Kewenangan khusus wali mujbir menurut Madzhab Asy-Syafi’i
Mereka mengatakan bahwa wali mujbir memiliki kewenangan khusus untuk menikahkan anak perempuan yang masih kecil dan orang gila baik wang masih kecil maupun yangsudah dewasa ,dan juga gadis berakal tanpa meminta izin dan ridha , dengan tujuh syarat
Pertama tidak ada permusuhan yang nyata antara dia dengan yang dinikahkannya . Adapun jika terjadi permusuhan yang tidak nyata, maka permusuhan ini tidak menggugurkan haknya
Kedua antara wanita yang dinikahkan dengan suami tidak terjadi permusuhan selamanya secara nyata maupun tidak nyata dan diketahui penduduk setempat. Jika wali njber menikahkannya dengan laki-laki yang tidak disukainya atau laki-laki yang berniat buruk kepadanya maka pernikahannya tidak sah
Ketiga: suami harus sepadan.
Keempat suami harus memiliki kelapangan ekonomi dan mampu membayar mahar.
Empat syarat ini harus terpenuhi terkait sahnya akad nikah. Jika ada akad nikah yang tidak memenuhi satu syarat dari empat syarat ini, maka akad nikah tersebut batil jika istri tidak mengizinkan dan tidak pula meridhoinya.
Kelima: harus menikahkannya dengan mahar yang setara.
Keenam: mahar harus dinilai dengan nilai mata uang dalam negeri.
Ketujuh: harus dibayar tunai
Tiga syarat terakhir ini merupakan syarat dibolehkannya wali mujbir melangsungkan akad nikah. Dengan demikian, wali mujbir sama sekali tidak boleh melangsungkan akad nikah kecuali jika telah terpenuhi syarat- syarat ini. Jika dia tetap melaksanakan (tanpa memenuhi syarat-syarat ini), maka dia berdosa namun akad nikah tetap sah. Dengan ketentuan, bahwa persyaratan mahar dibayar tunai dan harus dinilai dengan mata
pernikahan uang dalam negeri dan terikat dengan ketentuan bahwa itu jika kebiasaan berlaku tidak menyegerakan mahar atau dilakukan dengan mahar yang tidak dinilai dengan mata uang dalam negeri, seperti pernikahan dengan mahar berupa barang dagangan lika kebiasaan itu berlaku padanya, maka itu boleh. Dengan demikian, begitu syarat-syarat di atas terpenuhi, maka bapak atau kakek boleh memaksa gadis baik masih kecil maupun sudah dewasa, berakal ataupun gila. Akan tetapi dianjurkan agar dia meminta izin kepadanya untuk melapangkan hatinya jika dia sudah baligh -meskipun wanita itu dalam keadaan mabuk- karena mabuk tidak melepaskannya dari pembebanan syariat Ins merupakan kekhususan wali mujbir.
Adapun wali ghairu mujbir yaitu selain bapak dan kakek dari kalangan ashabah, perwalian lantaran memerdekakan, dan penguasa- maka dia tidak boleh menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya kecuali dengan izin dan ridhonya. Jika dia gadis baligh, maka ridhonya diketahui melalui sikap diamnya pada saat dimintai izin selama tidak ada indikasi lain yang menunjukkan ketidak ridha nya, seperti teriakan, tamparan, dan semacamnya. Sedangkan terkait maharnya, jika di bawah mahar setara atau bukan dengan nilai mata uang dalam negeri, maka untuk meridhainya harus dinyatakan dengan jelas. Inilah pendapat yang kuat.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa jika itu adalah wali ghairu mujbir, maka diamnya gadis saja tidak cukup, akan tetapi harus ada pernyataan yang jelas untuk mengungkapkan keridhaannya terhadap pernikahan dan mahar. Sedangkan janda, dia juga harus menyatakan keridhaannya dengan jelas, baik yang menikahkannya adalah bapak mujbir maupun yang lainnya, tanpa perbedaan pendapat.
