Opini

PERLINDUNGAN HUKUM ANAK DAN ISTRI

Oleh : Dian Rahmat N, M.Ag

PERLINDUNGAN HUKUM ANAK DAN ISTRI

 

  1.  Pengertian Perlindungan Hukum

Kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang biasa bertentangan antara satu sama lain. Maka dari itu, hukum harus bisa mengintegrasikannya sehingga benturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan seminimal mungkin.

Istilah “hukum” dalam bahasa Inggris dapat disebut sebagai law atau legal. Dalam subbab ini akan dibahas pengertian hukum ditinjau dari sisi terminologi kebahasaan yang merujuk pada pengertian dalam beberapa kamus serta pengertian hukum yang merujuk pada beberapa pendapat ataupun teori yang disampaikan oleh pakar. Pembahasan mengenai hukum disini tidak bermaksud untuk membuat suatu batasan yang pasti mengenai arti hukum karena menurut Immanuel Kant pengertian atau arti hukum adalah hal yang masih sulit dicari karena luasnya ruang lingkup dan berbagai macam bidang yang dijadikan sumber ditemukannya hukum.

Pengertian terminologi hukum dalam Bahasa Indonesia menurut KBBI adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa ataupun pemerintah, undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, patokan atau kaidah tentang peristiwa alam tertentu, keputusan atau pertimbangan yang ditetapkan oleh hakim dalam pengadilan, atau vonis.

Pendapat mengenai pengertian untuk memahami arti hukum yang dinyatakan oleh R. Soeroso, S.H. bahwa hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaedah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga atau institusi dalam proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.

Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto S.H. hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badanbadan resmi yang berwajib.

Menurut Soedjono Dirdjosisworo bahwa pengertian hukum dapat dilihat dari delapan arti1, yaitu hukum dalam arti penguasa, hukum dalam arti para petugas, hukum dalam arti sikap tindakan, hukum dalam arti sistem kaidah, hukum dalam arti jalinan nilai, hukum dalam arti tata hukum, hukum dalam arti ilmu hukum, hukum dalam arti disiplin hukum. Beberapa arti hukum dari berbagai macam sudut pandang yang dikemukakan oleh Soedjono Dirdjosisworo menggambarkan bahwa hukum tidak semata-mata peraturan perundang-undangan tertulis dan aparat penegak hukum seperti  yang selama ini dipahami oleh

masyarakat umum yang tidak tahu tentang hukum. Tetapi hukum juga meliputi hal-hal yang sebenarnya sudah hidup dalam pergaulan masyarakat.[1]

Dalam hal memahami hukum ada konsep konstruksi hukum. Terdapat tiga jenis atau tiga macam konstruksi hukum yaitu, pertama, konstruksi hukum dengan cara memperlawankan. Maksudnya adalah menafsirkan hukum antara aturan-aturan dalam peraturan perundang-undangan dengan kasus atau masalah yang dihadapi. Kedua, konstruksi hukum yang mempersempit adalah membatasi proses penafsiran hukum yang ada di peraturan perundangundangan dengan keadaan yang sebenarnya. Ketiga, konstruksi hukum yang memperluas yaitu konstruksi yang menafsirkan hukum dengan cara memperluas makna yang dihadapi sehingga suatu masalah dapat dijerat dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Menurut Hans Kelsen, hukum adalah ilmu pengetahuan normatif dan bukan ilmu alam.[2] Lebih lanjut Hans Kelsen menjelaskan bahwa hokum merupakan teknik sosial untuk mengatur perilaku masyarakat.[3]

Secara kebahasaan, kata perlindungan dalam bahas Inggris disebut dengan protection. Istilah perlindungan menurut KBBI dapat disamakan dengan istilah proteksi, yang artinya adalah proses atau perbuatan memperlindungi, sedangkan menurut Black’s Law Dictionary, protection adalah the act of protecting.[4]

Secara umum, perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang. Selain itu perlindungan juga mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh seseorang terhadap orang yang lebih lemah. Dengan demikian, perlindungan hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warga negaranya agar hak-haknya sebagai seorang warganegara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.[5]

Pengertian perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungi. Dalam KBBI yang dimaksud dengan perlindungan adalah cara, proses, dan perbuatan melindungi. Sedangkan hokum adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau yang data berlaku bagi semua orang dalam masyarakat (negara).

Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.[6]

Adapun pendapat yang dikutip dari beberapa ahli mengenai perlindungan hukum sebagai berikut:

  1. Menurut Satjito Rahardjo perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu Hak Asasi Manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.[7]
  2. Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.[8]
  3. Menurut Muchsin perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antara sesama manusia.[9]
  4. Menurut Hetty Hasanah perlindungan hukum yaitu merupakan segala upaya yang dapat menjamin adanya kepastian hukum, sehingga dapat memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang bersangkutan atau yang melakukan tindakan hukum.[10]

Menurut Undang-Undang   Nomor 40 tahun 1999    tentang   Pers, perlindungan  hukum  adalah  jaminan  perlindungan  pemerintah  dan  atau masyarakat kepada warganegara dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perlindungan hukum adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Sedangkan perlindungan hukum yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2002 tentang Tatacara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, perlindungan hukum adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya.
  2. Jaminan kepastian hukum.
  3. Berkaitan dengan hak-hak warganegara.
  4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.

Esensi perlindungan hukum terhadap penanam modal adalah suatu perlindungan yang memberikan jaminan bagi seorang penanam modal , bahwa ia akan dapat menanamkan modalnya dengan situasi yang fair terhadap para pihak yang terkait dengan hukum, masyarakat, dan pihak-pihak lainnya, terutama dalam hal mendapatkan akses informasi mengenai situasi pasar, situasi politik dan masyarakat, asset yang dikelola oleh penanam modal, peraturan perundang-undangan, dan lain sebagainya.

  1. Bentuk Perlindungan Hukum

Menurut R. La Porta dalam Jurnal of Financial Economics, bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh suatu negara memiliki dua sifat, yaitu bersifat pencegahan (prohibited) dan bersifat hukuman (sanction).[11] Bentuk perlindungan hukum yang paling nyata adalah adanya institusi-institusi penegak hukum seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan lembaga-lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi) lainnya. Hal ini sejalan dengan pengertian hukum menurut Soedjono Dirdjosisworo yang menyatakan bahwa hukum memiliki pengertian beragam dalam masyarakat dan salah satunya yang paling nyata dari pengertian tentang hukum adalah adanya institusi-institusi penegak hukum.

Perlindungan hukum sangat erat kaitannya dengan aspek keadilan. Menurut Soedirman Kartohadiprodjo, pada hakikatnya tujuan hukum adalah mencapai keadilan. Maka dari itu, adanya perlindungan hukum merupakan salah satu medium untuk menegakkan keadilan salah satunya penegakan keadilan di bidang ekonomi khususnya penanaman modal.

