurairah dikatakan,
قَدْ سَأَلْتُ رَبِّي حَتَّى اسْتَحْيَيْتُ مِنْهُ وَلَكِنْ أَرْضَى وَأُسَلِّمُ فَلَمَّا نَفَذْتُ نَادَى مُنَادٍ قَدْ أَمْضَيْتُ فَرِيضَتِي وَخَفْفْتُ عَنْ عِبَادِي
“…. Aku telah meminta keringanan kepada Tuhanku sehingga aku malu untuk kembali lagi. Jadi, aku rela menerima. Aku pun pergi. Tiba- tiba, ada yang menyeru, ‘Kamu telah menerima untuk menjalankan kewajiban dari-Ku dan Aku menggunakannya untuk hamba-hamba-Ku.”” (Muttafaq ‘alaih)
Bukhari dan Muslim meriwayatkan ha- its ini dalam shahih-nya masing-masing Cari hadits Qatadah. Dalam hadits riwayat Bukhari pada bab tentang shalat dikemukakan,
مَّ انْطَلَقَ بِي حَتَّى أَتَى سِدْرَةَ الْمُنْتَهَى, قَالَ فَغَشِيَهَا أَلْوَانُ مَا أَدْرِي مَا هِيَ, قَالَ : ثُمَّ أُدْخِلْتُ الْجَنَّةَ, فَإِذَا فِيهَا حَبَائِلُ اللُّؤْلُكِ, وَإِذَا تُرَابُهَا المسك.
“….. Kemudian, Jibril membawaku hingga tiba di Sidratul Muntaha. Lalu, ia tertutup oleh aneka warna yang tidak kukenal Kemudian, aku dimasukkan ke dalam surga. Ternyata, di dalamnya, terdapat kubah-kubah dari permata dan tanahnya dari kesturi.” (HR Bukhari) L
Muslim meriwayatkan dalam shahih- nya dari Abu Dzar, dia berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ الله هَلْ رَأَيْتَ رَبُّكَ؟ فَقَالَ: نُورٌ أَنِّي أَرَاهُ»
“Aku bertanya kepada Rasulullah, Apakah engkau melihat Tuhanmu?” Beliau menjawab, ‘Dia adalah cahaya. Bagaimana mungkin aku dapat melihat-Nya.” (HR Muslim)
Diriwayatkan dari Muhammad bin Basyar dengan sanadnya yang sampai kepada Abdullah bin Syaqiq, dia berkata kepada Abu Dzar,
وْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ لَسَأَلْتُهُ. فَقَالَ: عَنْ أَيِّ شَيْءٍ تَسْأَلُهُ؟ قَالَ: كُنْتُ أَسْأَلُهُ : هَلْ رَأَيْتَ رَبِّكَ؟ قَالَ أَبُو ذَرٍ: قَدْ سَأَلْتُهُ فَقَالَ رَأَيْتُ نُورً
“Seandainya, aku melihat Rasulullah, niscaya aku akan bertanya kepadanya.” Abu Dzar bertanya, “Tentang apa?” Syaqiq menjawab, “Akan kutanyakan, apakah dia melihat Tuhannya?” Abu Dzar berkata aku telah menanyakan hal itu dan beliau menjawab, “Aku melihat cahaya.
Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi mengatakan dalam hadits dari syirik sebagai bahan mengenai pandangan orang yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw melihat Allah Ta’ala. Tambahan itu ialah, Kemudian, Nabi saw mendekati Yang Maha Perkasa Tuhan Yang Mulia, lalu semakin dekat hingga sedekat jarak dua anak panah atau lebih dekat lagi.” Baihaqi berkata, “Penafsiran Aisyah, Ibnu Mas’ud, dan Abu Hurairah akan kedekatan Nabi saw tersebut adalah saat beliau melihat jibril, bukan ketika melihat Tuhan.” Begitulah yang dikemukakan oleh al-Baihaqi rahimahullah mengenai masalah ini. Itulah pandangan yang benar.
