HikmahOpiniSantai

Hukum Orang-orang yang Membelot dari Pemimpin

Oleh ; Dian Rahmat Nugraha, SHI,M.Ag

Hukum Orang-orang yang Membelot dari Pemimpin

                Semua imam sepakat bahwa pemimpin yang sah wajib ditaati dalam setiap perintahnya selama bukan maksiat kepada Allah ditaati juga sepakat bahwa  hukum-hukum pemimpin, wakilnya dan semua pejabatnya   sah diberlakukan. Mereka juga sepakat jika ada kelompok yang membangkang dari pemimpin yang sah, dimana kelompok stu memiliki kekuatan, maka pemimpin boleh memeranginya hingga mereka kembali pada perintah Allah. Jika mereka kembali, maka peperangan harus dihentikan. Dalilnya adalah firman Allah,

وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang damaikanlah antara keduanya .” (Al-Hujurat: 9)

Meskipun ayat ini tidak menyebutkan perihal orang yang membangkan perintah pemimpin, akan tetapi mencakup hal itu karena atau mengharuskan demikian, sebab jika suatu kelompok harus diperangi karena berbuat aniaya terhadap kelompok lain, maka terlebih jika mereka melakukan aniaya terhadap pemimpin. Demikian pula j telah diberlakukan mengenai bolehnya seorang pemimpin memerangi kelompok bughat (pemberontak) tanpa ada ulama yang menyelisihina dan berdasarkan hadits-hadits yang berkaitan dengan hal itu. keumumannya

Imam Asy-Syafi’i berkata, “Sejarah peperangan melawan kaum musyrikin diambil dari perjalanan hidup Rasulullah. Peperangan melawan kaum murtad diambil dari perjalanan hidup Abu Bakar. Peperangan melawan buglut diambil dari perjalanan hidup Ali bin Abi Thalib”

Pembangkangan terhadap pemimpin bisa dilakukan dengan dua cara Pertama, dengan melakukan pemberontakan kepadanya. Kedua, dengan meninggalkan ketundukan terhadapnya. Atau, dengan tidak mentaati perintahnya dengan cara menolak pembayaran hak Allah yang berupa harta, atau hak adami semisal qisas, atau menolak had yang diarahkan kepadanya. Sebab, Abu Bakar memerangi para pembangkang zakat karena mereka enggan mengeluarkan zakat, bukan karena mereka memberontak kepadanya, mereka hanya menolak kewajiban yang dibebankan kepada mereka.

Mereka berkata, “Para penentang pemerintah disebut bughat apabila mereka memiliki kekuatan, baik dengan banyaknya jumlah maupun dengan adanya potensi yang memungkinkan mereka melakukan perlawanan kepada pemerintah. Disyaratkan pula adanya penakwilan yang membuat mereka yakin akan bolehnya menyelisihi pemerintah atau menolak kewajiban yang dibebankan kepada mereka. Disyaratkan pula mereka memiliki tokoh yang diikuti, sehingga mereka bisa menggalang kekuatan untuk melakukan pemberontakan, meskipun bukan pemimpin yang dipilih secara khusus. Sebab, Ali bin Abi Thalib memerangi pasukan onta (Perang Jamal) padahal mereka tidak memiliki pimpinan sama sekali. Demikian pula dia memerangi pasukan Shiffin sebelum pemimpinnya (Muawiyah -pent) secara resmi dipilih menjadi pemimpin mereka.”

Ulama Hanafiyah berkata, “Orang-orang yang membangkang pemerintah ada empat golongan:

Pertama, mereka yang membangkang tanpa takwil, baik dengan kekuatan atau pun tidak, mereka merampas harta benda manusia, membunuh dan melakukan teror sehingga orang-orang tidak bisa mempergunakan jalan. Mereka itulah para pembegal

Kedua, seperti di atas, hanya saja mereka tidak memiliki basis kekuatan Akan tetapi mereka memiliki takwil. Maka, hukumnya seperti para pembegal. Jika mereka membunuh, maka harus dibunuh pula.

Ketiga, suatu kaum yang memiliki kekuatan dan perlindungan, mereka membangkang kepada pemerintah dengan takwil pemerintah berada dalam kebatilan, kekufuran, atau kemaksiatan yang wajib diperangi berdasarkan takwil mereka. Itulah yang disebut Khawarij. Mereka menghalalkan darah kaum Muslimin, harta mereka, menawan kaum wanita mereka, mengkafirkan para sahabat Nabi . Hukum mereka menurut jumbur ahli fikih dan ahli hadits adalah seperti hukum para pemberontak.”

