PANDANGAN MADZHAB SYAFI’I
TENTANG WALI DALAM PERNIKAHAN
Madzhab Syafi’iyah dalam hal ini diwakili oleh imam Taqiyudin Abi Bakar ibn Muhammad al Husaini al Husna al Dimasyqi al syafi’i dalam kitabnya Kifayatul Akhyar , dijelaskan bahwa wali adalah salah satu rukun nikah, tidak sah pernikahan kecuali dengan wali [1]
Dasar wali yang digunakan dalam madzhab Syafiiyah sebagai berikut : Al Qur’an surat al Baqarah ayat 232, yang berbunyi :
وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ اَنْ يَّنْكِحْنَ اَزْوَاجَهُنَّ اِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ
Maka janganlah kamu ( para wali ) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya ….”
Ayat diatas diturunkan kepada Ma’qil ibn Yasar ketika menolak untuk menikahkan saudara perempuannya yang ditalak oleh suaminya [2] Demikian pula, tulisan al-son’ani menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan ma’qil bin Yasar yang menolak menikahkan saudara perempuannya yang ditalak raj’I oleh suaminya. Dan menurut imam al-Syafi’i ayat ini jelas sekali menunjukan status wali sebagai hal yang wajib dalam pernikahan . [3]
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, yang berbunyi
لَا نِكَاح إِلَّا ولِي وشاهدي عدل وَمَا كَانَ من نِكَاح عَلَى غير ذَلِك فَهُوَ بَاطِل
Tidak ada nikah , kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil dan tidak ada nikah selain seperti itu, maka nikahnya batil
Landasan ketiga dari madzhab syafiiah adalah qaul syar’I yang berbunyi :
“ Tidak syah akad nikah kecuali dengan wali laki- laki dan jika terjadi aqad nikah seorang perempuan, maka akadnya batal[4]
Secara umum, ulama Syafi’iyah membedakan wali menjadi tiga : Wali dekat ( Aqrab), wali jauh (Ab’ad ) dan wali hakim. Bagi Imam al – syafi’i, pihak yang berhak menjadi wali adalah ayah dan keluarga pihak laki laki. Adapun urutan wali adalah :
- Ayah
- Kakek dari pihak bapak
- Saudara laki laki kandung
- Saudara laki laki sebapak
- Anak laki laki dari saudara laki laki kandung
- Anak laki laki dari saudara laki laki sebapak
- Paman sekandung
- Paman sebapak
- Anak laki laki dari paman seibu sebapak
- Anak laki laki dari paman sebapak
- Hakim
Apabila dalam perkawinan terdapat dua orang yang berhak menjadi wali, yang satu saudara kandung dan yang satu saudara sebapak, siapakah diantara mereka yang berhak menjadi wali ? Dalam qaul qadim, imam al syafi’i berpendapat bahwa hak perwalian saudara kandung dan saudara sebapak adalah sama (sejajar) karena wali nikah ditentukan berdasarkan nasab laki laki [5]
Sedangkan qaul jadid, Imam syafi’i berpendapat bahwa saudara kandung lebih untuk menjadi wali perkawinan atas saudara sebapak, karena mereka lebih berhak mendapatkan ‘ashabah ( harta waris sisa) dalam pembagian harta pusaka [6]
Dalam tulisan lain, urutan wali dalam pandangan Madzhab syafi’iyah adalah paling utama adalah ayah , Kakek, saudara laki laki bapak dan ibu, saudara laki laki ibu,anak saudara laki ibu, bibi,anak saudara laki bapak, paman, anaknya paman, dan seterusnya dari pihak bapak[7]
Posisi ayah dalam madzhab syafi’i adalah mutlak sebagai wali yang paling utama, sebagaimana ibnu Rusyd yang mengutip perkataan imam syafii, menjelaskan bahwa imam syafi’i berkata: “tidak terjadi aqad seseorang selagi masih ada bapak baik kepada gadis maupun janda”[8]Urutan wali terakhir dalam madzhab syafi’i adalah sulthon. Sebagaimana hadis nabi saw., yang berbunyi
Hadits Rasulullah SAW, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Dan Abu Dawud, Ibnu Majah Dan Tirmidzi yang berbunyi:
ايما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل،فنكاحها باطل، فنكاحها باطل ،
فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها، فإن اشتجروا فالسلطان ولي
من لا ولي له
“Orang-orang perempuan yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahannya batal, maka pernikahannya batal, maka pernikahannya batal, apabila perempuan tersebut telah kumpul sebadan, maka baginya berhak mas kawin sebagai akibat dari penghalalan farjinya dan apabila walinya enggan untuk menikahkan, maka hakim yang bertindak sebagai wali bagi perempuan yang tidak mempunyai wali”
[1] Al Dimsyiki, T.Th Kifayatul Akhyar fii Halli Ghayat al Ikhtisar Beirut Dar al Fikr,jilid 2 ,,hlm 48 [2] Ibid [3] Dalam pandangan ulama lainnya , sebab nuzul ayat ini, bukan untuk kewajiban wali sebagai rukun nikah akan tetapi ayat ini menunjukan terhadap masalah menikahkan dirinya sendiri. Pendapat ini semisal al Bukhari dan al Raji [4] Abi al mawahib Abd AL Wahab ibn ahmad in Alaa al anshori T.TH. al mizan al kubro. Jilid II, hlm. 109 [5] Abi Ishaq Ibrahim: Sayid sabiq, Fiqh al sunnah,Libanon Daar al Fikr 1983 [7] Ibid, hlm. 51 [8] Ibnu Rusyd, OP.Cit, hlm.11