Firman Allah, “Kemudian, dia mendekat dan semakin dekat,” tiada lain adalah Jibril a.s. sebagaimana hal itu ditegaskan di dalam Shahihain, yaitu dalam hadits dari Aisyah Ummul Mukminin dan dari Ibnu Mas’ud. Demikian pula hal itu ditegaskan dalam Shahih Muslim pada hadits Abu Hurairah. Tidak ada sahabat yang menafsirkan ayat di atas selain itu.
Dalam Shahih Muslim dikatakan dari Ibnu Syahib dari Ibnu Hazm dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah al-Anshari mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda,
ثُمَّ عُرِجَ بِي حَتَّى ظَهَرَتْ لِمُسْتَوَى أَسْمَعُ فِيهِ صَرِيف الأَقلام.
“Kemudian, aku dinaikkan hingga aku tiba di Mustawa. Di sini, aku dapat mendengar derit pena pencatat amal.” (HR Muslim)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, sesungguhnya dia mendengar Rasulullah saw bersabda,
“Tatkala kaum Quraisy mendustakan Israra’ku ke Baitul Maqdis, maka aku berdiri di atas batu. Tiba-tiba, Allah menampakkan kepa- daku Baitul Maqdis. Maka, aku pun mulai memberitahukan ciri-ciri Baitul Maqdis kepada mereka, sedang aku melihatnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits ini dikemukakan pula dalam Shahihain. Ibnu Syihab mengatakan bahwa Abu Salamah bin Abdurrahman berkata,
فَتَتَجَهْرُ أَوْ كَلِمَةٌ نَحْوَهَا، نَاسٌ مِنْ قُرَيْشٍ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالُوا: هَلْ لَكَ فِي صَاحِبِكَ يَزْعَمُ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مَكَّةَ في لَيْلَةِ وَاحِدَةٍ؟ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَوْ قَالَ ذَلِكَ؟ قَالُوا: نَعَمْ قَالَ: فَأَنَا أَشْهَدُ لَئِنْ كَانَ قَالَ ذَلِكَ لَقَدْ صَدَقَ, قَالُوا: فَتَصَدِّقَهُ بِأَنْ يَأْتِي الشَّامَ فِي لَيْلَةِ وَاحِدَةٍ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى مَكَّةَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ؟ قَالَ: نَعَمْ أَنَا أَصَدِّقُهُ بِأَبْعَدِ مِنْ ذَلِكَ, أَصَدِّقُهُ أَبُو أَبُو سَلَمَةَ: فَيهَا سُمِّيَ بِخَيْرِ السَّمَاءِ, قَالَ بكر الصديق.
“Maka, orang-orang Quraisy segera menuju Abu Bakar, lalu berkata, ‘Bagaimana menurutmu, ihwal sahabatmu yang mengatakan bahwa dia telah pergi ke Baitul maqdis, kemudian pulang ke Mekah hanya dalam semalam? Abu Bakar berkata, ‘Apakah dia mengatakan demikian? Mereka membenarkannya. Abu Bakar berkata, “Aku bersaksi jika dia mengatakan demikian, maka sesungguhnya benarlah dia. Mereka berkata, Apakah kamu membenarkan kepergiannya ke Syria hanya dalam semalam, kemudian pulang ke Mekah sebelum subuh? Abu Bakar menjawab, ‘Ya, aku membenarkannya, bahkan yang lebih dari itu. Aku membenarkannya ihwal berita langit.’ Abu salamah berkata, ‘Karena itulah, Abu Bakar disebut ash-shiddiq.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda,
“”Setelah malam pangeranku, aku menyadari bahwa orang-orang kafir akan mendustakanku. Maka, beliau duduk mengasing- kan diri dengan bersedih hati. Tiba-tiba, melintaslah musuh Allah, Abu Jahal. Dia menghampirinya, lalu duduk di dekatnya dan berkata dengan nada mengolok-olok. ‘Apakah telah terjadi sesuatu? Nabi menjawab, ‘Benar.’ Dia bertanya, ‘Apakah itu?” Beliau menjawab, ‘Ke Baitul Maqdis, Abu Jahal berkata, ‘Lalu, pada pagi hari, kamu telah berada di tengah-tengah Kami?’ Beliau menjawab, “Benar.”