Ulama Malikiyah berkata, “Mereka dipaksa untuk bertaubat. Jika mereka tidak mau bertaubat, maka mereka harus diperangi untuk mencegah kerusakan yang ditimbulkan, bukan karena kekafiran mereka, sebab mereka adalah orang fasik, bukan kafir menurut pendapat yang paling tepat dari berbagai pendapat para mujtahid. Sebagian ahli hadits menyatakan bahwa mereka murtad, dan berlaku padanya hukum-hukum kaum murtad.”

Keempat, kaum muslimin yang keluar dari ketataan kepada pemerintah yang adil, namun tidak menghalalkan apa yang dihalalkan kaum Khawarij, seperti darah kaum Muslimin dan menawan kaum lemah mereka. Mereka itulah yang disebut bughat (pemberontak), Sebab, mereka menyelisihi Imam berdasarkan takwil, hanya saja mereka keliru dalam pentakwilannya. Mereka adalah orang-orang fasik. Sementara hadits-hadits yang diriwayatkan dengan mengandung celaan kepada mereka, seperti hadits, “Barangsiapa yang menghunus senjata kepada kami, maka brukan bagian dari kami,” atau hadits, “Siapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah, maka matinya adalah mati jahiliyah,” maka ini bagi orang yang keluar dari imam tanpa takwil

ulama Malikiyah berkata, “Memerangi pemberontak berbeda denga memerangi kaum kafir dalam sebelas hal, yaitu:

  1. Imam memerangi mereka dengan maksud menghentikan pembangkangannya, bukan untuk membunuhnya

  2. Orang yang lari tidak boleh dikejar

  3. Orang yang sudah terluka tidak boleh dibunuh

  4. Orang yang menjadi tawanan perang tidak boleh dibunuh

  5. Harta mereka tidak boleh diambil sebagai ghanimah

  6. Anak-anak mereka tidak boleh disandera

  7. Tidak boleh meminta bantuan orang musyrik dalam melawan mereka

  8. Tidak boleh berdamai dengan mereka dengan kompensasi harta

  9. Tidak boleh menyerang mereka dengan alat pelempar batu (yang menimbulkan kerusakan besar, seperti roket-pent)

10 Tidak boleh membakar rumah rumah amba

  1. Tidak boleh menebang pepohonan mereka

Mereka berkata, “Apabila sekelompok orang keluar det menolak hak Allah atau hak adami, atau enggan memang memisahkan diri darinya, meskipun pemimpinangang selah tidak boleh memisahkan diri dari imam telah dip (mereka tidak diperangi pent) akan tetapi wajib menasehati mereka bagi orang yang mampu melakukannya. Imam wajib memperingatkan para pemberontak dan mengajak mereka untuk mentaatinya. Jika mereka kembali pada jamaah, mereka dibiarkan. Jika mereka tidak mematuhi perintahnya, maka imam memeranginya dengan pedang, tombak, panah memecah barisan mereka, menghalangi mereka dari akses perbekalan dan air. Boleh juga melempari mereka dengan batu dan api jika tidak ada kasut wanita dan anak kecil di dalam pasukan mereka. Diharamkan menyandera anak-anak mereka, sebab mereka adalah kaum Muslimin. Diharamkan juga merusak harta kekayaan mereka, dan mengambilnya tanpa kebutuhan. Diharamkan pula memenggal kepala musuh setelah dibunuh, sebab itu berarti mutilasi terhadap kaum Muslimin. Dibolehkan menggunakan kuda dan peralatan mereka untuk memerangi mereka sendiri. Akan tetapi, setelah tidak lagi diperlukan, semua harus dikembalikan kepada mereka sebagaimana harta-harta yang lain.”

Jika imam sudah merasa aman dengan mengalahkan mereka, maka mereka harus dibiarkan, tidak boleh dijadikan budak, tidak boleh membunuh yang sudah terluka, tidak pula mengejar yang melarikan diri. Jika imam merasa belum aman, maka boleh baginya membunuh yang sudah terluka dan mengejar yang melarikan diri. Dimakruhkan bagi seseorang membunuh ayahnya yang memberontak, namun tidak dimakruhkan membunuh kakek atau anaknya. Jika dia membunuhnya, dia tetap mendapatkan warisan darinya, meskipun dengan sengaja, akan tetapi tanpa ada motif permusuhan. Adapun barisan wanita, jika berperang dengan senjata, maka dibunuh. Jika tidak, maka tidak boleh dibunuh

Ulama Hanafiyah berkata, “Jika sekelompok kaum Muslimin menguasai suatu wilayah dan mereka keluar dari ketaatan kepada imam, maka imam dianjurkan untuk menyeru mereka agar kembali pada jamaah dan menyingkap syubhat-syubhat yang membuat mereka keluar dari ketaatan terhadap imam. Sebab, Ali melakukan hal tersebut terhadap penduduk Harur. Akan tetapi, hal itu tidak wajib, hanya dianjurkan Sebab mereka sama seperti orang yang sudah sampai dakwah kepada mereka, tidak perlu didakwahi untuk kedua kalinya.

