A. Hukum Udhiyah
Mayoritas fuqaha, diantaranyanya adalah mazhab asy-Syafi’i dan Hanbali, termasuk pendapat yang paling kuat (rajih ) menurut Imam Malik dan salah satu riwayat dari Abu yusuf menyatakan bahwa udhiyyah adalah sunnah muakkadah Pendapat ini juga diungkapkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Bilal, Abi Mas’ud al Badry, Suwaid bin Aqlah, Said bin Musayyib, Agha, Iqlimah, al-Aswad, shaq Abi Tsaur dan Ibnu Mundzir
Mayoritas ulama menggunakan beberapa dalil atas kesunnahan udhiyyah. Salah satunya adalah sabda Rasulullah :
ذا دخل الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدَكُمْ أَنْ يُصْخِي فَلَايمس من شعره وَلَا بَشَرِهِ شَيْئًا I
Apabila masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak melakukan kurban, ia tidak boleh memegang rambut atau kulitnya sama sekali.
Dalam hadits tersebut, pernyataan salah seorang di antara kalian menunjukkan bahwa udhiyyah adalah sunnah. Jika kurban itu wajib hukumnya, Rasulullah SAW tentu cukup bersabda, “la tidak boleh memegang rambut atau kulitnya sama sekali.”[1]
Dalil lainnya adalah riwayat yang menyatakan bahwa Abu Bakar dan Umar bin Khatthab lakukan kurban dalam jangka sampai dua tahun karena khawatir dianggap sebagai kewajiban.” [2]Keputusan ini menunjukkan bahwa keduanya mengetahui dari Rasulullah bahwa berkurban itu tidak wajib. Tidak ada seorangpun dari sahabat yang meriwayatkan sebaliknya
Sementara , Abu Hanifah berpendapat bahwa berkurban wajib hukumnya. pendapat ini didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Muhammad, Zafar dan Abu Yusuf, Pendapat ini didukung pula oleh Rabčah, Laits bin Sa’ad, al-Awzały, ats-Tsauri dan Malik. Pendapat mereka ini berlandaskan dalil dengan firman Allah .
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ
Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan dekatkan diri kepada Allah), (QS. 108/Al Kautsar ayat 2 )
Tafsir tersebut menunjukkan perintah untuk menunaikan Shalat ‘Idul Adha dan menyembelih unta. Keumuman perintahnya adalah sebagai sesuatu hal yang wajib Selama diwajibkan bagi Rasulullah, tentu diwajibkan pula bagi umat beliau karena beliau adalah panutan.
Rasulullah juga pernah bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Barangsiapa yang memiliki keleluasaan dalam rezeki dan tidak mau berkurban, janganlah mendekati tempat shalat kita.
Sabda beliau ini berisi seperti ancaman orang yang meninggalkan kurban. Ancaman hanya muncul akibat meninggalkan hal yang wajib.
Selain itu, Rasulullah bersabda pula
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيَذْبَحْ أُخْرَى مَكَانَهَا وَمَنْ لَمْ يَذْ بَحْ فَليَذْبَحْ بِاسْمِ اللّهِ
Barangsiapa yang menyembelih sebelum melaksanakan Shalat “Idul Adha hendaklah ia menyembelih seekor kambing sebagai gantinya. Akan tetapi, barangsiapa yang belum menyembelih , hendaklah ia menyembelih dengan nama Allah[3]
Sabda Rasulullah SAW tersebut merupakan perintah untuk menyembelih hewan kurban dan mengulang penyembelihan jika hewan disembelih sebelum pelaksanaan Shalat Idul Adha. Pendapat ini juga menjadi dasar hukum diwajibkannya kurban.”
Mazhab Hanafi mengatakan, berkurban hukumnya wajib Ain (kewajiban tiap individu) yang memenuhi syarat wajibnya. Kurbaan untuk satu orang dengan seekor kambing dan untuk tujuh orang bisa dengan seekor sapi atau unta meskipun bisa pula untuk satu orang saja
Ada pula ulama yang berpendapat bahwa berkurban adalah sunnah ‘ain. Pendapat ini dikemukakan Abu Yusuf. Menurutnya, tidak diperbolehkan satu hewan kurban untuk satu orang dan anggota keluarganya atau selain mereka.