Ibnu Abbas berkata, “Abu Jahal tidak mau mendustakannya karena khawatir ceritanya ini akan ditentang oleh orang-orang tatkala diberikan kepada kaumnya. Maka, Abu Jahal berkata, ‘Bagaimana menurut- nu jika aku memanggil kaummu, apakah Kamu bersedia untuk menceritakan kepa- Ha mereka apa yang telah engkau ceritakan kepadaku?’ Rasulullah saw bersabda, Baiklah.’ Abu Jahal berkata, ‘Hai golongan Bani Ka’ab bin Luay!”
Perawi berkata, “Maka, majelis pun disiapkan dan datanglah mereka, lalu duduk mengitari keduanya. Abu Jahal berkata, “Ceritakanlah kepada kaummu apa yang telah kamu ceritakan kepadaku. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya, aku telah diisraa kan pada malam tadi. Mereka bertanya, ‘Kemana? Beliau menjawab, ‘Ke Baitul Maqdis.” Mereka berkata, ‘Lalu, pada pagi hari, kamu telah berada di tengah-tengah Kami? Beliau menjawab, ‘Benar.””
Perawi berkata, “Maka, diantara mereka ada yang bersorak dan ada pula yang memegang kepalanya karena dianggap sebagai kebohongan yang menakjubkan. Mereka berkata, ‘Dapatkah kamu menjelaskan sifat Masjidil Aqsha kepada Kami?’ Di antara mereka ada yang pernah ke Baitul Maqdis dan melihat masjid itu. Maka, Rasulullah saw bersabda, ‘Maka, aku terus menyifati masjid sehingga beberapa sifat agak keliru.” Nabi melanjutkan, ‘Maka Tampilkanlah masjid itu dan aku dapat melihatnya, seolah-olah ia diturunkan di atas Dari Uqail atau ‘Uqal. Maka, aku dapat menerangkan keadaannya sambil melihatnya. Aku tidak hafal karakteristik masjid itu sebelumnya. Maka, orang-orang ber- kata, ‘Adapun mengenai sifat masjid, demi Allah, dia benar.” Hadits ini diriwayatkan pula oleh an-Nasa’i dari hadits Auf bin Abi Jamilah, seorang badui, salah seorang pemimpin suku yang terpercaya. Juga diriwayatkan oleh Baihaqi dari hadits an- Nadhar bin syamil bin Auf.
Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dia berkata, Rasulullah saw. bersabda,
م أنيتها فكريت كرنا ما كرنت – فرفعه الله إلى أنظر إليه ما سألوني عن علي أَنْبَأْتُهُمْ بِهِ، وَقَدْ رَأَيْتَنِي فِي جَمَاعَةٍ مِنَ الآن وَإِذَا مُوسَى قَائِمٌ يُصَلِّي، وَإِذَا هُوَ رَجُلٌ عَن كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالٍ شَنُونَةٍ، وَإِذَا عِيسَى بن مريم قائم يُصلِّي أَقْرَبُ النَّاسِ شَبَهَا بِهِ عُرْوَةَ مِن مَسْعُود الثقفي، وَإِذَا إِبْرَاهِيمُ قَائِمٌ يُصَلِّي أَقْرَبُ النَّاسِ شَبَهَا بِهِ صَاحِبُكُمْ – يَعْنِي نَفْسَهُ فَحَانَتِ الصَّلَاةُ فَأَمَمْتُهُمْ, فَلَمَّا فَرَغْتُ قَالَ قَائِلٌ: يَا مُحَمَّدُ هَذَا مَالِكُ خَازِنُ جَهَنَّمَ, فَالْتَقَتْ إِلَيْهِ .فَبَدَأَنِي بالسلام
