HikmahNgajiOpiniSantai

Makna dan Hukum Kurban dalam Islam: Menelusuri Sejarah, Filosofi, dan Perbedaan Pandangan Fiqih

Dr Dian Rahmat , M.Ag

Makna dan Hukum Kurban dalam Islam: Menelusuri Sejarah, Filosofi, dan Perbedaan Pandangan Fiqih

A.     Makna dan Filosofi Kurban: Menjauhkan Sifat Kebinatangan dalam Diri

Hari Raya Kurban, yang sangat berkaitan dengan ibadah haji, memiliki akar kuat pada kisah Nabi Ibrahim a.s. Beliau adalah figur yang sangat dihormati oleh berbagai agama samawi karena kesediaan dan ketaatannya untuk mengorbankan putra kesayangannya demi Allah semata.

Praktik kurban sebenarnya sudah dikenal manusia sejak zaman purba, bahkan sejak masa putra-putra Nabi Adam a.s. Sebelum era Nabi Ibrahim, dan pada masanya, kurban seringkali melibatkan persembahan manusia sebagai sesajen kepada dewa-dewi yang mereka sembah. Sebagai contoh, di Mesir kuno, gadis tercantik dipersembahkan kepada Dewi Sungai Nil. Di Kanaan, Irak, bayi-bayi dikurbankan untuk Dewa Baal. Suku Aztec di Meksiko mempersembahkan jantung dan darah manusia kepada Dewa Matahari. Sementara itu, Viking di Eropa Utara mengorbankan pemuka agama mereka kepada Dewa Perang “Odin”.

Nabi Ibrahim a.s., yang hidup sekitar abad ke-18 SM, datang pada masa krusial ketika pandangan tentang kurban manusia mengalami perdebatan sengit. Ada yang bersikeras mempertahankan praktik tersebut, namun ada pula yang mulai meyakini bahwa manusia terlalu mulia untuk dikurbankan kepada Tuhan.

Di titik inilah ajaran Nabi Ibrahim a.s. memberikan solusi revolusioner yang memuaskan semua pihak. Kisah perintah penyembelihan Nabi Ismail a.s., yang kemudian diganti dengan domba, sejatinya merupakan pelajaran besar. Ini bukan tentang pertumpahan darah, melainkan upaya menyelamatkan manusia dari praktik kurban manusia dan mengajarkan tentang kasih sayang Tuhan yang sesungguhnya. Inilah beberapa nilai luhur yang terkandung dalam Hari Raya Kurban.

A.    Hukum Udhiyyah

Mayoritas fuqaha, di antaranya adalah mazhab asy-Syafi’i dan Hanbali, termasuk pendapat yang paling kuat (rajih) menurut Imam Malik dan salah satu riwayat dari Abu Yusuf menyatakan bahwa udhiyyah adalah sunnah muakkadah. Pendapat ini juga diungkapkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Bilal, Abi Mas’ud al-Badriy, Suwaid bin Aqlah, Said bin Musayyib, Atha’, Ilqimah, al-Aswad, Ishaq, Abi Tsaur dan Ibnu Mundzir.

Mayoritas ulama menggunakan beberapa dalil atas kesunnahan udhiyyah. Salah sa-tunya adalah sabda Rasulullah,

ذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِي فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَلَا ظُفْرِهِ شَيْئًi

Apabila masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak melakukan kurban, ia tidak boleh me megang rambut atau kulitnya sama sekali. [1]

Dalam hadits tersebut, pernyataan salah seorang di antara kalian menunjukkan bahwa udhiyyah adalah sunnah. Jika kurban itu wajib hukumnya, Rasulullah tentu cukup bersabda, “la tidak boleh memegang rambut atau kulitnya sama sekali.”

Dalil lainnya adalah riwayat yang me-nyatakan bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab tidak me lakukan kurban dalam jangka waktu satu sampai dua tahun karena khawatir kurban dianggap sebagai kewajiban.”[2] Keputusan ini menunjukkan bahwa keduanya mengetahui dari Rasulullah bahwa berkurban itu tidak wajib. Tidak ada seorang pun dari sahabat yang meriwayatkan sebaliknya.

Sementara, Abu Hanifah berpendapat bahwa berkurban wajib hukumnya. Pendapat ini didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Muhammad, Zafar dan Abu Yusuf. Pendapat ini didukung pula oleh Rabiah. Laits bin Sa’ad, al-Awza’ïy, ats-Tsauriy dan Malik. Pendapat mereka ini berlandaskan dalil dengan firman Allah,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan men-dekatkan diri kepada Allah). (QS. 108/Al-

Tafsir tersebut menunjukkan perintah untuk menunaikan Shalat Idul Adha dan menyembelih unta. Keumuman perintahnya adalah sebagai sesuatu hal yang wajib. Selama diwajibkan bagi Rasulullah, tentu diwajibkan pula bagi umat beliau karena beliau adalah panutan.