Penegakan hukum dalam bentuk perlindungan hukum dalam kegiatan ekonomi khususnya penanaman modal tidak bisa dilepaskan dari aspek hukum perusahaan khususnya mengenai perseroan terbatas karena perlindungan hukum dalam penanaman modal melibatkan beberapa pihak pelaku usaha turutama pihak penanam modal, direktur, komisaris, pemberi izin dan pemegang kekuasaan, serta pihak-pihak penunjang terjadinya kegiatan penanaman modal seperti notaris yang mana para pihak tersebut didominasi oleh subjek hukum berupa badan hukum berbentuk perseroan terbatas.[12]

Subjek hukum dalam hukum perdata terdapat dua subjek hukum, yaitu subjek hukum orang pribadi dan subjek hukum berupa badan hukum. Subjek hukum orang pribadi atau natuurlijkepersoon adalah orang atau manusia yang telah dianggap cakap menurut hukum. orang sebagai subjek hukum merupakan pendukung atau pembawa hak sejak dia dilahirkan hidup hingga dia mati. Walaupun ada pengecualian bahwa bayi yang masih ada di dalam kandungan ibunya dianggap telah menjadi sebagai subjek hukum sepanjang kepentingannya mendukung untuk itu.[13]

 

  1. Hak dan Kewajiban Perlindungan Hukum

Hak adalah sesuatu yang harus kita dapatkan sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus kita kerjakan. Lahirnya suatu kontrak menimbulkan suatu hubungan hukum perikatan yang mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban itulah yang menjadi akibat hokum dari suatu kontrak. Dengan kata lain, akibat hukum kontrak sebenarnya adalah pelaksanaan dari isi kontrak itu sendiri. Pasal 1339 KUHPer menyatakan bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam kontrak tersebut, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan  atau  diwajibkan  oleh  kepatutan,  kebiasaan  dan  undang-undang.

Tentang hak  dan kewajiban  para pihak dalam kontrak tertuang dalam  isi perjanjian yang disepakati kedua belah pihak.[14]

Hak dan kewajiban penanam modal asing telah ditentukan dalam pasal 10, pasal 12, pasal 14, pasal 19, pasal 26, pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kewajiban perusahaan penanam modal asing antara lain:

  1. Memenuhi kebutuhan akan tenaga kerjanya dengan warga Negara Indonesia, kecuali dalam hal yang diatur dalam pasal 11.
  2. Melakukan kerja sama antara penanam modal asing dengan penanam modal Indonesia.
  3. Mengurus dan mengendalikan perusahaannya sesuai dengan asas-asas ekonomi perusahaan dengan tidak merugikan kepentingan negara.
  4. Memberikan kesempatan partisipasi bagi modal nasional secara efektif setelah jangka waktu tertentu dan menurut pertimbangan yang ditetapkan pemerintah. Wajib menyelenggarakan dan atau menyediakan fasilitas latihan dan pendidikan di dalam dan atau di luar negeri secara teratur dan terarah bagi warga negara Indonesia. Tujuannya adalah agar berangsur-angsur tenaga kerja warga negara asing dapat digantikan oleh   tenaga   kerja   warga  negara Indonesia.[15]

Sedangkan hak penanam modal asing adalah:

  1. Pemakaian atas tanah seperti hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai.
  2. Hak untuk mendatangkan atau menggunakan tenaga pimpinan dan tenaga kerja ahli warga negara asing bagi jabatan-jabatan yang belum dapat diisi dengan tenaga kerja warga negara Indonesia.
  3. Hak transfer dalam valuasi asli dari modal atas dasar nilai tukar yang berlaku untuk:
  4. Keuntungan yang diperoleh modal sesudah dikurangi pajak dan kewajiban
    pembayaran lain di Indonesia.
  5. Biaya-biaya yang berhubungan dengan tenaga kerja asing yang dipekerjakan
    di Indonesia.
  6. Biaya-biaya lain yang ditentukan lebih lanjut.
  7. Penyusutan atas alat-alat perlengkapan tetap.
  8. Kompensasi dalam hal nasionalisasi.[16]

Selain itu, hak dan kewajiban penanam modal khususnya penanaman modal asing telah ditentukan dalam pasal 8, pasal 10, pasal 14, pasal 15, dan 34 pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Hak penanam modal asing meliputi:

  1. Mengalihkan asset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan.
  2. Melakukan transfer dan repatriasi (pengiriman) dalam valuta asing.
  3. Menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu.
  4. Mendapat kepastian hak, hukum, dan perlindungan.
  5. Mendapat informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya.
  6. Hak pelayanan.
  7. Berbagai bentuk fasilitas kemudahan.[17]

Hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal telah ditentukan dalam pasal 14, 15, dan 16 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Hak, kewajiban, dan tanggung jawab itu meliputi:

  1. Setiap penanaman modal berhak mendapatkan:
  2. Kepastian hak, hukum, dan perlindungan.
  3. Informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya.
  4. Hak pelayanan.
  5. Berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan
    perundang-undangan.
  6. Setiap penanam modal berkewajiban:
    1. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
    2. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
    3. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi penanaman Modal.
    4. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal.
    5. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
  7. Setiap penanam modal bertanggung jawab:
    1. Menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
    2. Menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    3. Menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik
      monopoli, dan hal lain yang merugikan negara.
    4. Menjaga kelestarian lingkungan hidup.
    5. Menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan
    6. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.[18]

Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan artinya bahwa penanam modal tidak hanya mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal, tetapi juga di bidang lainnya seperti bidang lingkungan hidup, kehutanan, perpajakan, pertanahan, dan lain-lain. Apabila penanam modal melanggar peraturan perundang-undangan maka dapat dikenakan sanksi berupa sanksi pidana, administratif, denda, dan perdata.

Peran kepolisian sebagai penegak hukum dituntut untuk mampu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap setiap bentuk tindak pidana, termasuk upaya pembuktian secara ilmiah dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi guna melindungi hak-hak penanaman modal.        Aktualisasi dari peran sebagai penegak hukum ini adalah:

  1. Menguasai dan mahir dalam hukum acara pidana maupun perdata sehingga mampu menghadapi setiap permasalahan hukum dengan tepat dan dapat mengatasi kasus-kasus pelanggaran hak pada tingkat pra peradilan.
  2. Menguasai teknik dan taktik penyelidikan serta penyidikan sehingga mampu membuat terang dan terungkapnya setiap tindak pidana yang terjadi.
  3. Mempunyai semangat dan tekad yang kuat untuk menjadi “Crime Hunter”dengan motto “Walaupun langit esok akan runtuh namun hukum harus tetap ditegakkan.”
  4. Mampu memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu mengungkapkan pembuktian secara ilmiah dalam kasuskasus yang terjadi.
  5. Mampu melakukan koordinasi dengan segenap instansi terkait dalam usahanya menegakan hukum menurut sistem peradilan pidana khususnya dan serta mengkoordinasikan dan mengawasi penyidik pegawai negeri sipil dalam rangka perlindungan hak-hak penanaman modal. Budaya Paternalistik masih hidup dan melekat pada sebagian besar masyarakat khususnya di kalangan masyarakat pedesaaan. hal-hal yang diucapkan oleh pimpinan formal maupun informal walaupun terkadang pernyataan itu tidak sesuai dengan hak penanam modal namun karena diucapkan oleh pimpinan kharismatik lalu dianggap sebagai suatu kebenaran atau walaupun dalam hati kecilnya menolak namun tidak berani mengungkapkan kesalahan dari ucapannya tersebut, sehingga mengurangi hak dari penanam modal yang dapat juga dinamakan kesadaran hukum yang rendah.[19]
  6. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Istri
  7. Konsep Anak dan Perlindungan Hak-Haknya di Indonesia.
  8. Pengertian Anak.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, anak adalah (a) keturunan kedua dari manusia. Pengertian anak secara umum juga dipakai untuk menyebut keturunan kedua dari manusia, binatang, tumbuhan dan benda, (2) anak sebagai manusia yang masih kecil.[20]

Menurut hukum adat Indonesia, pengertian anak digunakan untuk membedakan antara manusia yang sudah dewasa dan yang belum dewasa. Kedewasaan manusia ditandai dengan kecakapan-kecakapan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, sehingga masyarakat mengkategorikan sebagai telah dewasa, misalnya telah menikah, telah “kuat gawe” (mengerjakan pekerjaan orang yang telah dewasa, seperti bertani, bertukang, berdagang, nelayan dan sebagainya ).[21]