Ada juga ulama yang mengatakan, kurban atau udhiyah hukumnya sunnah ‘ain meskipun hanya hukum. Maksudnya, setiap orang diminta untuk melakukan kurban. Jika ada seseorang yang melakukan kurban dengan niat untuk dirinya sendiri, kurban itu hanya untuk dirinya. Jika dilakukan dengan niat untuk menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya atau diniatkan untuk orang lain, tuntutan bagi orang yang ikut bersamanya atau turut serta di dalam kurbannya sudah gugut. Pendapat ini diungkapkan oleh mazhab Maliki. Penjelasannya, jika seseorang berkurban dengan niat untuk dirinya sendiri, tuntutan untuk dirinya menjadi gugur. Adapun jika ia berkurban dengan niat untuk dirinya, kedua orang tuanya yang fakir dan anak-anaknya yang masih kecil, kurban ini jatuh untuk mereka.
Seseorang boleh menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya sebelum hewan disembelih dengan jumlah yang bisa lebih dari tujuh orang. Syarat penyertaan dalam pahala kurban ini ada tiga. Pertama, tinggal bersamanya. Kedua, menjadi kerabatnya meskipun jaraknya jauh atau menjadi istri Ketiga, dinafkahkan kepada orang yang bergabung dengannya (dalam kurban) secara wajib, seperti kedua orang tua, anak-anaknya yang masih kecil dan fakir; atau didermakan kepada orang-orang kaya di antara mereka, seperti paman, saudara, atau paman dari ibu. Jika orang-orang yang tergabung dalam kurban memenuhi syarat-syarat tersebut, gugur tuntutan berkurban dari mereka semua.
Jika seseorang kurban dengan seekor kambing atan dengan diniatkan untuk orang lun jumlahnya lebih dari tujuh orang tanpa menyatakan bahwa dirinya bersama mereka dalam kurban tersebut, tuntutan berqurban atas mereka tetap bisa gugur dengan kurban ini. Hal tersebut berlaku meskipun mereka tidak memenuhi tiga syarat di atas. . Hewan yang dikurbankan hendaknya adalah milik pribadi orang yang berkurban. Jika ada orang lain ikut memiliki hewan tersebut (berkongsi ), maka kurbannya tidak sah. Hal ini akan dijelaskan dalam syarat sah kurba
Ada diantara ulama yang mengatakan bahwa hukum berkurban adalah sunnah. Ada yang mengkategorikannya sebagai sunnah ain dan sunnah kifayah bagi anggota satu keluarga. Demikian pendapat mazhab asy Syafi’i dan Hanbali. Mereka berpendapat pula bahwa seseorang yang berkurban dengan satu ekor hewan, meskipun hanya berupa kambing, atas nama dirinya dan anggota keluarganya, diperbolehkan.
Mazhab asy-Syafi’i sendiri memiliki penafsiran yang beragam untuk istilah anggota satu keluarga. Pendapat yang paling kuat (rajih ) menyatakan bahwa ada dus makna mengenai istilah ini. Pertama adalah orang orang yang wajib dinafkahi. Pendapat ini dipilih oleh asy-Syamsu ar Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj. Kedai adalah orang orang yang disatukan dalam satu nafkah dari satu orang meskipun hanya dalam bentuk sumbangan. Pendapat ini di-shahih-kan oleh asy-Syihab ar-Ramli pada catatan pinggir kitab Syarh ar-Raudh
Maksud berkurban hukumnya sunnah kifayah adalah bahwa setiap orang yang mampu berkurban disunnahkan untuk melakukannya sehingga gugur tuntutan atas beberapa orang karena tindakan satu orang yang bijaksana di antara mereka. Akan tetapi, setiap orang dari mereka tidak ada yang mendapatkan pahala berkurban, kecuali jika orang yang berkurban berniat menyertakan mereka dalam pahala berkurban.”
Di antara dalil yang dijadikan sandaran oleh ulama yang mengatakan bahwa berkurban itu hukumnya sunnah kifayah adalah riwayat mengenai seorang laki-laki dan anggota keluarganya yang berkurban Dikatakan dalam atsar Abu Ayyub al-Anshari , Dahulu kami pernah berkurban dengan seekor unta yang disembelih oleh seseorang atas nama dirinya dan anggota keluarganya ia lalu membangga banggakan perbuatannya kepada semua orang Karena itu, kurban yang dilakukannya menjadi kebanggaan diri. Konteks atsar yang diucapkan oleh Abu Ayyub ini tampaknya menjadi hadits marfu
B. Syarat Wajib atau Sunnah Berkurban
Syarat wajib berkurban karena nadzar sama dengan syarat-syarat bernazar, yakni Islam, baligh, berakal, merdeka dan mampu memilih. Jika diwajibkan secara syariat, menurut kelompok yang mengatakan berkurban itu wajib, syarat wajib berkurban ada empat Muhammad dan Zafar menambahkan dua syarat lainnya. Semua syarat ini atau sebagiannya disyaratkan pula bagi yang berpendapat bahwa berkurban itu sunnah. Mazhab Maliki menambahkan satu syarat lainnya dalam sunnah berkurban.