Janda adalah wanita yang telah hilang selaput keperawanannya lantaran persetubuhan yang halal maupun yang haram meskipun yang menyetubuhinya kera. Adapun wanita yang kehilangan selaput keperawanannya lantaran faktor lain, seperti sakit atau cedera, maka dia tetap dinyatakan sebagai perawan, sebagaimana wanita yang kehilangan selaput keperawanannya lantaran disetubuhi pada bagian dubur (anus). Ketentuan ini berlaku jika dia adalah wanita dewasa yang berakal. Adapun jika dia wanita yang masih kecil berakal, maka selain bapak dan kakek
tidak boleh menikahinya dalam kondisi apapun, karena pernikahannya bergantung pada izin dan ridhonya. Wanita yang masih kecil tidak dianggap izinnya, maka dia tidak dapat dinikahkan kecuali jika telah baligh.
Jika wanita yang masih kecil itu yatim tanpa bapak dan dia gila, maka perwaliannya terkait harta dan pernikahan beralih kepada hakim, akan tetapi hakim tidak boleh menikahinya kecuali dengan dua syarat:
Pertama: wanita tersebut sudah baligh, karena dia tidak membutuhkan pernikahan sebelum baligh.
Kedua: setelah baligh dia membutuhkan nafkah atau pelayanan dan kebutuhannya tersebut tidak terpenuhi dengan selain pernikahan
Bahasan tentang perwalian
- Madzhab Maliki, Asy-Syafii, dan Hambali menyepakati urgensi adanya wali dalam pernikahan. Oleh karena itu, setiap pernikahan yang terjadi tanpa wali atau orang yang mewakilinya, maka pernikahan ini batil. Maka, wanita tidak boleh melangsungkan akad nikahnya dalam keadaan apapun baik dia sudah dewasa maupun masih kecil, berakal maupun gila tanpa wali. Hanya saja jika dia janda maka pernikahannya tidak layak izin dan ridhonya . Madzhab Hanafi tidak sependapat dengan mereka dan mengatakan keberadaan wali penting bagi anak perempuan yang masih kecil dan wanita dewasa yang gila. Adapun wanita baligh yang berakal, baik t perawan maupun janda, maka dia berhak untuk menikahkan dirinya sendiri dengan orang yang dikehendakinya. Jika suaminya sepadan, maka demikianlah selayaknya. Jika tidak sepadan, maka walinya dapat menolak dan menggugurkan pernikahan.
- Kalangan yang menyatakan urgensi wali sepakat bahwa wali terbagi dalam dua kategori, wali mujbir dan wali ghairu mujbir. Madzhab Asy-Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa wali mujbir adalah bapak dan kakek. Mazhab Maliki tidak sependapat dan mengatakan; wali mujbir adalah bapak saja. Namun madzhab Maliki sepakat dengan madzhab Hambali terkait bahwa orang yang mendapat wasiat bapak untuk melaksanakan pernikahan dinyatakan mujbir (dapat memutuskan secara sepihak) seperti bapak. Berbeda dengan madzhab Asy-Syafi’i yang tidak menyebutkan tentang orang yang mendapat wasiat bapak. Madzhab Hambali menambahkan bahwa hakim dapat berstatus sebagai mujbir saat diperlukan.
- Kalangan yang menyatakan status mujbir sepakat bahwa wali mujbir berhak memaksa gadis baligh untuk dinikahkan tanpa izin dan ridhonya. Akan tetapi mereka berselisih pendapat terkait syarat-syarat sah pernikahan wanita yang dipaksa oleh wali mujbir tanpa izinnya, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bahasan terdahulu.
- Mereka juga sepakat bahwa janda -yaitu wanita yang telah kehilangan keperawanannya lantaran pernikahan- tidak dapat dipaksa. akan tetapi wali berhak untuk melangsungkan akad nikahnya. Jika janda melangsungkan akad nikahnya sendiri tanpa wali, maka akad nikahnya batil. Dengan demikian, wali dan wanita janda memiliki kesetaraan terkait akad nikah. Janda berhak untuk meridhoi pernikahan secara terbuka, dan wali berhak untuk melangsungkan akad nikah. Ini jika janda tersebut sudah dewasa dan baligh. Adapun jika dia sebagai janda yang masih kecil, maka dia dikategorikan sebagai gadis yang baligh yang dapat dinikahkan oleh wali mujbir tanpa izin dan ridhonya selama dia belum baligh. Mazhab Hambali tidak sependapat dan mengatakan, janda yang masih kecil dan yang dapat dipaksa adalah yang berusia di bawah sembilan tahun. Jika sudah berusia sembilan tahun, maka dia dinyatakan sebagai wanita dewasa yang tidak dapat dipaksa.