Menurut beberapa peraturan perundangan di Indonesia, pengertian anak berkonotasi tertentu dari batasan kelompok umur tertentu pada manusia. Dan beberapa perundangan telah memberikan kriteria anak antara lain:

  • UU Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

UU perkawinan tidak secara tegas dan langsung membedakan kreteria seseorang disebut telah dewasa dan kapan seseorang masih disebut sebagai anak, hal tersebut tersirat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) yang mengatur syarat perkawinan bagi seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun adalah harus memperoleh izin dari orang tuanya. Sedang ketentuan Pasal 7 ayat (1) mengatur tentang batasan minimum untuk dapat melakukan perkawinan bagi pria adalah usia 19 tahun, sedang bagi wanita adalah usia 16 tahun.[22]

Namun demikian ketentuan tentang syarat perkawinan tersebut berbeda dengan ketentuan seseorang dianggap cakap menurut hukum atau sah melakukan perbuatan hukum. Ketentuan Pasal 47 ayat (1) menyatakan: “Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya”. Sedang Pasal 50 ayat (1) menyatakan: ”Anak yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali”.[23] Dengan demikian UU Perkawinan membedakan antara anak dianggap dewasa yaitu berumur 21 tahun, dan anak dianggap cakap untuk bertindak hukum atau anak yang dapat dimintai pertanggung-jawaban hukum atas perbuatannya adalah umur 18 tahun atau telah kawin.

  • UU Nomor: 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Nomor: 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyatakan bahwa yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Bahwa anak adalah seseorang yang harus memperoleh hak-haknya yang dari hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara rohaniyah, jasmaniyah, maupun sosial. Batas usia  21 tahun tersebut ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan tahap kematangan mental. [24] Sehingga pada usia 21 tahun tersebut anak sudah dianggap mempunyai kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental, oleh karena disebut dewasa.

Menurut Waluyadi,[25] bahwa pembatasan tentang usia anak sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka (1) UU Nomor: 4 Tahun 1979, setidak-tidaknya dapat dicatat:

  • Anak adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin;
  • Bagi mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi sudah kawin, maka dianggap bukan anak-anak lagi;
  • Mereka yang sudah berusia 21 tahun atau yang belum berusia 21 tahun tetapi sudah kawin dianggap telah mempunyai kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental;

Batas usia yang dimaksud dapat dikesampingkan sepanjang ditentukan oleh peraturan perundangan-undangan yang bersifat khusus serta mendasarkan pada kenyataan, bahwa seseorang dianggap mampu bertanggung jawab terhadap perbuatan yang telah dilakukannya.

  • Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Menurut ketentuan Pasal 1 Konvensi hak anak PBB (The Convention on The Right of the Child ), bahwa anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Batas umur legal yang membedakan antara anak dan orang dewasa ini sangat krusial terutama bagi upaya perlindungan anak. Peraturan tersebut diratifikasi di Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor: 36 Tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990, dengan Ratifikasi itu negara Indonesia secara teknis telah dengan suka rela mengikatkan diri pada ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak PBB. Sesuai dengan Pasal 49 ayat (2), Konvensi Hak Anak telah dinyatakan berlaku di negara Republik Indonesia sejak tanggal 5 Oktober 1990.[26] Dengan demikian berdasarkan Konvensi PBB tersebut anak yang telah genap berumur 18 tahun dianggap telah dewasa, kecuali peraturan hukum di Indonesia menentukan lain bahwa anak belum berumur 18 tahun dianggap telah dewasa, misalnya karena telah kawin.

  • Kitab UU Hukum Perdata ( BW ).

Istilah anak dalam ketentuan Pasal 330 KUH Perdata[27] dikaitkan dengan penentuan arti “belum dewasa” dengan ketentuan sebagai berikut:

  • Apabila peraturan undang-undang memakai istilah “belum dewasa”, maka sekedar mengenai bangsa Indonesia, dengan istilah itu yang dimaksudkan: segala orang yang belum mencapai umur genap 21 tahun tidak lebih dahulu telah kawin.
  • Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mulai umur dua puluh dua tahun, maka tidaklah mereka kembali lagi dalam istilah “ belum dewasa”.
  • Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk “perkawinan anak-anak”.[28]

Jadi menurut Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, anak dianggap dewasa ialah jika telah genap berumur 21 tahun, atau belum berumur 21 tahun tetapi sudah pernah menikah.

  • Kompilasi Hukum Islam.

Pengertian anak dalam Kompilasi Hukum Islam[29] dikaitkan dengan batasan anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa dimana tidak memerlukan pemeliharaan lagi dari orang tuanya, hal tersebut diatur dalam Bab XIV tentang Pemeliharaan Anak, Pasal 98 ayat (1) menyatakan: ”Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,[30] sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”. Batasan seorang anak harus berada dibawah perwalian, jika mereka tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya tidak mampu memeliharanya, atau batasan seorang anak yang tidak lagi membutuhkan perwalian karena telah mampu bertindak hukum sendiri, yaitu dalam usia 21 tahun. Hal tersebut diatur dalam Bab XV tentang Perwalian, Pasal 107 ayat (1) menyatakan: ”Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan”. Serta kemampuan seorang anak untuk bertindak hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 111 ayat (1) yang menyatakan: ”Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada dibawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin”.

Menurut Jurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 601 K/Sip/1976 tanggal  18 Nopember 1978, di wilayah hukum DKI Jakarta anak dianggap telah dewasa pada umur 20 tahun.

Penentuan batasan dewasa bagi anak menjadi umur 18 tahun juga merupakan hasil rumusan Kamar Perdata Mahkamah Agung RI pada tanggal 14 sampai dengan 16 Maret 2011, Point. XI yang telah ditetapkan menjadi Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor: 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung RI sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, yang menyatakan: ”Dewasa adalah cakap bertindak didalam hukum yaitu orang yang telah mencapai umur 18 tahun atau telah kawin”.

  1. Hak-Hak Anak dan Perlindungannya Di Indonesia.

Anak merupakan amanah sekaligus sebagai karunia dari Allah SWT., terhadap sebuah pasangan suami istri yang terdiri dari seorang ayah dan seorang ibu. Seorang lelaki dewasa dan telah menikah belum dapat dikatakan sempurna sebagai ayah, apabila ia belum mempunyai keturunan. Demikian pula bagi seorang perempuan dewasa dan telah menikah, ia belum dapat dikatakan sempurna sebagai seorang ibu apabila ia belum pernah melahirkan anak yang dia kandungnya sendiri.

Menurut Andi Syamsu Alam, [31]Anak sebagai amanah dari Allah SWT. harus senantiasa dijaga dan dilindungi, karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak dan sekaligus merupakan potret masa depan bangsa dimasa datang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan lainnya.

Dalam ketentuan Pasal 28 B ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) UU Dasar 1945 dinyatakan: ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dan “ Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.

Bahwa ketentuan tersebut memberi  makna khusus terhadap pengertian dan status anak dalam bidang politik ketatanegaraan dengan lebih memfokuskan pada hak-hak anak yang harus diperoleh dari masyarakat, bangsa dan negara melalui kewenangan pertanggung-jawaban pemerintah terhadap masalah-masalah sosial, politis  dan yuridis yang ada pada anak. Esensi dasar kedudukan anak dalam Undang-Undang Dasar Negara 1945 adalah, anak sebagai subyek hukum dari sistem hukum nasional, harus dilindungi, dipelihara, dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak.

UU Nomor: 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah menegaskan tentang hak-hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung-jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak dalam segala aspeknya, hal mana upaya tersebut merupakan bagian dari upaya pembangunan nasional, untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung-jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum kepadanya. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung-jawab untuk menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.