1) Islam
Syarat pertama adalah Islam. Karena itu, beda agama tidak wajib qurban dan juga tidak pula disunnahkan sebab berkurban adalah ibadah mendekatkan diri kepada Allah. Menurut mazhab Hanafi, tidak diharuskan adanya keislaman di semua waktu yang diperbolehkan berkurban, bahkan cukup di akhir waktu saja. Sebab waktu wajibnya lebih diutamakan daripada pelaksanaan hal yang wajib. Dengan demikian dicukupkan dalam kewajiban berkurban adanya sebagian saja dari waktu, seperti halnya shalat. Syarat Islam ini disepakati oleh kelompok yang mengatakan bahwa berkurban itu wajib maupun sunnah. Syarat ini bahkan juga menjadi syarat berkurban secara sukarela.
2) Berdiam ( tidak Bepergian)
Syarat kedua adalah berdiam (tidak musafir). Karena itu, tidak wajib bagi musafir untuk berkurban. Sebab berkurban tidak bisa dilakukan tanpa persediaan uang yang cukup dan berkurban juga tidak bisa dilakukan pada setiap waktu. Berkurban dilakukan dengan hewan tertentu dan waktu tertentu. Jika musafir diwajibkan berkurban , maka ia harus membawa hewan kurban itu bersamanya, Hal ini tentu akan menyulitkan musafir dan menimbulkan kerugian kepadanya. Karena iman musafir tidak wajib berkurban.
Berbeda dengan orang yang sedang adab bepergian meskipun ia sedang melakukan kegiatan ibadah haji. Atsar yang diriwayatkan oleh Nafi dari Ibnu Umar menyebutkan bahwa ia menitipkan sejumlah uang senilai hewan kurban bagi siapa saja yang tidak pergi menunaikan ibadah haji di antara keluarganya. Hal tersebut dilakukan agar mereka bisa berkurban secara sukarela.” Para anggota keluarga itu sangat mungkin akan berkurban atas nama diri mereka sendiri, bukan atas nama Ibnu Umar Karena itu, tidak wajib berkurban meskipun ada kemungkinan untuk melaksanakannya.
Demikian pendapat mazhab Hanafi yang menyatakan diwajibkan berkurban. Fuqaha yang menyatakan bahwa berkurban adalah sunnah, mereka tidak memberikan syarat syarat di atas. Begitu pula , tidak ada syarat dalam berkurban secara sukarela agar tidak menghalangi orang ingin berkurban sunnah maupun secara sukarela
3) Memiliki Kelebihan Rezeki
Syarat ketiga adalah memiliki kelebihan rezeki. Kelebihan ini diistilahkan dengan keleluasaan sebagaimana yang dalam hadits,” Barangsiapa yang keleluasaan dalam rezeki dan tidak mau berkurban, janganlah mendekati tempat shalat kita.” Keleluasaan itu berarti kelebihan rezeki. Menurut mazhab Hanafi, keleluasaan itu dibuktikan dengan seseorang yang memiliki uang sejumlah dua ratus dirham atau dua puluh dinar atau seseorang yang memiliki benda lain yang memiliki nilai yang sama dengan itu. selain itu keleluasaan seseorang dilihat pula dari tempat tinggalnya, kebutuhan pokoknya dan hutangnya
Menurut mazhab Malik, tanda bahwa seseorang memiliki kelebihan rezeki adalah daging hewan qurban tidak dikuasai oleh yang berqurban dan tidak membutuhkan daging kurban untuk memenuhi kebutuhan primernya.
Mazhab as -Syafii juga berpendapat bahwa berkurban disunnahkan hanya kepada orang yang mampu melakukannya, yaitu orang yang memiliki apa yang bisa menghasilkan hewan kurban, Kelebihan ini, yakni dari apa yang dibutuhkannya pada hari Idul Adha, malam harinya, serta hari tasyrik (11-13 Dzulhijjah) dan malam-malamnya.