“Ketika aku berada di Hijir, orang-orang Quraisy menanyakan tentang Isra”. Mereka menanyakan tentang berbagai hal yang berhubungan dengan Baitul Maqdis yang tidak aku ketahui. Maka, aku merasakan kesulitan yang belum pernah kualami. Tiba-tiba, Allah menanyakannya kepadaku sehingga aku dapat melihatnya. Tidak ada satupun yang mereka tanyakan yang tidak dapat terjawab. Aku juga eringat ketika berada di tengah-tengah para abi. Tiba-tiba, aku melihat Musa tengah sha- t. Dia tampak gagah perkasa seperti orang- orang Bani Syanu’ah. Aku pun melihat Isa Maryam sedang shalat. Dia sangat mirip agan Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi. Juga aku lihat Ibrahim tengah shalat. Dia sangat mi- dengan sahabatmu (maksudnya dengan Na- Muhammad saw sendiri) ketika waktu shalat aku mengimami mereka. Setelah shalat ai, ada yang berkata, ‘Hai Muhammad, ini h malaikat penjaga Jahanam. Kemudian,aku menoleh kepadanya, lalu dia mendaคนในดิน dengan mengucapkan salam.” (HR. Muslim)
PEMBAHASAN
Jika hadits-hadits tersebut dipahami. maka tercapailah kesepakatan tentang Isra Rasulullah saw dari Mekah ke Baitul Maqdis, walaupun ungkapan secara berbeda- beda. Barangsiapa yang menetapkan setiap riwayat secara berbeda dengan tajam dari riwayat lain, lalu dia menetapkan berbagai jenis Isra’, maka sesungguhnya dia telah menjauh, menyimpang, dan lari ke tempat yang salah sehingga tujuan pun tidak tercapai
Sebagian kaum Mutaakhirin menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah berisraa’ dari Mekah ke Baitul Maqdis saja, di lain waktu dari Mekah ke langit saja, dan di lain waktu dari Mekah ke Baitul Maqdis, lalu ke langit. Mereka bergembira dengan paham ini dan merasa telah berhasil memperoleh kesimpulan yang dapat melepaskan diri dari berbagai kesulitan. Keterangan mereka itu sangatlah menyimpang. Keterangan itu tidak dikutip dari seorang ulama salaf pun. Andaikan Israa’ itu bervariasi, niscaya Nabi Muhammad saw akan memberitahukan kepada umatnya dan niscaya manusia akan mengutipnya secara berulang dan berulang.
Musa bin Uqbah meriwayatkan dari az-Zuhri, “Israa’ terjadi satu tahun sebelum hijrah.” Demikian pula menurut Urqah. As- Sa’di berkata, “Terjadi pada 16 bulan sebelum hijrah. Yang benar adalah bahwa Nabi Muhammad saw diisra’kan dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidur, dari Mekah ke Baitul Maqdis sambil menunggang Buraq. Setelah beliau tiba di pintu Masjidil Aqsha, beliau menambatkannya di dekat pintu. Kemudian, beliau masuk dan mengerjakan shalat tahiyatul masjid dua rakaat.