UU Nomor: 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU Nomor: 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah menegaskan bahwa pertanggung-jawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara, merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan nantinya sebagai penerus bangsa.

Menurut Rika Saraswati,[32] upaya perlindungan terhadap anak perlu dilakukan sedini mungkin, yaitu sejak dari janin didalam kandungan sampai anak berusia 18 tahun. Bertitik tolak dari konsep perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan konperehensif, maka undang-undang meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan azas-azas:

  • Azas non diskriminasi.

Azas nondiskriminasi adalah azas yang tidak membedakan, membatasi, atau mengucilkan anak, baik secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan agama, suku, ras, status sosial, status ekonomi, budaya, maupun jenis kelamin yang dapat mempengaruhi pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak.

  • Azas kepentingan yang terbaik bagi anak.

Azas demi kepentingan terbaik bagi anak adalah azas yang menekankan bahwa dalam semua tindakan yang berkaitan dengan anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, ataupun badan legislatif dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.

  • Azas hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan.

Azas yang mendasarkan pada hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah azas yang menekankan bahwa setiap anak mempunyai hak untuk hidup dengan aman, tenteram, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin, serta berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak, dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak, yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang memiliki kewajiban dan tanggung-jawab untuk itu, yaitu orang tua, masyarakat dan pemerintah.

  • Azas penghargaan terhadap pandangan/pendapat anak.

Azas penghargaan terhadap pandangan/pendapat anak adalah azas yang memberikan hak kepada anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang memengaruhi anak, meliputi :(a) Hak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya; (b) hak untuk mendapat dan mengetahui informasi serta mengepresikannya; (c) Hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan (d) Hak untuk memperoleh informasi yang layak dan terlindungi dari informasi yang tidak sehat.

 

UU Nomor: 23 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memberikan konsideran, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Negara wajib memberikan perlindungan hukum terhadap anak terhadap segala tindakan kekerasan dalam lingkup rumah tangga, termasuk penelantaran terhadap orang yang menjadi tanggung jawabnya, yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh orang yang berasal dari orang tua anak atau orang-orang yang berada di sekitar anak, misalnya saudara, keluarga, pembantu rumah tangga dan sebagainya.

Ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor: 23 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyatakan: ”Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau karena perjanjian, ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.”[33]

Secara Etimologi kata “kewajiban” berasal dari kata “wajib”, yang berarti “harus dilakukan”, atau “tidak boleh tidak dilaksanakan”, atau “tidak boleh ditinggalkan”. Sedang “kewajiban” berarti “sesuatu yang harus dilakukan” atau “sesuatu yang diwajibkan”.[34] Dalam bahasa Arab, wajib, berasal dari al-wajib berati  = tetap, mengikat, dan pasti.

Menurut para ahli Ushul Fiqh, ada 2 definisi tentang kata “ wajib”:

  • Difinisi yang dibuat berdasarkan tuntutan dari perbuatan tersebut. Maka “wajib” berarti: sesuatu yang dituntut Syâri’ (Allah SWT. dan Rasul-Nya) untuk dilaksanakan oleh mukallaf dengan tuntutan yang pasti.
  • Difinisi lainnya adalah bahwa wajib adalah sesuatu yang dituntut syar’i (ruang lingkup syari’at) untuk dilaksanakan dengan cara yang pasti dan mengikat, baik dari lafal tuntutan itu sendiri maupun dari indikator lain berupa ancaman bagi orang yang tidak melaksanakannya.[35]

Curzon, sebagaimana dikutip oleh Shiddiq Tengku Armia[36] telah mengelompokkan kewajiban menjadi 3 kelompok:

1) Kewajiban yang mutlak dan nisbi. Kewajiban yang mutlak adalah kewajiban yang tidak mempunyai pasangan hak, seperti kewajiban yang tertuju kepada diri sendiri yang diminta oleh masyarakat pada umumnya. Sedang kewajiban nisbi adalah kewajiban yang melibatkan pihak lain.

2). Kewajiban-kewajiban publik dan perdata. Kawajiban publik adalah kewajiban yang berkorelasi dengan hak-hak publik, seperti kewajiban untuk memenuhi hukum pidana. Kewajiban perdata adalah korelatif dari hak-hak perdata, seperti kewajiban yang timbul dari adanya perjanjian.

3). Kewajiban-kewajiban primer dan kewajiban-kewajiban yang bersifat sanksi. Kewajiban primer adalah yang tidak timbul dari perbuatan melawan hukum, seperti kewajiban seseorang untuk tidak mencemarkan nama baik orang lain, dalam hal ini tidak timbul dari pelanggaran kewajiban lain sebelumnya.

Dengan demikian kewajiban orang tua terhadap anak adalah termasuk kelompok kewajiban nisbi, karena kewajiban orang tua adalah menjadi hak anak, dan termasuk juga kelompok kewajiban perdata, kerana kewajiban orang tua terhadap anak tersebut timbul karena adanya ikatan perkawinan.

Menurut literatur Islam, pengertian antara hak dengan kewajiban adalah bagaikan dua sisi satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Hak akan melahirkan kewajiban, sedang kewajiban akan menimbulkan hak. Hak anak akan menjadi kewajiban orang tua yang menjadi penyebab anak tersebut ada, sedang hak orang tua akan menjadi kewajiban anak kelak ketika anak telah dewasa dan mampu berbuat dan bertanggung jawab atas semua perbuatan hukumnya. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh pakar hukum Islam lainnya, Ibnu Araby yang menyatakan:

فــَــإِنَّ الْحـَــــقَّ يُسـْـــــتَعْمـَـــلُ فِي مَعْنَى الْوَاجِــــــبِ .

         ”Maka sesungguhnya pengertian hak digunakan juga dalam pengertian wajib“.[37]

Oleh karena itu untuk memenuhi hak-hak anak tersebut maka beberapa peraturan perundangan yang telah menetapkan kewajiban orang tua kepada anaknya, antara lain sebagai berikut:

 

  1. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Menurut Hukum Positif.

(1) Kewajiban Pemeliharaan.

Kewajiban orang tua adalah memelihara anak yang telah dikaruniakan kepadanya tersebut agar tetap memperoleh haknya untuk memperoleh kelangsungan hidup, berkembang dengan baik dan aman, sesuai dengan kebutuhan pertumbuhannya. Untuk itu seorang anak membutuhkan biaya pemeliharaan untuk memenuhi kebutuhan pangan, yaitu makanan yang seimbang gizinya, sandang atau pakaian yang mampu melindunginya dari gangguan cuaca, dan papan atau tempat tinggalnya yang mampu melindungainya dari rasa aman di lingkungannya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 41 huruf (a), Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,[38] dapat disimpulkan bahwa menurut UU Perkawinan, kewajiban orang tua terhadap  anak adalah: memelihara dan mendidik anak atau anak-anaknya dengan sebaik-baiknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak tersebut. Dan kewajiban memelihara anak atau anak-anaknya tersebut berlansung terus hingga anak tersebut kawin atau dapat mandiri, meskipun kedua orang tuanya tersebut bercerai.

Senada dengan UU Perkawinan, ketentuan  Pasal 2, Pasal 9 dan Pasal 10, UU Nomor: 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak[39] lebih memperjelas lagi kewajiban orang tua terhadap anaknya yaitu: memelihara dan mendidiknya dengan sebaik-baiknya, dengan memenuhi hak-haknya atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Memberikan pelayanan agar anak dapat  mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. Bahkan berdasarkan penjelasan Pasal 9 bahwa kewajiban dan tanggung jawab orang tua atas kesejahteraan anak mengandung kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan YME. dan berkemauan serta berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila. Bahkan undang-undang tersebut juga telah memberi perlindungan hukum dengan memberikan sanksi, bahwa orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 undang-undang tersebut, sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya. Dalam hal itu ditunjuk orang atau badan sebagai wali.