4) Baligh dan Berakal
Syarat baligh dan berakal ini merupakan syarat yang ditetapkan oleh Muhammad dan Zafar. Adapun Abu Hanifah dan Abu Yusuf tidak mensyaratkannya. Menurut mereka, berkurban tetap diwajibkan pada harta anak kecil dan orang gila yang memiliki keluasan rezeki. Perbedaan pendapat mengenai hal ini, seperti perbedaan dalam zakat fitrah
Orang gila dan tersadar kondisinya dianggap berada dalam ketidakwarasan dan kesadaran Jika keadaan gila itu terjadi pada hari an-nahr, maka ada perbedaan, jika kondisi sadar terjadi pada hari an-nahr. maka berkurban diwajibkan atas hartanya tanpa ada perbedaan. Ada yang mengatakan bahwa hukum orang gila yang sadar atau sembuh dari penyakit gilanya pada hari an-nahr, sama seperti orang yang sehat pada umumnya bagaimanapun keadaanya
Hal ini merupakan pendapat penulis al Badaai dengan maksud mendukung pendapat yang mewajibkan kurban bagi orang gila tersadar pada hari an-nahr. Penulis kitab of Kaafi membenarkan pendapat yang tidak mewajibkan orang gila berkurban meskipun mengalami kondisi sadar pada hari an-nahr . Pendapat ini didukung pada oleh Ibnu Syahnaz dan dijadikan sandaran oleh penulis kitab ad-Dur al-Mukhtar dengan mengutip dari teks utama kitab Mawaahidur Rahman bahwa pendapat yang ashah (paling benar) adalah apa yang telah difatwakan oleh dirinya. Ibnu Abidin berpendapat bahwa pendapat ini dipilih oleh penulis kitab al Malmultaqa. Di sana ia menyebutkan dan memaparkan pula pendapat sebaliknya dengan mengistilahkannya sebagai pendapat yang lama dengan ungkapan ‘dikatakan . Pendapat yang diungkapkan di atas merupakan pendapat mazhab Hanafi
Mazhab Maliki berpendapat bahwa baligh dan berakal bukan syarat berkurban, Disunnahkan bagi wali asuh anak kecil dan orang gila untuk berkurban dengan harta yang dikeluarkan dari simpanan mereka berdua meskipun mereka adalah anak yatim.
Mazhab asy-Syafi’i berpendapat, wali asuh tidak boleh berkurban atas nama orang orang yang berstatus mahjur alaih (dilarang mengelola harta) atas harta mereka. Wali asuh diperbolehkan berkurban atas nama anggota keluarga dengan harta yang dikeluarkan dari harta simpanan anak itu meskipun anggota keluarga itu adalah ayah atau kakek kandung anak itu. Sebab seakan-akan hewan kurban hal itu adalah milik mereka dan disembelih atas nama mereka. Dengan demikian, pahala sumbangan qurban untuk anggota keluarga akan diberikan kepada anak itu, sedangkan anggota keluarga akan mendapatkan pahala Kurban
Mazhab Hambali berpendapat mengenai anak yatim yang memiliki simpanan harta. Dalam hal ini, wali asuhnya boleh berkaitan atas nama anak yatim iru dengan harta simpanannya atau dari harta yang ditinggalkan. Hal ini dilakukan demi menghormati han Idul Adha, bukan karena wajib
Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa hanya mazhab Maliki yang memberikan syarat berkurban sunnah, yaitu hendaknya tidak dilakukan oleh orang yang sedang melakukan ibadah haji. Dengan demikian, orang yang sedang beribadah haji tidak dituntut berkurban secara syariat, baik saat berada di Mina maupun tempat lainnya. Orang yang tidak sedang melakukan ibadah haji diminta untuk berkurban sunnah , baik sedang melakukan umroh maupun berada di Mina menurut madzhab Hanafi, berkurban sunnah bagi yang sedang beribadah haji atau bepergian tidak wajib.
Jenis kelamin laki laki atau penduduk kota bukanlah syarat wajib dan sunnah qurban. Jika laki-laki diwajibkan, perempuan pun akan diwajibkan. Jika orang yang tinggal di kota diwajibkan, orang yang tinggal di desa atau pedalaman pun akan diwajibkan. Sebab dalil dalil wajib atau sunnah berkurban mencakup semua golongan.
[1] diriwayatkan oleh Muslim, dim. 1565, cetakan
[2] Atsar dari Abu Bakar ash Shiddiq dan umar bin Khattab diriwayatkan oleh Baihaqi, jilid 9. m. 265, cetakan Darul Manal Umiyyah Dikategorikan hasan oleh an an Nahawand A 6, him. 363, enakan al Munirah
[3] Adah Sharari, jilid 5, hlm 42