HikmahNgajiOpini

Antara Sunah dan Bid’ah

oleh: Dian Rahmat N, SHI, M.Ag

 

Sebagai seorang Nabi yang menyampaikan risalah, Nabi Muhammad juga diberikan otoritas untuk menjelaskan wahyu yang diturunkan oleh Allah. Allah berfirman,

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Dan Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (an-Nahl/16: 44)

Penjelasan Nabi  terhadap Al-Qur’an, menurut al-Baghawi, ditemukan dalam sunah. Secara bahasa, sunnah berarti cara  atau jalan, yang baik maupun yang buruk. Di kalangan para ahli, sunah diartikan sebagai perkataan, perbuatan dan ketetapan (taqrir ) yang dinisbatkan/disandarkan kepada Rasulullah. Termasuk juga sifat fisik dan psikis Nabi, baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya. Taqrir adalah pembenaran Nabi melalui sikap diam terhadap perbuatan yang dilakukan orang lain (sahabat ). Sebagai lawan dari kata bid’ah, sunnah diartikan  sebagai segala sesuatu yang sejalan dengan Al-Qur’an dan hadits (perkataan, perbuatan, ketetapan Nabi).  Sebaliknya, segala sesuatu yang tidak ada sandarannya  dalam Al-Qur’an dan atau sunnah disebut bid’ah

Kategorisasi sunnah dan bid’ah memunculkan pertanyaan apakah keberadaan sunnah dipandang sebagai sawabit (ketetapan) yang harus diterima dan dilaksanakan apa adanya, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurang? Ataukah masih dimungkinkan melakukan perubahan, baik berupa penambahan maupun pengurangan, yang disebut dengan bid’ah? Dan bila tidak ditemukan ketetapan dalam sunnah, dalam arti Nabi tidak melakukannya, apakah dalam agama di mungkinkan untuk dilakukan?

Para Sahabat dan ulama setelahnya memahami sikap Nabi secara bijak dengan membedakan antara yang disampaikan oleh Rasul sebagai manusia dan yang disampaikannya sebagai seorang yang menyampaikan wahyu Allah (Nabi dan Rasul), sehingga mereka membagi sunah dalam dua kategori, pertama, sunah yang mempunyai  implikasi  hukum yang harus diikuti ( Tasyriyyah ) dan kedua  yang tidak berimplikasi hukum (gair tasriyyah ).

Satu hal yang harus diyakını, kebanyakan surah Rasul, baik yang berbentuk ucapan , perbuatan dari ketetapan, mempunyai  implikasi hukum yang harus diikuti (Tasyriyyah ) sebab dengan mengikutinya kita akan mendapat petunjuk  (al. A’raf/7 158) Tetapi mayoritas ulama, seperti dikutip yusufal-Qaradawi, juga sepakat, ada sekian banyak hadis yang tidak berimplikasi hukum, terutama yang berkaitan dengan beberapa persoalan keduniaan. Di antara ulama yang mengklasifikasikan hadis dalam bentuk  di atas al qarrafiy  (w. 684 H), dll

Contoh kasus yang sering dikemukakan adalah ketika  Nabi datang ke Madinah dan menemukan masyarakat di situ selalu mengawinkan serbuk jantan dan betina dari pohon kurma agar produksinya meningkat. Saat itu Rasulullah menganjurkan agar mereka tidak melakukan hal tersebut. Saat panen tiba, penghasilan kebun mereka berkurang, dan dengan segera mereka melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah. Menanggapi itu beliau bersabda, “aku hanyalah manusia  biasa, jika aku memerintahkan ajaran  agama maka ambillah, dan jika yang aku sampaikan hanyalah sekadar pendapat maka ketahuilah aku hanya seoramng manusia biasa ( HR Muslim )

 

Dalam hadis lain beliau menanggapi dengan ungkapan “ kalian lebih tahu dalam keduaniaan yang kalian geluti ” (Riwayat Muslim) Hadits tersebut dengan berbagai versinya  menunjukan  bahwa Nabi memberikan pendapat  dalam salah satu persoalan keduniaan yang tidak dikuasainya. Beliau adalah salah seorang dan penduduk Mekah yang tidak berprofesi sebagai petani kurma, sebab  kota Mekah adalah daerah tandus yang tidak cocok untuk pertanian dan perkebunan. Saran beliau saat itu oleh para Sahabatnya dipandang sebagai ajaran agama yang harus dekati, tetapi kemudian ternyata saat panen tiba hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dari sini kemudian Rasul menjelaskan, dalam  soal teknis yang tidak terkait dengan persoalan agama, para ahli di bidangnya lebih tahu dari Rasul. Karenanya, pakar hadis terkemuka dan penyusun kitab penjelasan  …Shahih Muslim, Imam an-Nawawi meletakkan hadis tersebut di bawah judul, (Bab kewajiban mengikuti sabda Rasul yang berupa syariat agama, bukan persoalan keduinaaan yang disampaikan Rasul berdasarkan pendapat).