Kemudian, di sajikanlah sebuah tempat seperti tangga yang bertitian untuk naik. Nabi Muhammad saw menitinya dan naik ke langit dunia, kemudian ke langit lainnya yang berjumlah tujuh buah, Pada setiap langit, beliau dengan para penghuninya dan mengucapkan salam kepada nabi yang berada di berbagai langit selaras dengan kedudukan dan derajat mereka hingga beliau bertemu dengan Musa al-Kalim di langit keenam dan Ibrahim di langit ketujuh. Kemudian, nabi melampaui kedudukan kedua nabi itu dan para nabi lainnya hingga beliau tiba di Mustawa dan dapat mendengar berderitnya pena pencatat takdir yang akan terjadi. Beliau melihat Sidratul Muntaha dan tertutup-atas perintah Allah Ta’ala–dengan kemuliaan yang besar berupa tirai emas dan dengan aneka warna. Para malaikat yang menutupnya. Di sana, beliau melihat sosok Jibril yang memiliki 600 sayap Beliau melihat Rafraf hijau yang menutupi ufuk. Beliau juga melihat Baitul Ma’mur, sedang Ibrahim, pendiri Ka’bah pumi, tengah bersandar ke sana. Baitul Ma’mur merupakan Ka’bah langit. Setiap hari, mpat itu dimasuki 70.000 malaikat dan mereka tidak kembali lagi dari sana hingga ri Kiamat. Beliau melihat surga dan ne- a. Allah memfardukan shalat lima puluh di sana. Kemudian, Dia meringankan- menjadi lima kali sebagai tanda kasih sayang-Nya dan kelembutan kepada hamba-Nya. Pemberlakuan kewajiban shalat di sana menunjukkan bahwa betapa shalat sangat penting, mulia, dan agung
Kemudian, Nabi Muhammad saw turun ke Baitul Maqdis dan turun pula para nabi bersamanya. Dia shalat bersama mereka ketika tiba waktunya. Di antara ulama, ada yang berpendapat bahwa beliau mengimami mereka di langit. Namun, menurut penjelasan beberapa riwayat hal itu terjadi di Baitul Maqdis. Sebagian riwayat juga mengatakan bahwa shalat itu terjadi saat beliau pertama kali memasukinya
Yang jelas bahwa shalat itu dilakukan setelah dia kembali ke Masjidil Aqsha, sebab tatkala dia melintasi mereka pada tempat masing-masing, mereka bertanya kepada Jibril siapa yang menyertainya, dan Jibril memberitahukan siapa dia. Inilah pendapat yang relevan karena tujuan utama menghadap Zat Yang Mahatinggi ialah untuk menerima kewajiban shalat baginya dan umatnya sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah beliau menerimanya, maka Nabi Muhammad saw berkumpul dengan saudara- saudaranya dari kalangan para nabi. Kemudian, Allah menonjolkan kemuliaan dan keutamaannya atas nabi lain dengan menjadikannya sebagai shalat melalui isyarat yang diberikan Jibril. Kemudian, Nabi Muhammad saw keluar dari Baitul Maqdis, lalu menunggangi Buraq dan pulang ke Mekah pada akhir malam. Allah Maha Mengetahui tentang hal itu.
Kemudian, khalayak berikhtilaf, apakah Isra’ itu berikut tubuh dan rohnya atau ruhnya saja? Mengenai hal ini ada dua pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa Israa’ itu berikut badan dan rohnya, dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidur. Mereka tidak menolak jika sebelum itu Rasulullah memimpikan hal itu, setelah
melihatnya dengan sadar, sebab bermimpi melainkan mum pert falak di waktu subuh Kemudian, terjadilah Israa dalam keadaan sadar dan nyata. Yang landasan pendapat itu ialah fir Allah Ta’ala, “Maha Suci Zat Yang telah jadikan hamba-Nya pada malam hari Magadhi Apsha yang telah Kami berkati se “Ungkapan tasbih hanya diguna- Lan ketika menghadapi perkara yang hebat. Dengan demikian, jika Israa terjadi dalam mimpi, berarti ia bukan perkara yang besar dan tidak dianggap besar. Tatkala kaum kafir Quraisy mendustakannya dengan cepat, sebagian orang muslim menjadi murtad
Selain itu, hamba berarti terdiri dari kesatuan antara ruh dan jasad, maka ini pun menunjukkan besarnya perkara Israa. Allah Ta’ala berfirman, “Memperjalankan hamba-Nya pada malam hari. Lalu, Firman Allah Ta’ala pada surah al-Israa ayat 60. “Dan tidaklah Kami menjadikan mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu, melainkan merupakan ujian bagi manusia,” ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, yaitu melihat dengan mata yang diperlihatkan kepada Rasulullah pada malam Isra”. Demikian diriwayatkan Bukhari.
