Akibat konflik Palestina-Israel telah menimbulkan dampak yang cukup signifikan bagi dunia Arab maupun internasional. Persoalan Palestina-Israel bahkan seringkali dianggap sebagai pertarungan Yahudi-Islam sebagai satu agama, sehingga banyak pihak berkepentingan menyelesaikan pertikaian mereka mulai dari negara-negara di kawasan Arab bahkan sampai Amerika. PBB sebagai satu organisasi keamanan dunia pun tidak tinggal Analisis Peluang Kedaulatan Palestina daiam dalam mengupayakan penyelesaian konflik dengan mengeluarkan beberapa resolusi seperti: Resolusi PBB No 242 pasca Perang 1967 yang memerintahkan agar Israel keluar dari wilayah Palestina; Resolusi PBB No 338 pasca perang 1973; Resolusi No 42 pasca perang 1982 dan resolusi-resolusi lain yang intinya mengatur perdamaian ke dua pihak. Akan tetapi tidak satu pun dari resolusi-resolusi tersebut yang dipatuhi oleh Israel. Akibatnya konflik berkembang semakin luas dan penuh dengan kekerasan, serta banyak memakan korban. Meskipun demikian tindakan-tindakan kekerasan tidak mampu memperbaiki nasib bangsa Palestina.
Selain dikeluarkannya resolusi oleh PBB, tidak sedikit pula perundingan damai yang diupayakan untuk menyelesaikan konflik seperti berikut (Setiawati, 2004: 220).
- Perjanjian Camp David September 1978 Perjanjian ini menghasilkan satu putusan yaitu pengakuan Israel oleh Mesir, dan sebagai imbalannya Israel menarik pasukannya dari Sinai. Sayangnya perjanjian ini tidak berhasil karena perang Arab-Israel kembali berkobar.
- Konferensi Perdamaian di Madrid 1991 Konferensi ini diprakarsai oleh Amerika Serikat dan Uni Sovyet dengan mengajak negara-negara Arab seperti Suriah, Mesir, Lebanon, Yordania dan pihak Palestina, namun bukan PLO. Akibatnya perjanjian ini dianggap gagal karena tidak mengajak wakil sah Palestina yang diakui PBB yakni PLO.
- Perundingan Oslo I 13 September 1993 Perundingan ini dihadiri oleh Yasser Arafat dan Yitsak Rabbin, disaksikan oleh Bill Clinton dan Raja Hussein. Hasil utama perjanjian ini adalah pengakuan eksistensi PLO dan Israel dengan cara pembentukan dua negara dalam satu wilayah.
- Perundingan Oslo II 28 September 1995 Perundingan ini sebagai kelanjutan perundingan pertama dan memutuskan untuk memberikan otonomi terbatas pada PLO di West Bank yang meliputi 7 kota yaitu Jenin, Nablus, Hebron, Tulkarem, Qaqliyah, Ramallah, dan Bethlehem. Perundingan ini pun dinilai gagal karena adanya protes kelompok akar rumput dari kedua pihak.
- Perundingan Wye River I di Washington 1999
- Perundingan Wye River II di Sharm el Sheikh Mesir pada September 1999
- Perundingan Camp David Juli 2000 Salah satu keputusan perundingan ini adalah kemungkinan kemerdekaan Palestina di Jerman Timur akan tetapi ditolak oleh Ariel Sharon PM baru dari Partai Likud yang terpilih.
- Perundingan di Geneva Swiss Oktober 2003 Perundingan diprakarsai Yossi Belilin (mantan menteri Israel) dan Yossi Abeed Rabbo (mantan menteri penerangan). Isi perundingan ini menyepakati penyerahan 25,5% pemukiman Israel untuk bangsa Palestina. Namun perjanjian ini pun tidak mencapai hasil karena Ariel Sharon terus melakukan tindakan penyimpangan-penyimpangan.
Perkembangan mutakhir saat itu bahkan menunjukkan bahwa Sharon memerintahkan pendirian zona pengaman yang tidak dapat dimasuki warga Palestina di Gaza Utara, kebijakannya diumumkan pada rapat kabinet dan pejabat keamanan pada Minggu, 25 Desember 2005. Zona pengaman ini lebarnya 2,5 km dan panjangnya membentang mulai dari bagian utara hingga pinggir timur Jalur Gaza (Kompas 27 Desember 2005). Selain membangun zona pengaman Israel juga sedang merencanakan membangun 228 rumah tambahan di pemukiman Yahudi. Tindakan Ariel Sharon di atas dinilai sebagai pelanggaran paling nyata terhadap komitmen
Israel menjalankan peta perjanjian damai yang didukung Amerika Serikat. Peta perjanjian damai ini dicetuskan pada 3 Juli 2003 di Sharm el Sheikh Sinai pada KTT Arab-Amerika. Salah satu hasil perundingan ini adalah larangan bagi Israel untuk menghentikan semua pembangunan pemukiman Yahudi. Akan tetapi perundingan demi perundingan tidak pernah berbuah manis.