Madzhab Maliki, Asy-Syafi’i, dan Hambali sepakat bahwa wali ghairu mujbir, meskipun akad nikah bergantung kepadanya, dia tidak berhak melangsungkan akad nikah tanpa izin dan ridha secara jelas dari wanita yang berada di bawah perwaliannya jika dia janda, atau secara tersirat jika dia baligh. Ini terkait wanita dewasa. Adapun wanita yang masih kecil, maka mereka sepakat bahwa jika dia di bawah usia sembilan tahun maka wali ghairu mujbir tidak boleh menikahinya dalam keadaan apa pun.
Kemudian mereka berselisih pendapat setelah itu. Madzhab Maliki mengatakan, jika dia telah berusia sepuluh tahun namun dikhawatirkan akan mengalami kerusakan moral jika tidak menikah, maka wali boleh menikahkannya dengan izinnya. Apakah harus mendapatkan keridhaannya secara jelas atau cukup melalui sikap diamnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, dan yang paling kuat dari keduanya adalah yang menyatakan cukup melalui sikap diamnya, akan tetapi wali wajib bermusyawarah dengan hakim.
Sebagian dari mereka memperkuat pendapat yang menyatakan bahwa jika dikhawatirkan dia akan mengalami kerusakan moral jika tidak dinikahkan, maka tidak perlu disyaratkan harus sudah berusia sepuluh tahun, akan tetapi dia dapat dinikahkan secara sepihak meskipun dia tidak ridha, sebagaimana yang dijelaskan terdahulu
Madzhab Asy-Syafi’i mengatakan bahwa wali tidak boleh menikahkan wanita yang masih kecil yang belum baligh, kecuali jika yang menjadi wali adalah bapak atau kakek. Jika keduanya sudah tidak ada atau meninggalkannya, maka tidak boleh seorang pun menikahinya dalam kondisi apapun, baik dia janda maupun gadis selama dia berakal, karena wali ghairu mujbir hanya dapat menikahkan wanita yang masih kecil dengan izinnya, sementara anak kecil belum layak dimintai izin. Adapun jika dia gila, maka hakim boleh menikahkannya jika dia sudah baligh dan membutuhkan.
mazhab Hambali mengatakan, jika wanita yang masih kecil itu m berusia sembilan tahun maka dia dikategorikan sebagai wanita dewa yang berakal. Dengan demikian wali ghairu mujbir dapat menikahkannya dengan izin dan ridhonya. Jika dia belum berusia sembilan tahun, maka hakim boleh menikahkannya bila diperlukan.
- Madzhab Asy-Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa walimu yang paling berhak adalah bapak kemudian kakek. Mazhab Maliki tidak sependapat dan mengatakan, yang paling berhak di antara mereka dula perwalian adalah anak laki-laki meskipun dari perbuatan zina. Dalam ars bahwa jika wanita menikah dengan akad yang sah, lantas menjadi janda kemudian dia berzina dan melahirkan anak laki-laki, maka anak laki lakinya ini lebih didahulukan daripada bapak dan kakek. Adapun jika perbuatan zina dilakukan sebelum menikah dengan akad yang sah dan dia melahirkan dari perbuatan zina ini, maka anaknya tidak didahulukan atas bapak dalam kondisi ini, karena zina menurut mereka tidak menghilangkan keperawanan (secara hukum). Dengan demikian bapak dapat menjadi wali mujbir. Demikian pula penjelasannya terkait wali ghairu mujbir. Madzhab Hanafi sepakat dengan mereka terkait bahwa wali yang paling berhak dalam pernikahan adalah anak laki-laki. Madzhab Asy-Syafi’i dan Hambali tidak sependapat dengan mereka dan mengatakan; wali yang paling berhak adalah bapak kemudian kakek. Akan tetapi madzhab Hambali mengatakan; anak laki-laki lebih didahulukan daripada kakek dalam perwalian. Dan madzhab Asy-Syafi’i mengatakan, tidak ada perwalian bagi anak laki-laki terhadap ibunya.secara mutlak.
