PENDAPAT MADZHAB SYAFIIYAH TENTANG WALI JAUH MENIKAHΚΑΝ PADAHAL ADA WALI DEKAT
Hak para wali dalam melangsungkan akad nikah sesuai dengan urutan nya . Jika wali jauh yang belum tiba pada gilirannya melaksanakan akad nikah padahal ada wali yang lebih berhak maka akad nikahnya tidak syah
Madzhab Asy-Syafi’i
Mereka mengatakan bahwa urutan wali adalah syarat yang harus dipenuhi dan perwalian tidak beralih dari wali dekat kepada wali kecuali dalam kondisi kondisi yang khusus, di antaranya sebagai berikut
Pertama wali dekat yang memiliki hak melangsungkan akad nikah masih kecil. Jika anak tersebut sudah baligh dan tidak melakukan tindak pelanggaran syariat berupa kefasikan setelah dia baligh, maka hak perwalian ditetapkan baginya, dan tidak mesti ada penetapan terkait integritasnya. Akan tetapi terkait kesaksian harus ditetapkan integritasnya dengan berlalunya satu tahun setelah usia balighnya tanpa ada tindak kefasikan yang dilakukannya. Kesaksian berbeda dengan perwalian, karena kesaksian harus memenuhi syarat adil (memiliki integritas), berbeda dengan perwalian yang cukup dengan tidak adanya tindak kefasikan
Kedua: wali dekat gila meskipun kegilaannya tidak permanen. Akan tetapi, dalam keadaan ini wali jauh hanya dibolehkan menikahkan pada masa gila wali dekat bukan pada masa sadanya, kecuali jika masa gilanya hanya sebentar, misalnya hanya sehari dalam setahun, maka pernikahan harus menunggu masa sadarnya, menurut pendapat yang disepakati
Ketiga: wali dekat dinyatakan sebagai orang yang fasik Jika dia bertaubat, maka haknya kembali kepadanya pada saat itu juga dan tidak perlu menunggu masa untuk menetapkan integritasnya, karena yang dituntut saat ketiadaan wali adalah ketiadaan kefasikan bukan integritas berbeda dengan saksi yang disyaratkan harus memiliki integritas. Maka dari itu dia tidak boleh bersaksi kecuali setelah melewati satu tahun dari pertaubatannya untuk membuktikan adanya integritas pada dirinya, sebagaimana yang telah pembaca ketahui.
Keempat: wali dekat dibatasi kewenangannya. Jika wali dekat dibatasi kewenangannya lantaran kefasikan, maka perwalian beralih darinya lantaran kefasikan, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Jika dia dibatasi kewenangannya lantaran keterbelakangan mental dan perilaku boros dalam menggunakan hartanya, maka menurut sebagian penganut madzhab Asy-Syafi’i dia tidak berhak dalam perwalian terhadap wanita terkait pernikahan, karena jika dia tidak layak untuk mengatur urusan urusannya sendiri, maka dia tidak layak pula untuk mengatur urusan-urusan orang lain. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa keterbelakangan mental tidak menghalangi perwalian dalam pernikahan. Ada yang menguatkan pendapat ini dan ada yang memandangnya sebagai pendapat yang lemah. Kalangan yang memperkuat pendapat ini memiliki kesamaan pandangan dengan madzhab-madzhab yang lain. Adapun jika dia dibatasi kewenangannya lantaran pailit, maka pembatasan kewenangan ini tidak menghalangi perwaliannya, tanpa ada perbedaan pendapat, karena pembatasan kewenangannya tidak mengurangi kapabilitasnya
Kelima wali dekat mengalami gangguan pada wawasan dan pandanganya terhadap berbagai perkara lantaran sebab-sebab terless seperti sakit yang berkepanjangan sehingga membuatnya tidak mampu mencermati kondisi orang lain dan mengenali sifat-sifat mereka, bodd dan lemah akal
Keenam: agamanya berbeda dengan agama wanita yang hendak dinikahkan. Sebab, tidak ada perwalian bagi orang kafir terhadap wanita muslim, tidak pula perwalian muslim terhadap wanita kafir. Adapun orang kafir dapat menjadi wali bagi wanita kafir dengan syarat tidak melakukan perbuatan terlarang dalam agama yang dianutnya. Perbedaan agama keduanya pun tidak dijadikan acuan. Dengan demikian, laki-laki Yahud dapat menjadi wali perempuan Nasrani, dan sebaliknya Perkara-perkara di atas menyebabkan beralihnya perwalian dari wali dekat yang berhak melangsungkan akad nikah kepada wali jauh.