Senada dengan UU Perkawinan dan UU tentang Kesejahteraan Anak, ketentuan Pasal 23 UU Nomor: 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU Nomor: 23  Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap anak adalah: (a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; (b) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; (c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan (d) memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab tersebut dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kewajiban Memberikan Biaya Hidup.

Kewajiban orang tua terhadap untuk memberikan biaya hidup kepada anaknya selama berada didalam sebuah rumah tangga (suami-istri) tidak diatur secara jelas dalam sebuah peraturan. Kewajiban memberikan biaya hidup terhadap anak oleh orang tua secara umum telah menjadi satu kesatuan dengan kewajiban suami kepada istri sebagai akibat adanya ikatan perkawinan, dimana seorang suami berkewajiban melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.[40] Sedang ketika pasangan suami istri tersebut dikarunia anak, maka bertambahlah status suami istri tersebut menjadi orang tua (ayah-ibu-anak) yang berkewajiban memenuhi hak-hak anaknya yang paling asasi sebagai manusia, yaitu: berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[41] Maka untuk dapat memenuhi kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar dan baik itulah seorang anak membutuhkan biaya hidup, untuk memenuhi kesejahteraannya yang berupa pangan, sandang, dan papan (rumah kediaman yang layak) biaya kesehatan, biaya pendidikan, dan sebagainya yang menjadi beban dan tanggung jawab orang tuanya.

UU perkawinan hanya mengatur secara spesifik kewajiban pemberian biaya hidup oleh orang tua kepada anaknya ketika perkawinan kedua orang tua anak itu putus karena percereraian. Ketentuan Pasal 41 huruf (b) UU Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian: ”Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

Jadi menurut hukum positif Indonesia apabila terjadi perceraian yang menimpa orang tuanya, maka hak-hak anak untuk memperoleh biaya hidup dari orang tuanya demi kelangsungan hidupnya tetap memperoleh perlindungan hukum, yaitu menjadi kewajiban bapaknya, namun apabila bapaknya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu anak tersebut ikut memenuhi kewajiban tersebut. Bahkan guna melindungi hak anak terhadap kelangsungan hidupnya tersebut, negara telah memberikan sanksi hukum terhadap tindakan penelantaran kepada anak oleh orang yang bertanggung jawab, menjadi delik Kekerasan Dalam Rumah Tangga.[42]

  1. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Menurut Hukum Islam.

Imam Abu Zahra berpendapat, ada 4 kewajiban orang tua yang menjadi hak anaknya, yaitu kewajiban menegaskan hubungan nasab-nya, kewajiban memberikan  رَضَاعَةٌ  (memberinya air susu), kewajiban memberinya hadhanah (perawatan), dan kewajiban memberinya nafakah (biaya hidup).[43] Namun untuk pembahasan penelitian ini akan difokuskan kepada kewajiban orang tua terhadap hak hadhanah dan kewajiban orang tua terhadap hak nafakah anak.

(1) Kewajiban Pemeliharaan (Hadhanah)

Secara etimologi Hadhanah berasal dari kata “  اَلْحَـضْـنَ” yang berarti “memeluk”.[44] Atau dari kata “ اَلْحِـضْنُ yang berarti “tulang rusuk”.[45] Karena seorang ibu yang mengasuh anaknya biasa menggendong atau meletakkan anaknya disebelah tulang rusuknya, menggendong dalam pangkuan disebelah tulang rusuknya.

Menurut istilah, Hadhanah atau pemeliharaan anak adalah: kegiatan mengasuh, memelihara  dan mendidik anak hingga dewasa dan mampu berdiri sendiri.  [46]  Sedang menurut ahli fikih yang lain, hadhanah berarti memelihara anak dari segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan rohani dan jasmaninya, mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapai kehidupan sebagai seorang muslim.

Dalam pandangan Islam anak adalah karunia sekaligus amanah dari Allah SWT. kepada orang tuanya. Orang tua berkewajiban menjaga dan memelihara amanah tersebut sesuai dengan perintah pemberi amanah dan sesuai dengan kemampuannya. Allah SWT. berfirman dalam Q.S. at Tahrim [66]: 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا قُوْا أَنْفُسـَكُمْ وَ أَهْــلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّـاسُ وَالْحِجــَـارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِـداَدٌ لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيُفْعَـــلُوْنَ مَـا يُؤْ مـَــــــرُوْنَ.

Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.[47]

 

Imam Al Qurthubi menyatakan: bahwa sebagian ulama menafsirkan kalimat: jagalah dirimu dan keluargamu, termasuk didalamnya adalah menjaga anak-anak supaya dipelihara dan dididik sesuai dengan tuntutan ajaran Islam, sehingga diharapkan anak tersebut kelak menjadi anak yang berguna dan selamat di dunia dan di akhirat.[48]  Orang tua akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah SWT. apakah amanah tersebut dilaksanakan sesuai dengan perintah-Nya ataukah dia mengkhianati amanah tersebut. Rasulullah saw. bersabdah:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعـِـــــــيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِى عَلَى النـَّـــــــــاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهـْــلِ بَيْتِهِ هُوَ مَسـْــــئٌوْلٌ عَنْهـُـــــــــمْ .

Setiap kamu sekaalian adalah pemimpin yang semuanya akan dimintai pertanggung jawabannya. Pemimpin yang memimpin manusia dia akan dimintai pertanggung jawabannya, begitu pula seorang lelaki sebagai kepala rumah tangga akan dimintai pertanggung-jawabannya atas urusan keluarganya”.[49]

 

Sebaliknya Allah SWT. memberikan petunjuk, bahwa hak orang tua yang menjadi kewajiban anaknya adalah perbuatan baik yang diterimanya ketika anaknya telah dewasa, sebagaimana dalam firmanNya:

وَوَصَّيْناَ الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِى عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْلِى وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيْرُ .

Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Oleh karena itu bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu. Dan hanya kepada Aku kembalimu”.( Q.S.Al Luqman [31]: 14).[50]

 

Para ahli hukum Islam,[51]  membagi urutan hak mengasuh anak bagi para wanita sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut. Menurut mereka, kaum wanita lebih sesuai sebagai pengasuh anak, karena kasih sayang, naluri kewanitaan, dan kesabaran mereka dalam mengasuh dan mendidik anak lebih tinggi dibandingkan kaum pria. Adakalanya pengasuhan anak itu pada usia tertentu lebih sesuai diasuh oleh kaum wanita, adakalanya harus diasuh, dirawat, dan dididik bersama, dan adakalanya dalam usia tertentu pihak laki-laki yang lebih mampu untuk mengasuh anak-anak mereka .

Menurut hukum Islam, pemeliharaan anak (hadhanah) mutlak sebagai kewajiban kedua orang tua yang akan dipertanggung-jawabkannya kelak di hari kiamat. Hukum Islam hanya memberikan ketentuan jika terjadi perceraian yang menimpa kedua orang tua anak tersebut, atau salah satu diantara kedua orang tuanya tersebut meninggal dunia . Apabila terjadi perceraian [52]maka:

  1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun menjadi hak ibunya;
  2. Pemeliharaan anak yang telah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
  • Kewajiban Memberikan Nafkah.

Menurut bahasa Indonesia, “nafkah“ berarti: belanja untuk hidup, atau : bekal hidup sehari-hari.[53] Sedang Imam Al-Asqalani memberikan difinisi nafkah sebagai berikut:

اَلْمُـرَاد : بِهَا الشّيْئْ الَّذِىْ يُبَذِّلُهُ الْإِنْسـَـانُ فِيْمَا يَحْتَاجُهُ أَوْغَيْرَهُ مِنَ الطَّعَامِ وَالشُّرْبِ وَغَيْرِهَا  .