- Madzhab Asy-Syafi’i, Hambali, dan Hanafi sepakat bahwasanya wali jauh atau hakim tidak selayaknya melangsungkan akad nikah jika ada wali dekat yang memenuhi syarat-syaratnya. Mazhab Maliki tidak sependapat dan mengatakan, urutan diantara wali-wali merupakan anjuran bukan kewajiban. Jika seorang wanita memiliki bapak dan anak laki-laki, lantas bapaknya menikahkannya. maka pernikahannya sah meskipun tingkatannya dalam perwalian di bawah tingkatan anak laki-laki. Demikian pula jika dia memiliki saudara laki-laki kandung dan saudara laki-laki tiri sebapak, lantas saudara laki- laki tiri menikahinya padahal ada saudara laki-laki kandung, maka pernikahannya sah. Jika wanita tidak ridha terhadap kehadiran seorang kerabatnya, lantas hakim menikahinya, maka pernikahannya sah, karena hakim termasuk wali. Jika dia mewakilkan kepada seorang di antara individu-individu kaum muslimin menurut ketentuan perwalian umum padahal ada seorang wali, maka pernikahannya sah jika dia berasal dari kalangan bawah. Jika bukan dari kalangan bawah, maka tidak sah. Ini semua terkait wali ghairu mujbir. Adapun wali mujbir, maka keberadaannya adalah sangat diperlukan menurut mereka.
- Madzhab Asy-Syafi’i, Maliki, dan Hambali sepakat bahwa perwalian dalam pernikahan dikenai syarat harus dilaksanakan oleh laki- laki. Dengan demikian, perwalian perempuan tidak sah dalam kondisi apapun.
Madzhab Hanafi tidak sependapat dengan mereka dan mengatakan, wanita memiliki hak perwalian terkait pernikahan anak laki-laki dan perempuan serta orang dewasa yang dikategorikan seperti keduanya secara hukum jika keduanya mengalami kegilaan saat tidak ada wali dari kalangan laki-laki.
Akan tetapi madzhab Maliki mengatakan; perempuan dapat dinyatakan memiliki hak perwalian jika dia mendapat wasiat, statusnya sebagai pemilik, atau orang yang memerdekakan budak. Pendapat yang lain menyatakan bahwa wanita pengasuh adalah wali juga, akan tetapi dia tidak dapat melangsungkan akad nikah, tapi dia dapat mewakilkan dirinya kepada laki-laki untuk melangsungkan akad nikah.
- Mereka sepakat bahwa kefasikan menghalangi perwalian dalam nikah. Dengan demikian, siapa yang menjadi orang fasik, maka perwaliannya beralih darinya kepada orang lain.
Madzhab Hanafi tidak sependapat dengan mereka dan mengatakan: yang menghalangi perwalian adalah bila wali dikenal buruk dalam menentukan pilihan, yaitu menikahkan dengan orang yang tidak sepadan dan dengan ketidaktahuan yang sangat mencolok. Dalam kondisi ini anak perempuan yang masih kecil berhak untuk menolak pernikahan setelah dewasa meskipun yang menikahkan adalah bapak. Adapun jika wali seorang yang fasik namun dapat menentukan pilihan dengan baik, dan dia menikahkan anak perempuannya yang masih kecil tanpa pertimbangan orang lain namun dengan mahar setara, dan dia itu bapak atau kakek, maka akad nikahnya sah, dan anak yang dinikahkannya tidak berhak untuk menggugurkan akad nikah, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bahasan terdahulu.
- Mereka sepakat bahwasanya tidak ada syarat yang menyatakan bahwa wali harus adil. Namun madzhab Hanafi tidak sependapat dengan mereka dan mengatakan, adil secara lahir merupakan syarat terkait Perwalian kecuali pada penguasa dan tuan (bagi budaknya).
- Mereka sepakat bahwa wali berhak mewakilkan dirinya kepada orang yang menggantikan posisinya dalam akad nikah.
MANTAP