Firman Allah Ta’ala, “Penglihatannya tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak melampauinya.” (an-Najm: 17) Mata merupakan perangkat fisik, bukan mentalistik. Ayat ini pun ditafsirkan kepada Buraq, yaitu binatang tunggangan yang putih berkilau dan memiliki dua mata. Melihat hanya berlaku bagi tubuh, tidak bagi ruh sebab roh tidak memerlukan tunggangan ketika bergerak. Wallahu a’lam.
Al-Hafizh Abu Nu’aim al-Asfahani me- riwayatkan keterangan dalam buku Dalailun Nubuwwah dari jalur Muhammad bin Umar al-Waqidi, dari Muhammad bin Ka’ab al-Qardhi. Ringkasannya demikian, “Tatkala Heraklius memanggil Abu Sufyan dan menanyakan kepadanya tentang Rasulullah. maka Abu Sufyan berusaha menjawab dengan nada menghina beliau. Dia berkata, ‘Wahai paduka, maukah aku ceritakan kepada engkau sebuah kisah sehingga engkau mengetahui bahwa Muhammad telah berdusta? Heraklius berkata. “Cerita apakah itu? Abu Sufyan berkata, ‘Dia mengatakan bahwa dirinya telah pergi ke negeri Kami, negeri Haram, dalam satu malam, lalu tiba di masjid páduka, yaitu Masjid Iliya (Baitul Maqdis) ini. Dan pulang kepada Kami pada malam itu juga sebelum subuh.”
Abu Nu’aim berkata, “Saat itu, Patrik Elia berada di sisi Kaisar. Patrick Elia berkata, ‘Aku tahu malam yang dimaksud ftu.” Perawi berkata, “Kemudian, Kaisar melirik patrick dan berkata, ‘Apa yang kamu ketahui mengenai hal ini? Patrik menjawab, ‘Sesungguhnya, aku tidak bisa pergi tidur sebelum mengunci semua pintu masjid. Pada malam itu pun aku mengunci semua pintu, kecuali satu. Aku tidak mampu menutupnya. Maka, aku pun meminta bantuan kepada para pekerja dan orang-orang yang ada di sana. Namun, Kami tidak mampu menggerakkannya. Seolah-olah pintu itu di- himpit oleh sebuah gunung. Kemudian, aku memanggil sejumlah tukang kayu. Mereka memeriksakannya, lalu berkata, ‘Pintu ini terhimpit kusen atas (ambang) dan ba- ngunan masjid. Kami tidak sanggup mem betulkannya, kecuali siang hingga Kami mengetahui sumber himpitannya.”
Patrick melanjutkan, “Kemudian, aku pergi dan membiarkan dua daun pintu itu terbuka. Ketika pagi tiba, aku pergi untuk memeriksanya, ternyata batu yang berada di sudut masjid itu berlubang dan aku menemukan bekas tambatan binatang. Lalu, aku berkata kepada sahabatku, Tidaklah pintu itu macet di malam tersebut, melainkan karena seorang nabi yang shalat pada malam itu di masjid kita.” Abu Nu’aim menceritakan lanjutan hadits ini.
Al-Hafizh Abu al-Khathab Umar bin Dahyah berkata, “Banyak riwayat hadits tentang Isra yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab, Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Dzar Malik bin Sha’sha’ah, Abu Hurairah, Abu Said, Ibnu Abbas, Syaddad bin Aus, Ubay bin Ka’ab, Abdurrahman bin Qurth, Abu Hub- bah al-Ansari, Abu Laila al-Ansari, Abdullah bin Umar, Janir, Hudzaifah, Buraidah, Abi Ayub, Abi Umamah, Samurah bin Jundub, Abu al-Hamra, Suhaib ar-Rumi, Ummu Ha- ni, Aisyah, dan Asma binti Abu Bakar ash- Shiddiq. Keberadaan hadits mengenai Isra’ disepakati oleh kaum muslim. Adapun kaum zindiq dan ateis berpaling darinya. ‘Mereka bermaksud hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulutnya, tetapi Allah menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir membencinya,”