Yang dimaksud dengan nafkah adalah suatu pemberian yang diperlukan (kebutuhan pokok) manusia, misalnya: makanan, minuman dan sebagainya”.[54]

 

Kompilasi Hukum Islam juga memberikan pengertian yang sama tentang nafkah,  bahkan diperinci lagi secara jelas sebagai berikut:

Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:

  • Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
  • Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
  • Biaya pendidikan bagi anak. [55]

Dengan demikian istilah “nafkah” mempunyai pengertian yang sangat luas meliputi segala sesuatu kebutuhan atau keperluan hidup dalam berumah-tangga, meliputi sandang, pangan, dan papan (tempat kediaman), biaya pendidikan, biaya kesehatan / pengobatan bagi istri dan anaknya, dan sebagainya.

Kewajiban orang tua untuk memberikan nafkah adalah termasuk juga memberikan susuan (radha’ah) kepada anaknya yang akan menjadi fondasi bagi perkembangan kelangsungan hidup dan pertumbuhannya untuk menjadi anak yang utuh dan sempurna. Hal tersebut didasarkan atas Firman Allah SWT. dalam  Q.S. Al Baqarah [2]: 233:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامـِــلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ, َوَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْــرٌوْفِ، لاَتُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّوُسْعَهَـــا، لاَتُضــَــــــآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَامَوْلُوْدٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ، وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَالِكَ، فَإِنْ أَرَادَا فِصَــــالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا، وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوْا أَوْلاَدَكُمْ فَلَا جُناَحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا أَتَيْتُمْ بِالْمَعـْــــــــــــــرُوْفِ .

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kemampuannya. Janganlah seseorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan juga seorang ayah (menderita kesengsaraan) karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan dengan jalan musyawarah, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dan jika ingin anakmu disusui oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu, apabila kamu memberikan upah menurut yang makruf”.[56]

 

Dalam memberikan tafsir atas penggalan ayat:

لَاتُضـَــآرَّ وَالِدَة ٌبِوَلـَــدِ هَا

Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena harus menanggung beban nafkah anak yang dilahirkannya“.

Maka Abu Ja’far Muhammad at-Thabary,[57] memberikan ta’wil (pengertian kontekstual) sebagai berikut:

Pertama:  “Berdasarkan riwayat dari Ammar, dari Abi Ja’far, dari ayahnya, dari Yunus, dari Hasan, dia berkata, bahwa: Apabila si suami mentalak ibu anak tersebut, maka anak tersebut tidak boleh menyengsarakan perempuan tersebut sehingga perempuan tersebut merasa ingin mengasingkan anak itu darinya. Dan sebagian ulama menyatakan :“Kaum lelaki dilarang menyengsarakan ibu anaknya, kasihan anaknya“.

Kedua :     “bahwa seorang ibu tidak boleh menderita atau merasa teraniaya akibat anak yang dilahirkannya. Oleh karena itu nafkah anak harus dibebankan di pundak ayahnya jika ayahnya masih hidup, dan dibebankan kepada orang yang menjadi “ashabah[58] dalam kerangka kewarisan ayahnya.

Menurut M.Quraish Shihab, [59] didalam kitab Tafsirnya:

“Ayat tersebut merupakan rangkaian pembicaraan tentang keluarga. Setelah berbicara tentang suami istri, kemudian berbicara tentang anak dari hubungan suami istri itu. Disisi lain, ia masih berbicara tentang wanita-wanita yang ditalak, yakni mereka yang memiliki bayi. Sejak kelahiran hingga 2 tahun penuh, para ibu diperintahkan untuk menyusukan anak-anaknya. Dua tahun itu adalah batas maksimal kesempurnaan penyusuan. Tentu saja ibu yang menyusukan memerlukan biaya agar kesehatannya tidak terganggu dan air susunya selalu tersedia. Atas dasar itu lanjutan ayat tersebut menyatakan: “ merupakan kewajiban atas yang dilahirkan untuknya, yakni: ayah memberi makan dan pakaian para ibu, jika ibu anak yang disusukan itu telah diceraikan secara ba’in, bukan raj’i. Mengapa menjadi kewajiban dari ayah ? Karena anak itu membawa nama ayah, seakan-akan anak lahir untuknya. Karena nama ayah akan disandang oleh sang anak, yakni anak dinisbahkan kepada ayahnya. Kewajiban memberi makan dan pakaian hendaknya dilakukan dengan cara yang makruf, yakni jangan sampai seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya. Yakni jangan sampai ayah mengurangi hak yang wajar bagi seorang ibu dalam penyediaan nafkah dan pakaian, karena mengandalkan kasih sayang ibu kepada anaknya. Dan juga ayah menderita karena seorang ibu menuntut beban nafkah anak diluar kemampuan sang ayah dengan dalih untuk kebutuhan anak yang disusukannya. Dengan tuntunan ini, anak yang dilahirkan mendapat jaminan pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa dengan baik. Bahkan jaminan tersebut harus tetap diperolehnya walau ayahnya telah meninggal dunia, karena para waris pun berkewajiban demikian, yakni berkewajiban memenuhi kebutuhan ibu sang anak agar ia dapat melaksanakan penyusuhan dan pemeliharaan itu, dengan baik. Adapun yang dimaksud para waris adalah “ yang mewarisi sang ayah, yakni anak yang disusukan itu. Dalam arti, warisan yang menjadi hak anaknya dari ayahnya yang meninggal itu digunakan antara lain untuk biaya penyusuan, bahkan makan dan minum ibu yang menyusuinya. Ada juga yang berpendapat, bahwa yang dimaksud para waris adalah para ibu yang menyusui itu. Betapapun ayat ini memberi jaminan hukum untuk kelangsungan hidup dan pemeliharaan anaknya”.

Adapun besarnya nafkah yang harus dibebankan kepada bapak adalah sesuai dengan kemampuannya dan kebutuhan anak tersebut secara patut. Oleh karena anak adalah amanah Allah SWT. yang harus dijaga dan dipelihara, maka bagi seseorang yang diberi oleh Allah SWT. dengan rizki yang cukup, maka harus memberikan nafkah kepada anaknya secara patut, dan bila diberi oleh Allah dengan rizki yang sempit, maka memberi nafkah kepada anaknya sesuai dengan kemampuannya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT. dalam Q.S. al-Thalaq  [65]: 7 :

لِيُنْفِقُ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَـتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ أَتَاهُ اللهُ لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّمَآأَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا  .

 

Hendaklaah orang-orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.[60]

 

Bahwa diriwayatkan dari A’isyah r.a. bahwa Hindun berkata kepada Rasulullah saw.: “Hai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan ( suami Hindun ) adalah laki-laki yang sangat kikir, ia tidak memberi nafkah menurut kecukupanku dan anakku, kecuali yang telah kuambil tanpa sepengetahuannya”. Maka Rasulullah saw. bersabda:

خُذِى مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِا لْمَعْرُوْفِ

Ambillah (harta suamimu) menurut kecukupanmu dan anakmu secara patut”.[61]

Pemisahan penentuan penanggung-jawab terhadap nafkah anak dalam hukum Islam menjadi tegas ketika telah terjadi perceraian antara kedua orang tua anak tersebut. Ketentuan Pasal 149 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam [62] menyatakan: ”Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun”.

Sedang Ketentuan Pasal 156 huruf (d) menyatakan: ”Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayahnya menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri ( 21 tahun )”.