 

Dalam hal yang membuat para Sahabat ragu apakah sebuah sikap dari Nabi berdasarkan pendapatnya ataukah perintah dari Allah, tidak jarang mereka mengkonfirmasinya kepada Nabi. Misalnya, pertanyaan seorang Sahabat, al-Khabbab bin al-Munzir, yang bertanya tentang strategi penempatan pasukan saat perang Badar.

 

فقال له الحبَّابُ بْنُ الْمُنْذِرِ يَا رَسُولَ اللهِ منزل الزلكه الله لَيْسَ لَنا أَن يَتَعَدَّاهُ وَلَا نَفْصِرَ عَنْهُ، أَمْ هُوَ الرَّأْيِ وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيْدَةُ

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلْ هُوَ الرأي وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيدَةُ، فَقَالَ الحَيَّابُ: يَا

رسول اللهِ، فَإِنَّ هَذَا لَيْسَ بِمَنْزِِ

 

Al habbab berkata : Wahai Rasululloh apakah tempat ini Anda pilih berdasarkan perintah  Allah yang yang tidak boleh  kita langgar ataukah sekedar  pendapat dan strategi perang ? Rosul  menjawab, Ini halaman pendapat dan strategi “ Allhabbab berkata “ kalau  begitu ini bukanlah tempat yang tepat “

Atas dasar itu Mahmud Syaltut dengan merujuk kepada al Dahlawy membedakan sunah rosul dalam beberapa kategori

  1. Yang disampaikan dalam kapasitasnya sebagai Rasul, seperti: penjelasan tentang ibadah, halal-haram, akidah, akhlak, penjelasan terhadap Al-Qur’an (tabyinul mujmal l taksisul am  seterusnya), sebagai ketentuan agama yang berlaku umum dan tidak boleh berubah sampai han Kiamat.
  2. Yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai pemimpin kaum Muslim (al imamah dan arriyasah ), seperti mengirim pasukan ke medan perang, pembagian gonimah (hasil rampasan perang), penggunaan dan pengumpulan keuangan Batul Mal, mengadakan perjanjian dengan berbagai pihak dan sebagainya, tidak berlaku umum, darı hanya boleh dilakukan dan diikuti oleh generasi setelahnya dengan seizin penguasa
  3. Yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai qadi (hakim), sebab  selain sebagai seorang Rasul yang menyampaikan pesan-pesan Tuhan dan sebagai pemimpin  kaum Muslim yang mengatur  segala urusan kehidupan di dunia, beliau juga berperan sebagai seorang hakim yang memutus perkara berdasarkan kasus yang dihadapi dengan buku-bukti yang ada saat itu. Dalam hal ini, keputusan untuk generasi setelahnya diserahkan kepada hakim yang menghadapi kasus tersebut.
  4. Yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa, hajjah basyariyah seperti makan, manum, tidur , berjalan, dan lain-lain, atau yang terkait  dengan pengalaman dan kebiasaan pribadi  atau masyarakat saat itu seperti   pertanian, pengobatan, panjang pendek  pakaian, dan lain-bin, atau yang terkait dengan pengaturan strategi yang sesuai dengan keadaan saat itu, penempatan pasukan dalam perang, dan lain lain Semua itu tidak termasuk yang harus dükuti oleh manusia sepanjang zaman.”

Berdasarkan kategorisasi diatas disimpulkan bahwa ada sunnah yang bersifat swabit , yang berlaku sepanjang zaman sampai hari kiamat, yaitu yang bersifat tasyriyyah  dan ada yang tidak berimplikasi hukum (gair tasriyyah )  sehingga tidak mengikat generasi setelahnya

Bagaimana dengan perkara baru yang tidak dilakukan oleh Nabi, atau ditinggalkan oleh Nabi, apakah boleh untuk dilakukan oleh umatnya? Perkara baru dalam agama, yang lazim disebut bid’ah, menurut Imam Syafi’i, ada dua jenis pertama , yang bertentangan dengan Al-Qur’an, atau sunah h, atau asar  Sahabat, atau ijma  Ini adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dalalah ) Kedua amal-amal baik yang diadakan dan tidak bertentangan dengan dengan hal-hal di atas. Bid’ah ini tidak tercela (bid’ah hasanah ).

