Analisis Fatwa MUI Tentang Nikah Mut’ah dan Nikah Di Bawah Tangan dalam Perlindungan Perspektif Maslahah
Dari segi pengertiannya, nikah mut’ah di Indonesia dapat juga disebut nikah kontrak Nikah kontrak adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan dengan kontrak (perjanjian) dalam batas waktu tertentu dan ada pemberian mahar (sejumlah uang). Apabila masa (kontrak) telah usai, maka dengan sendirinya perpisahan (thalaq) terjadi tanpa ada kata “talak atau warisan. Namun demikian, batas waktu nikah kontrak juga dapat diperpanjang masanya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.”
Proses nikah kontrak itu seperti akad nikah pada umumnya. Ada saksi, mahar, penghulu dan ijab qabul. Namun nikah kontrak memiliki perbedaan yang jelas dengan pernikahan yang biasa (daim), yaitu dalam nikah kontrak mempunyai jangka waktu yang ditentukan, misalnya, selama tiga hari, seminggu atau sebulan saja sesuai dengan perjanjiannya dan tanpa dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Pernikahan jenis ini ibarat kontrak rumah, namanya kontrak itu tidak selamanya. Apabila ketika akad berlangsung dan tidak tersebut batas waktu nikahnya, maka pernikahan akan berlaku permanen (daim). Maka pernikahan jenis ini tidak ada tujuan yang Jelas, selain hanya untuk bersenang-senang (urusan syahwat) sesaat, tidak untuk tujuan membangun kehidupan keluarga yang harmonis dan selamanya (daim).
a. Tinjauan Hadits Nabi tentang Nikah Mut’ah
Pelaksanaan nikah kontrak pada zaman nabi saw ini dipraktekkan sebelum stabilnya Islam, tetapi kemudian diharamkan selamanya. Nikah kontrak diperbolehkan pada masa Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah) pada tahun 8 H/630 M. Perlu dicermati bahwa kebolehan nikah kontrak ketika itu tidak untuk semua orang, tapi pada kondisi tertentu yang sangat mendesak , Menurut Yusuf al-Qardhawi, rahasia diperbolehkan nikah kontrak pertama kali pada zaman Nabi saw, karena umat ketika itu berada pada “masa transisi” dari Jahiliah ke dunia Islam. Di mana pada zaman Jahiliyyah, perzinahan merupakan budaya yang lumrah dan kerap terjadi. Karena ketika itu belum ada aturan dan batasan tentang hukum-hukum pernikahan, sehingga Islam datang yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw dengan memberi aturan pada pernikahan
Memahami hadits di atas, tidak bisa lepas dari kondisi dimana Islam baru saja disyiarkan. Masyarakat Arab Muslim baru sedikit dan berangsur-angsur mulai meninggalkan adat lamanya (jahiliyyah). Rasulullah saw mereformasi secara bertahap dan pelan-pelan adat Jahiliyyah tersebut. Demikian hukum nikah kontrak (mut’ah ), dibolehkan hanya dalam keadaan tertentu dan tidak digunakan untuk semua keadaan. Hadits tersebut sifatnya kondisional, yakni Rasulullah saw memberikan jawaban kepada para Sahabat yang terjepit dalam sebuah kondisi yang jauh dari istri-istri mereka dan tidak memungkinkan untuk kembali sesaat ke rumah masing-masing. Kondisi semacam itu dapat dikategorikan sebagai keadaan yang darurat الضرورات تبيح المحظورات (keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang).
Keadaan darurat yang dimaksud di sini adalah di medan yang jauh dari istri-istrinya, maka tiada pilihan lain. Apabila tidak dibolehkan maka dengan perempuan-perempuan di sekitar lokasi peperangan terjadi, para Sahabat mungkin memilih dengan mengebiri atau dikhawatirkan justru terjerumus ke lembah perzinaan maka dihalalkan mut’ah pada awal Islam adalah untuk melunakkan hati mereka yang baru saja menerima ajaran Islam Sungguh tidak rasional jika Rasulullah saw menuntut para sahabat yang sedang berjihad tersebut dengan berpuasa untuk melemahkan syahwatnya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang lain agar menahan syahwat dengan puasa. “Karena jika demikian. akan banyak Sahabat yang merasa berat pergi berjihad. Sedangkan Islam harus disebarkan secara meluas.
Berdasarkan keterangan di atas bahwa pernikahan kontrak diperbolehkan pada era Nabi saw karena :
(1) Merupakan rukhsah (keringanan) untuk memberikan jalan keluar dari problematika yang dihadapi oleh dua kelompok yang imannya kuat dan lemah, dalam kondisi berjihad perang yang jauh dari istri-istri mereka.
(2) Merupakan langkah awal perjalanan hukum Islam menuju ditetapkannya kehidupan rumah tangga yang sempurna untuk mewujudkan semua tujuan pernikahan, melestarikan keturunan, cinta kasih sayang dan memperluas kekeluargaan melalui perbesanan
b. Tinjauan Fenomena Nikah Mut’ah dan Nikah Sirri di Indonesia
Selain mengundang kontroversi, nikah mut’ah, sebenarnya tidak lazim di Indonesia, karona masyarakat Indonesia pada umumnya bermazhab Sunni. Jenis nikah mut’ah merupakan budaya bagi penganut aliran Syi’ah (di Iran). Namun, ternyata, di beberapa tempat di Indonesia telah mempraktekkan jenis nikah ini untuk tujuan sesaat.
Fenomena pernikahan mut’ah tersebut cukup memprihatinkan. Bahkan, menurut penelitian Litbang Kemenag bahwa pernikahan kontrak di Indonesia sebagian besar telah menjurus ke penyimpangan . Penyimpangan ini dapat ditinjau pada tata cara pelaksanaan pernikahannya yang tidak mengikuti aturan Undang-Undang pernikahan yang berlaku di Indonesia dan hanya syahwat sesaat, sehingga otomatis tanpa memperhatikan dampak pasca pernikahan,ada hak anak dan tanpa ada waris mewarisi
Menurut Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, UU RI no.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun syarat rukunnya, diatur dalam UU RI no. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dan 2, (1) yakni perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya, Ayat (2) berbunyi, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jadi, menurut UU yang berlaku di Indonesia, bahwa pernikahan tidak berlaku bagi yang sejenis dan bersifat monogami kecuali dengan alasan-alasan tertentu. Pasal 2 (1), pernikahan harus dilangsungkan secara hukum agama atau kepercayaannya masing-masing. Sementara dalam pasal 2 (2), bahwa pernikahan tersebut dicatatkan. Ayat ini tidak tegas, sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda Versi pertama, menganggap bahwa pernikahan di Indonesia harus dibuktikan dengan adanya buku nikah. Versa kedua, menganggap bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan pada pihak yang berwenang, bukan berarti tidak sah, asalkan syarat rukunnya terpenuhi . Dalam posisi ini, fatwa MUI masuk dalam kategori versi kedua
Meskipun dipandang sah, namun bentuk pernikahan di Indonesia yang tidak dicatatkan ini apabila ditinjau dalam perspektif maslahah atau pun teori gender, jenis pernikahan ini rentan kepada praktik-praktik yang tidak dapat dibenarkan. Seperti pengabaian hak-hak perempuan atau anaknya, jika ada. Bahkan tak jarang pernikahan jenis ini rentan kepada tindak human trafficking (perdagangan manusia) Artinya, bentuk pernikahan di bawah tangan disinyalir dapat mengundang mudharat, terutama dalam sudut pandang tiada perlindungan hak-hak perempuan dan anak