  1. Politik Hukum Bagi Perlindungan Anak Di Indonesia

Arah pembangunan hukum nasional terfokus pada persoalan politik hukum tentang pembangunan sistem hukum nasional. Menurut Padmo Wahyono, politik hukum adalah kebijakan dasar dari penyelenggara negara yang menentukan bentuk, isi maupun arah-arah dari pada hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan (membuat norma) pada sesuatu (ius constituendum).[63] Sedangkan menurut Soedarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengepresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.[64]

Menurut Muladi, bahwa Politik hukum (legal polecy) dalam arti kebijakan negara (public polacy) di bidang hukum untuk meningkatkan kesejahteraan warganya di segala aspek kehidupan, yang mengandung dimensi yang terkait satu sama lain yakni kebijakan kesejahteraan sosial (social walfare polacy) dan kebijakan perlindungan sosial (social difence polacy).[65] Sedang menurut M.Solly Lubis, Politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[66]

Senada dengan itu Teuku Muhammad Radie menyatakan: Politik hukum adalah kebijaksanaan yang berkaitan dengan pembentukan hukum dan penetapannya, atau sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya (ius constitutum) dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun (ius constituendum).[67] Sedang Z. Asikin Kusumah Atmaja menyatakan: Politik hukum adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara.[68]

Menurut Muh.Kusnardi & Bintan R.Saragih, politik hukum adalah suatu kebijakan yang diambil oleh negara melalui lembaganya atau pejabatnya untuk menetapkan hukum yang mana yang perlu diganti, dirubah, dipertahankan atau hukum tentang apa yang perlu diatur atau dikeluarkan agar dengan kebijakan tersebut penyelenggaraan negara dan pemerintahan dapat berlangsung dengan baik, tertib dan aman sehingga tujuan negara secara bertahap dan terencana dapat terwujud.[69]  Dan menurut Satjipto Rahardjo: politik hukum adalah sebagai aktifitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan soaial dan hukum tertentu dalam masyarakat.[70]

Dari berbagai pengertian tentang politik hukum yang telah dikemukakan oleh beberapa pakar hukum tersebut ternyata subtansinya adalah sama, bahwa politik hukum (legal polecy) adalah garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara, yaitu mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan akan hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan, yang kesemuanya yang semuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.[71]

Mengingat politik hukum (legal polecy) adalah merupakan suatu standar bagi pemerintah dan negara yang ingin mewujudkan cita-cita pendiri bangsa yang tercantum didalam Pembukaan UUD 1945, maka disini hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Terkait dengan hal tersebut Sunaryati Hartono menyatakan, bahwa “hukum sebagai alat” sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.[72]

Terkait dengan politik hukum bagi perlindungan hukum terhadap anak-anak Indonesia yang merupakan aset bangsa dan potret wujud bangsa Indonesia dimasa datang, maka khusus untuk perlindungan anak, Pasal 28 B ayat (2) UU Dasar Negara 1945 menyatakan: ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “.

Menurut Waluyadi,[73] bahwa meskipun secara eksplisit hanya Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 tersebut yang menyebutkan adanya Hak Asasi Anak, akan tetapi keseluruhan Pasal 28 UUD 1945 sepanjang dapat dilaksanakan dan dapat diterima serta bermanfaat bagi anak, maka hak-hak yang dimaksud di dalam pasal tersebut juga harus dialamatkan kepada anak dan bukan hanya monopoli manusia dewasa saja.

Adapun beberapa peraturan perundangan yang dimaksudkan sebagai polecy negara dan pemerintah yang merupakan kebijakan untuk perlindungan hukum terhadap anak dalam menuju terwujudnya usaha kesejahteraan bagi anak antara lain sebagai berikut:

  • UU Nomor: 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Bahwa keseluruhan peraturan yang ada didalam undang-undang tersebut adalah juga untuk memberi perlindungan terhadap anak, karena anak adalah manusia. Sungguhpun demikian ada beberapa pasal yang khusus mengatur tentang hak-hak anak yaitu: Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66. Adapun berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut menurut Waluyadi, [74] hak-hak yang dimiliki oleh anak antara lain sebagai berikut:

  • Hak mendapatkan perlindungan dari orang tua, masyarakat dan negara.
  • Hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupan.
  • Hak untuk memperoleh nama dan status kewarganegaraan.
  • Hak untuk memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan.
  • Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekpresi sesuai dengan tingkat intelektualnya dibawah bimbingan orang tuanya atau walinya.
  • Hak untuk mengetahui dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
  • Hak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik dan atau dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan peraturan perundangan.
  • Hak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia, atau karena sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.
  • Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
  • Hak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendaknya sendiri, kecuali jika ada alasan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.
  • Hak untuk mencari, menerima dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
  • Hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya.
  • Hak untuk beristirahat dan bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.
  • Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya.
  • Hak untuk tidak dilibatkan dalam peperangan, sengketa senjata, kerusuhan sosial dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.
  • Hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat menggangu pendidikan, kesehatan fisik, mental, kehidupan sosial dan spiritual.
  • Hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan ekploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta perlindungan hukum dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya.
  • Hak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
  • Hak untuk tidak dijatuhi pidana mati, apabila ia melakukan kejahatan.
  • Hak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
  • Hak untuk tidak ditangkap, tidak ditahan dan tidak dihukum kecuali atas alasan hukum yang berlaku serta sebagai upaya terakhir.
  • Hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pribadi sesuai dengan usianya dan dipisahkan dari orang dewasa kecuali demi kepentingannya, apabila ia dirampas kebebasannya.
  • Hak untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, apabila ia dirampas kebebasannya.
  • Hak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum, apabila ia dirampas kebebasannya.

 

  • UU Nomor: 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor: 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak:

Menurut Waluyadi, [75] hak-hak anak yang dapat diambil dari UU ini adalah:

  • Hak hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskrimanasi.
  • Hak atas nama dan identitas diri dan status kewarganegaraan.
  • Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekpresi.
  • Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh pihak lain apabila karena suatu hal orang tua tidak mewujudkannya.
  • Hak memperoleh kesehatan jasmani dan rohani, jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik.
  • Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dan bagi yang cacat memperoleh pendidikan luar biasa.
  • Hak untuk didengar pendapatnya, menerima dan mencari informasi dan juga memberi informasi.
  • Hak berkreasi, istirahat, memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan yang sebaya dan yang cacat berhak mendapatkan rehabilitasi, bantuan sosial dan memelihara taraf kesejahteraan sosial.
  • Selama dalam pengasuhan, anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan: (a) diskriminasi; (b) eksploitasi baik ekonomi maupun seksual; (c)penelantaran; (d) kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; e)  ketidakadilan; dan  (f) perlakuan salah lainnya terhadap pelaku yang melanggar hal-hal yang tersebut dalam hukuman.
  • Hak untuk diasuh orang tuanya sendiri, kecuali terdapat aturan hukum yang meniadakannya.
  • Hak untuk memperoleh perlindungan dari: (a) penyalahgunaan dalam kegiatan politik; (b) pelibatan dalam sengketa bersenjata; (c) pelibatan dalam kekerasan sosial; (d) pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan (e) pelibatan dalam peperangan.
  • Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan atau hukuman penjara hanya dapat dilakukan sesuai hukum dan itu merupakan upaya terakhir.
  • Anak yang dirampas kebebasannya, berhak: (a) mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan penempatannya dipisah dari orang tua; (b) memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif dari setiap tahapan hukum; (c) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak;
  • Anak yang menjadi korban, berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya.

 

[1] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008 ),  25-43.

[2] Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), 12.

[3] Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, (Jakarta: Nusamedia, 2009), 343.

[4] Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, ninth edition, (St. paul: West, 2009), 1343.

[5] Pemegang Paten Perlu Perlindungan Hukum”, Republika, 24 Mei 2004.