Sebagai  contoh, tindakan Umar bin al-Khattab mengumpulkan orang untuk shalat tarawih berjamaah di bulan Ramadhan, dikatakan sebagai “nikmatul bid;ah hazihi (  sebaik-baik bid’ah adalah ini). Imam al- Ghaiby juga mengatakan, “Tidak semua perkara baru  (setelah Nabi wafat) dilarang, yang dilarang hanyalah bid’ah yang bertentangan  dengan aturan yang ditetapkan dalam agama, dan membatalkan suatu perkara dalam agama.” Dalam hadis dinyatakan,

 

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعْمِلَ بِهَا

بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرٍ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا

يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الإسلام سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ

عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرٍ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ

م شيء. (رواه مسلم عن جرير بن عبد الله

 

Barangsiapa membuat tradisi baru yang baik (renal hasanah), lalu ada yang mengamalkan ampa, maka baginya pahalanya, dan pabala orang yang mengamalkannya tanpa dikarang edikat pon pahalanya, dan barangsiapa membuat tradisi buruk (junub sayyiah), lala ada yang mengisi hatinya, maka akan menanggung dosanya dan desa yang mengamalkan seındabnya tanpa dikurangi redikat pan. (Riwayat Muslim dari Jabir bin “Abdullah)

Bahkan, al-Izz bin ‘Abdis-Salim, mem buat klasifikasi tentang perkara baru itu menjadi lima macam, sama seperti halnya hukum-hukum syar’i dalam amalan perbuatan seseorang, yaitu

 

  1. bid’ah yang wajib,
  2. bid’ah yang haram,
  3. bid’ah mandubah (yang dianjurkan),
  4. bid’ah makruhah (yang dibenci),
  5. dan bid’ah mubahah (yang dibolehkan).

Cara untuk membedakan macam-macam bid’ah itu adalah dengan melihat dan berpegang pada kaidah syariat. Jika perkara baru itu termasuk dalam kategori kewajiban (ijab )  maka jadilah ia bid’ah yang wajib, jika termasuk dalam kategori keharaman maka jadilah ia bid’ah yang haram, jika dianjurkan maka menjadi bid’ah yang sunnah, jika dibenci maka jadilah ia bid’ah yang makruh; dan bila selain dari itu maka ia menjadi bid’ah yang dibolehkan.

Hadis Nabi yang mengesankan tidak boleh ada lagi perkara baru dalam agama, yaitu “kulla muhdatsatin, wa kulla bid’atin dalalah  (setiap perkara baru itu bid’ah , dan semua bid’ah itu adalah sesat), dipahami oleh para ulama sebagai “am makhsus  (umum yang dikhususkan). Kata kullu  secara tekstual diartikan ‘seluruh, segala ‘setiap”, atau ‘semua. Terapi dalam bahasa Arab, kata tersebut dapat juga berarti  ‘hampir keseluruhan, atau ‘sebagian tadi tidak berarti “semua “, tanpa pengecualian Contoh pemaknaan seperti ini, sebagaimana fu man Allah:

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْ وَحَيْ

Dan Kami jadikan segala sesuatu  yang hidup berasal dari air. (al-Anbiya’/21:30)

Pada kenyataannya tidak semua makhluk tercipta dari air, buktinya firman Allah dalam Rahman/55 ayat 15 berikut

وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَّارِجٍ مِنْ نَا

Dan Dia  menciptakan jin dari nyala  api tanpa asap /55:15)

Begitu juga dengan hadits Nabi, “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam perkara (agama) kami ini, yang tidak ada dasar daripadanya (ma laisa minha), maka ia tertolak” (Riwayat al-Bukhariy). Yang tertolak (radd), menurut hadits itu, adalah yang “ma laisa minhu” (yang tidak ada dasar daripadanya), sehingga yang ada landasan syar’inya tidak terlarang

Demikian, dalam konsep sunnah dan bid’ah terdapat ruang-ruang yang sawabit,  seperti penjelasan tentang ibadah, halal haram, akidah, akhlak, penjelasan terhadap Al-Qur’an tabyinul mujmal , tahsisul –am dan seterusnya), dan ada yang dimungkinkan terjadinya perubahan (mutagoyyirot ), terutama dalam wilayah yang di luar kapasitas beliau sebagai Nabi dan Rasul. Perubahan dalam bentuk inovasi juga dimungkinkan mengingat tidak semua perkara baru yang  diada-adakan tertolak oleh agama.

Hal ini semakin membuktikan bahwa ruang gerak untuk berijtihad mencari solusi bagi permasalahan manusia sampai hari Kiamat sangat terbuka lebar. Namun demikian, kehati-hatian tetap diperlukan, sehingga hanya mereka yang memiliki otoritas keilmuan tertentu yang dapat melakukan jihad, agar tidak terjadi kekacauan dalam kehidupan keagamaan. Kekacauan akan terjadi ketika yang sawbit dianggap sebagai mutagoyyirot dan sebaliknya yang mutagoyyirot dianggap sebagai swabait  Wallahu a’lam bis-sawab

 

LTN NU Kab. Tasikmalaya

Maju bersama ummat, umat kuat negara hebat

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button