Konflik Palestina-Israel masih terus berlangsung sampai saat ini. Insiden berdarah antar dua kelompok itu masih sering Analisis Peluang Kedaulatan diliput oleh media massa maupun media elektronik. Palestina melewati jalan berliku dan terjal untuk memperjuangkan eksistensinya sebagai negara yang memiliki kedaulatan penuh baik secara internal maupun eksternal (Mial et all, 2002: 283). Tragedi yang sangat tragis bahkan terjadi pada 31 Mei 2010, ketika kapal Mavi Marmara yang berisi para relawan dari berbagai negara (termasuk relawan asal Indonesia) dan mengangkut logistik maupun obat-obatan bagi rakyat Palestina diserang secara brutal oleh tentara Israel. Para relawan ditembaki dan kapal tidak diperbolehkan memasuki wilayah perairan Palestina.
Padahal laut merupakan satu-satunya jalan untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi rakyat Palestina, mengingat Mesir menutup akses jalan darat untuk memasuki wilayah itu. Kecaman dunia internasional seolah tak berarti bagi Israel. Pelanggaran terhadap hak azasi manusia tetap berlangsung sampai kini. Palestina akhirnya memperoleh dukungan dari dunia internasional untuk diakui sebagai anggota penuh dalam sidang umum PBB. Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, Liga Arab, Uni-Afrika, serta anggota non-Blok sudah mendukung penuh, namun Dewan keamanan PBB sendiri terpecah dan setengah hati untuk mendukung Palestina menjadi anggota tetap PBB. Penolakan utama berasal dari Amerika Serikat yang selalu menerapkan standar ganda bagi negaranegara Islam di Timur Tengah. Kebijakan Amerika ini dapat dilihat dari bagaimana pendekatan yang diterapkan oleh pemerintahan para presiden Amerika seperti: Carter terhadap Islam politik dalam Revolusi Iran, Reagan, Bush dan Clinton, serta George Walker Bush yang melihat kebangkitan Islam sebagai ketakutan dan ancaman bagi Amerika dan sekutunya di Timur Tengah (Gerges, 2002: 4). Islam selalu identik dengan terorisme dan pengusung fundamentalisme. Hanya Barack Obama yang belakangan memandang Islam lebih simpatik dan mencoba mengeliminir gelombang kekerasan di Timur Tengah, dengan mengutamakan jalan damai (dialog) daripada kekuatan militer.
Aksinya dapat dilihat melalui kampanye untuk menghentikan berkecamuknya perang Irak yang mengantarkannya sukses menjadi Presiden Amerika ke-44. Akan tetapi sangat disayangkan, ketika Obama sudah berhasil menjadi Presiden Amerika ia tidak juga berhasil menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Bahkan saat presiden otoritas Palestina Mahmoud Abbas mengajukan permohonan agar Palestina menjadi anggota penuh PBB pada September 2011 silam, Amerika sebagai Dewan Keamanan tidak juga tergerak untuk menjatuhkan veto. Penutup Sebagai tulisan akhir, penulis menganggap bahwa masa depan perdamaian Palestina-Israel sepertinya hanya sesuatu yang utopis mengingat upaya perundingan selalu gagal diaplikasikan. Hal ini terjadi karena tidak adanya kekuatan pemaksa jika salah satu negara melanggar isi perjanjian. Amerika Serikat yang selama ini berperan sebagai polisi dunia untuk menjaga keamanan tidak berperan netral sebagai mediator perdamaian, sehingga perundingan apapun tidak akan berhasil.
Dengan kondisi seperti ini bukan tidak mungkin jika konflik PalestinaIsrael tidak akan selesai sampai kapan pun dan kekerasan akan terus terjadi antara kedua negara. Bahkan saat ini sedang berlangsung unjuk rasa rakyat Palestina dengan melancarkan aksi mogok makan untuk menunjukkan solidaritas bagi para tahanan Palestina yang tidak mendapat keadilan di penjara Israel (Republikaonline.com). Selain ketiadaan dukungan eksternal seperti di atas, secara politik Negara Palestina yang diproklamirkan mendiang Yasser Arafat dari pengungsian di Aljir pada 15 November 1988 dibangun sangat rapuh tanpa tanah air dan wilayah geografis yang jelas. Mereka mengklaim Jerussalem Timur sebagai ibu kota dengan Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai wilayahnya. Secara ekonomi, pembiayaan negara juga berasal dari pendapatan yang tidak menentu. Keuangan terbesar berasal dari donasi negara-negara tetangga yang bersimpati terhadap perjuangan rakyat Palestina. Selanjutnya, secara de facto Pemerintahan Otoritas juga terpecah antara Hamas dan Fatah. Fatah yang berhasil memenangi pemilu mampu mengantarkan Mahmoud Abbas sebagai presiden otoritas dan bekedudukan di Tepi Barat, sementara wilayah Gaza dikuasai oleh mantan Analisis Peluang Kedaulatan Palestina Perdana Menteri Ismail Haniya dari Hamas. Dengan demikian, berdirinya negara Palestina yang berdaulat hanya impian semata kecuali tiga faktor berikut ini manifes: pertama, bersatunya kedua faksi politik tersebut dalam mewujudkan kemerdekaannya; kedua, pengakuan Israel terhadap otoritas Palestina sehingga mereka dapat hidup berdampingan secara damai; dan ketiga, mungkin benar pernyataan Mahmoud Ahmedi Nejad yang dilontarkan beberapa waktu lalu “untuk mengirim pulang komunitas Yahudi ke Eropa”. Wallhua’lam.