[6] Rahayu, 2009, Pengangkutan Orang, etd.eprints.ums.ac.id. Peraturan Pemerintah RI, Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tatacara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Undang-Undang RI, Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

[7]  Satjipro Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2003), 121.

[8] Setiono, “Rule of Law”, (Surakarta: Disertasi S2 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, 2004), 3.

[9] Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta: Disertasi S2 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, 2003), 14.

[10] Hetty Hasanah, “Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumenatas Kendaraan Bermotor dengan Fidusia”, artikel diakses pada 1 Juni 2015 darihttp://jurnal.unikom.ac.id/vol3/perlindungan.html.

[11] Rafael La Porta, “Investor Protection and Cororate Governance; Journal of Financial Economics”, no. 58, (Oktober 1999),  9.

[12]  Sutantya R. Hadhikusuma dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan: Bentukbentuk Perusahaan yang berlaku di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996),  5-8.

[13] Sardjono dan Frieda Husni Hasbullah, Bunga Rampai Perbandingan Hukum perdata, 143.

[14] “Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum dan Kontrak “Franchise”, artikel diakses pada 1 Juli 2015 dari http:// repository. usu.ac.id /bitstream/ 123456789/35732/6/Chapter%20III-V.pdf

[15] pasal 10, pasal 12, pasal 14, pasal 19, pasal 26, pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

[16] pasal 10, pasal 12, pasal 14, pasal 19, pasal 26, pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

[17] pasal 8, pasal 10, pasal 14, pasal 15, dan 34 pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

[18] pasal 14, 15, dan 16 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

[19] Syamsiar Julia, “Pelanggaran HAM dan Peran POLRI dalam Penegakan Hukum di Indonesia”, Jurnal Akademik Universitas Sumatera Utara.

              [20]  Departemen Pendidikan Nasional, ……h. 35.

               [21]  Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001), h.. 254.

                     [22]  Baca Pasal 6 dan 1 UU Nomor:  1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

                  [23]  Periksa UU Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

                  [24]  Periksa UU Nomor: 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

                                [25]  Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (CV.Mandar Maju, Bandung, 2009), h. 5.

       [26]  Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, (PT.Citra Aditya bakti, Bandung, 2009), h. 16.

             [27]  R.Subekti & R.Tjitrosudibio, Kitab UU Hukum Perdata, edisi Revisi, (Paradnya Paramita, Jakarta, 1996), h. 91.

             [28]  Dalam adat Jawa dikenal istilah perkawinan anak-anak, yakni ketika dua keluarga serumpun yang saling mempunyai anak lelaki dan anak perempuan yang masih kecil (balita) ingin meningkatkan hubungan mereka menjadi hubungan perbesanan, lalu mereka mengumumkan pernikahan anak mereka kepada masyarakat sekitar. Perkawinan anak-anak juga dikenal dalam hukum Islam.

              [29] Kompilasi Hukum Islam ( Intrusi Presiden Nomor: 1 Tahun 1991 tentang Penyebar Luasan Kompilasi Hukum Islam ).

               [30]  Menurut Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU Nomor: 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak   dinyatakan, bahwa batas umur 21 (dua puluh satu) ditetapkan oleh karena berdasarkan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Batas umur 21 tahun tidak mengurangi ketentuasn batas umur dalam peraturan perundangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku.

                   [31]  Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan,  ……. h. 1.

               [32]  Rika Saraswati,………. h. 25.

               [33]  Baca Pasal 9 ayat (1) UU Nomor: 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT.

               [34]   Deparetemen Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Jakarta, 2001), h. 1266.

               [35]   Ensiklopedi Hukum Islam, ., Jilid VI, 1902.

               [36]  Shiddiq Tengku Armia, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, Paradnya (Paramita, Jakarta, 2003),  h. 49.

                 [37]   Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, Subulu al -Salâm, Dahlan, Semarang, TT, Jilid IV,   h. 148.

                    [38]  Baca ketentuan Pasal 41, 45 UU Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Pasal 2, Pasal 9 dan Pasal 10 UU Nomor: 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

                   [39]  Baca ketentuan Pasal 2 , Pasal 9 dan 10 UU Nomor: 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

          [40]  Baca ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

               [41]  Baca Pasal 28 B UUD 1945.

                 [42]  Baca ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor: 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT.

                  [43]   Abu Zahra, Al Ahwȃl al Sahsyȋyah, Dȃrul Fakar al Arabi, tt,  h. 484.

                 [44]   Ahmad Warson Munawwir, ……. h. 295.

                 [45]   Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Bulan Bintang, Jakarta 2004), h. 137.

                 [46]   Kompilasi Hukum Islam, Pasal 1 huruf (g).

                 [47]   Departemen Agama RI, ….. h.  951.

                 [48]   Imam Al Qurthubi, ….. h. 148.

                      [49]   Imam Abi Husaini Muslim Ibnu al Hijȃj,  t.t, Jilid V, h. 43.

                      [50]  Departemen Agama, …… h. 800.

                      [51]   Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2, …. h. 416.

                      [52]  Baca ketentuan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam.

                      [53]   Departemen P dan K, ………..h. 770.

                      [54]   Imam Ibnu Hajar Al Asqalani,…… h. 2018.

                        [55]   Baca Pasal 80 ayat (2) KHI.

                [56]   Departemen Agama RI,…… h. 57.

                [57]  Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir At-Thabary, Tafsîr At-Thabari Jamȋ’i al -Bayȃn fȋ Ta’wil Al-Qur’an, Dȃr al Kutub al Ilmiyah, Beirut, 1992, Jilid II,  h. 512.

                 [58]  “ashabah “ adalah sebutan dalam ilmu faraidh (waris) terhadap ahli waris yang mendapat bahagian sisa dari bagian-bagian yang telah tertentu oleh hukum waris Islam, yaitu : kakek, saudara ayah, dan kakak anak tersebut.

                [59]  M. Quraish Shihab, Tafsȋr al Mishbâh, Pesan, Kesan dan Keserasihan Al Qur’an, Lentera Hati, Jakarta, 2002, h.  503.

                     [60]   Departemen Agama RI,……. h. 946.

                     [61]   Abu Abdillah al Bukhari, Shahih al Bukhari, Juz III, (Maktabah, Semarang, t.t), h. 289.

                     [62]  Baca ketentuan Pasal 149 huruf (d) dan Pasal 156 huruf (d) KHI.

                     [63]  Padmo Wahyono, Penjabaran Pancasila Dalam Peraturan Perundangan, (Niagara, Jakarta, 1985), h.  8.

                     [64]  Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap Hukum Pidana, (Sinar Baru, Bandung, 1983), h. 20.

                     [65]  Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia Dan Reformasi Hukum Di Indonesia, (The Habibie Center, Jakarta, 2002), h. 269.

                     [66]  M.Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum, (Mandar Maju, Bandung, 1989), h. 100.

                      [67]  Teuku Muhammad Radie, Memantapkan Kerangka Landasan Tata Hukum Nasional, BPHN, (Jakarta, 1980), h. 16.

                     [68]  Z.Asikin Kusumah Atmadja, Politik Hukum Nasional, tulisan dalam Abd.Hakim Garuda Nusantara & Nasroen Yasabari, Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, (Alumni, Bandung, 1980), h. 15.

                    [69]  Muh.Kusnardi & Bintan Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, (Gramedia, Jakarta, 1978), h. 15.

                      [70]  Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991), h. 352.

                            [71]  Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010), h. 1.

                    [72]  Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1991), h. 1.

                      [73]  Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Mandar Maju, Bandung, 2009),  h. 2.

                    [74]  Waluyadi, …..h. 39-40.

                 [75]  Waluyadi,, …….h. 17-18.

LTN NU Kab. Tasikmalaya

Maju bersama ummat, umat kuat negara hebat

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button