Mereka berkata, “Imam tidak boleh mendahului serangan terhadap pemberontak hingga mereka melakukannya terlebih dahlu. Jika mereka menyerang, maka imam membalasnya hingga mereka bercerai berai Dikatakan pula bahwa boleh mendahului serangan terhadap mereka jika mereka sudah berkemah dan berkumpul, sebab hukum sudah berlaku dengan adanya bukti bahwa mereka sudah berkumpul dengan maksud mengadakan serangan dan membangkang imam. Sebab, jika kita terus menunggu serangan mereka, mungkin sulit membendungnya, karena mereka terus memperkuat barisannya dan memperbanyak jumlah tentaranya. Apalagi fitnah sangat cepat menyambar para pembuat kerusakan, dan justru mereka itulah yang paling banyak. Maka, hukum disandarkan pada indikasi-indikasi untuk meredam serangan mereka. Jika sudah terdengar berita bahwa mereka membeli persenjataan dan bersiap untuk menyerang, maka sudah wajib menyerang mereka dan memenjarakan mereka hingga mereka melepaskan senjata dan bertaubat, sebagai bentuk penolakan terhadap keburukan semaksimal mungkin. Adapun yang diriwayatkan dari Abu Hanifah mengenai keharusan berdiam di rumah saat terjadi fitnah berdasarkan sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang menjauhi fitnah maka Allah akan membebaskan lehernya dari api neraka.” Juga sabda Rasulullah kepada salah seorang sahabat,” Jadilah permadani bagi rumahmu (berdiam diri di rumah).” Maka dipahami jika mereka tidak memiliki imam. Sementara apa yang diriwayatkan dari sekelompok sahabat yang memilih berdiam saat terjadi fitnah, dipahami karena mereka tidak memiliki kekuatan dan keleluasaan. Adapun membantu imam yang adil dan benar, itu adalah hal yang wajib saat memiliki kemampuan dan kelapangan, berdasarkan firman Allah 54, “Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (Al-Hujurat: 9)

Jika mereka masih memiliki pasukan, maka yang terluka boleh dibunuh dan yang lari boleh dikejar. Sementara jika tidak, maka yang terluka tidak boleh dibunuh dan yang melarikan diri tidak boleh dikejar, sebab keburukan sudah bisa ditolak tanpa harus melakukannya.

Ulama Asy-Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah berkata, “Imam tidak boleh mendahului peperangan dengan para pemberontak hingga mereka mulai melakukan serangan. Sebab, tidak boleh membunuh seorang Muslim kecuali membela diri, dan mereka adalah kaum Muslimin berdasarkan firman Allah . “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya” (Al-Hujurat: 9) berbeda dengan kafir, sebab darah kaum kafir halal ditumpahkan menurut mereka.

Ulama Asy-Syafi’iyah dan Hanabilah berkata, “Tidak boleh membunuh orang yang terluka dan tidak boleh mengejar orang yang melarikan diri, baik mereka memiliki pasukan maupun tidak. Sebab, mengejar yang melarikan diri dan membunuh orang yang sudah terluka dan lemah bukan lagi membela diri, berdasarkan riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Abd Khair dari Ali pada saat perang Jamal, “Janganlah kalian mengejar orang yang melarikan diri, jangan membunuh orang yang sudah terluka. Barangsiapa yang meletakkan senjatarıya, maka dia aman.” Disandarkan pula padanya kata-kata, “Dan tidak boleh membunuh tawanan.” Imam juga tidak boleh memerangi pemberontak hingga dia mengutus seorang utusan yang jujur dan cerdas untuk memberikan nasehat kepada mereka dan bertanya alasan pembangkangan mereka. Jika mereka menyebutkan syubhat atau kezaliman, maka dia harus menghilangkannya. Jika mereka tetap bersikukuh, maka dia harus menakut-nakuti mereka akan buruknya akibat pemberontakan, lalu mengumumkan perang kepada mereka.

 

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button