Kebutaan tidak menyebabkan beralihnya perwalian, karena orang buta dapat mengenali keadaan orang lain dan dapat pula menentukan orang yang sepadan melalui pendengaran. Kondisi pingsan juga tidak menyebabkan beralihnya perwalian, karena orang yang pingsan dapat ditunggu kesembuhannya. Dan melakukan ihram untuk menunaikan ibadah haji pun tidak menyebabkan beralihnya perwalian dari wali dekat kepada wali jauh.
Hak melangsungkan pernikahan beralih kepada pejabat berwenang melalui perwalian umum dalam kasus-kasus tertentu, di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama: ihram dalam ibadah haji atau umrah. Jika wali sedang melaksanakan ihram, maka dia tidak boleh melaksanakan akad nikah, dan perwalian beralih kepada pejabat berwenang. Dengan demikian, wali jauh tidak boleh menikahkan. Jika wali yang melaksanakan ihram mewakilkan dirinya kepada seseorang untuk menjadi wali akad nikah, maka wakil tidak boleh melangsungkan akad nikah sementara orang yang diwakilinya sedang melaksanakan ihram, karena wakil berstatus seperti yang diwakili. Jika wakil melangsungkan akad nikah, berarti yang melaksanakan akad adalah orang yang diwakilinya. Jika orang yang mewakilkan sudah bertahallul (selesai dari ihram, atau melepaskan pakaian ihram), maka wakil boleh melangsungkan akad nikah, karena statusnya sebagai wakil tidak terlepas lantaran ihram.
Kedua: wali dekat bepergian dengan jarak yang dibolehkan melakukan qashar shalat tanpa mewakilkan kepada seorang wakil untuk menikahkan selama dia tidak ada di tempat. Jika tidak, maka yang melangsungkan akad nikah adalah wakilnya. Jika pejabat berwenang merükahkan kemudian wali datang dan berkata, pada saat akad nikah saya berada di daerah yang dekat dengan daerah ini, maka akad tidak sah. Jika dia datang dan berkata, saya telah menikahinya sebelum pejabat berwenang, maka yang dilakukan pejabat berwenang tetap dinyatakan sah selama tidak ada bukti yang memperkuat dakwaan wali.
Ketiga: wali melarang pernikahan wanita yang berada di bawah perwaliannya. Jika wanita tersebut menuntutnya agar menikahkannya dengan laki-laki yang sepadan meskipun tanpa mahar setara, namun wali melarangnya, maka pihak wanita dapat mengajukan perkaranya kepada hakim untuk menikahkannya sebagai wakil wali, karena hak wali tidak gugur dalam perwalian lantaran penolakan sekali atau dua kali. Dengan demikian, hakim menjadi wakil dari wali. Jika wali melarangnya tiga kali atau lebih, maka dengan demikian dia dinyatakan sebagai orang fasik yang telah melakukan perbuatan terlarang, maka haknya dalam perwalian gugur dan beralih kepada wali jauh.
Keempat: wali ditahan dengan penahanan yang membuatnya tidak dapat melangsungkan akad nikah. Dalam kondisi ini yang menikahkan adalah pejabat berwenang menjadi milik wali dekat hingga dalam kondisi jika gadis baligh yang berakal menikahkan dirinya
Pendapat Madzhab lain
Mereka mengatakan, jika ada wali dekat dan wali jauh, maka akad nikah dinyatakan sah apabila dilakukan oleh wali jauh dengan adanya wali dekat tersebut. Misalnya, jika ada saudara laki-laki bersama paman dari pihak bapak, dan paman dari pihak bapak ini yang melangsungkan akad nikah, maka akad nikahnya sah. Demikian pula jika ada bapak bersama anak laki-laki, sementara yang melangsungkan akad nikah adalah bapak, maka akad nikahnya sah. Akan tetapi ini terkait wali ghairu mujbir. Adapun wali mujbir, maka akad nikah dinyatakan tidak sah bila yang melangsungkannya adalah wali yang lain padahal dia sebagai wali mujbir ada, baik wali mujbir itu bapak, orang yang mendapat wasiat bapak, maupun pemilik (bagi hamba sahaya), kecuali dalam satu kondisi, yaitu bahwasanya wali mujbir itu memiliki bapak, saudara laki-laki, anak laki- laki, atau kakek, dan dia menyerahkan kepada mereka atau salah seorang dari mereka untuk menyelesaikan urusannya. Penyerahan kewenangannya ini dapat ditetapkan melalui pembuktian yang menyatakan bahwa wali mujbir mengatakan kepada orang yang diserahi wewenang, saya serahkan kepadamu seluruh urusan saya, atau, saya menjadikan kamu sebagai wakil