Rasulullah juga pernah bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحْ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

Barangsiapa yang memiliki keleluasaan dalam rezeki dan tidak mau berkurban, janganlah mendekati tempat shalat kita.

Sabda beliau ini berisi seperti ancaman bagi orang yang meninggalkan kurban. Ancaman hanya muncul akibat meninggalkan hal yang wajib. Selain itu, Rasulullah bersabda pula,

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَلْيَذْبَحْ شَاةً مَكَانَهَا، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ

Barangsiapa yang menyembelih sebelum di laksanakan Shalat Idul Adha, hendaklah ia menyembelih seekor kambing sebagai gantinya. Akan tetapi, barangsiapa yang belum menyem belih, hendaklah ia menyembelih dengan nama Allah.[3]

Sabda Rasulullah tersebut merupakan perintah untuk menyembelih hewan kurban dan mengulang penyembelihan jika hewan disembelih sebelum pelaksanaan Shalat Idul Adha. Pendapat ini juga menjadi dasar hukum diwajibkannya kurban.”[4]

Mazhab Hanafi menyatakan, berkurban hukumnya wajib ‘ain (kewajiban tiap indi-vidu) yang memenuhi syarat wajibnya. Kur-ban satu kambing ban untuk satu orang dengan seekornkamelos sapi atau unta meskipun bisa pula untuk satu orang saja.

Ada ulama yang berpendapat bahwa berkurban adalah sunnah ‘ain. Pendapat ini dikemukakan Abu Yusuf. Menurutnya, tidak diperbolehkan satu hewan kurban untuk satu orang dan anggota keluarganya atau selain mereka.

Ada juga ulama yang mengatakan, kur ban atau udhiyyah hukumnya sunnah ‘ain meskipun hanya hukum. Maksudnya, setiap orang diminta untuk melakukan kurban. Jika ada seseorang yang melakukan kurban dengan niat untuk dirinya sendiri, kurban itu hanya untuk dirinya. Jika dilakukan dengan niat untuk menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya atau diniatkan untuk orang lain, tuntutan bagi orang yang ikut bersamanya atau turut serta di dalam kurbannya sudah gugur. Pendapat ini diungkapkan oleh mazhab Maliki. Penjelasannya, jika seseorang – berkurban dengan niat untuk dirinya sendiri, tuntutan untuk dirinya menjadi gugur Adapun jika ja berkurban dengan niat untuk dirinya, kedua orang tuanya yang fakir dan anak-anaknya yang masih kecil, kurban ini jatuh untuk mereka.

Seseorang boleh menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya sebelum hewan disembelih dengan jumlah yang bisa lebih dari tujuh orang. Syarat penyertaan dalam pahala kurban ini ada tiga. Pertama, tinggal bersamanya. Kedua, menjadi kerabatnya meskipun jaraknya jauh atau menjadi istri. Ketiga, dinafkahkan kepada orang yang ber-gabung dengannya (dalam kurban) secara wajib, seperti kedua orang tua, anak-anaknya yang masih kecil dan fakir, atau didermakan kepada orang-orang kaya di antara mereka, seperti paman, saudara, atau paman dari ibu. Jika orang-orang yang tergabung dalam kurban memenuhi syarat-syarat tersebut, gugur tuntutan berkurban dari mereka semua.

Jika seseorang berkurban dengan seekor kambing atau yang lain dengan diniatkan untuk orang lain, meskipun jumlahnya lebih dari tujuh orang, tanpa menyatakan bahwa dirinya bersama mereka dalam kurban ter-sebut, tuntutan berkurban atas mereka tetap bisa gugur dengan kurban ini. Hal tersebut berlaku meskipun mereka tidak memenuhi tiga syarat di atas.

Hewan yang dikurbankan hendaknya adalah milik pribadi orang yang berkurban. Jika ada orang lain ikut memiliki hewan tersebut (berkongsi), maka kurbannya tidak sah. Hal ini akan dijelaskan dalam syarat sah kurban, Ada di antara ulama yang mengatakan bahwa hukum berkurban adalah sunnah. Ada yang mengategorikannya sebagai sunnah ain dan sunnah kifayah bagi anggota satu keluarga. Demikian pendapat mazhab asy Syafii dan Hanbali. Mereka berpendapat pula bahwa seseorang yang berkurban dengan satu ekor hewan, meskipun hanya berupa kambing, atas nama dirinya dan anggota ke luarganya, diperbolehkan.

Mazhab asy-Syafi’i sendiri memiliki pe nafsiran yang beragam untuk istilah anggota satu keluarga. Pendapat yang paling kuat (rajih) menyatakan bahwa ada dua makna mengenai istilah ini. Pertama adalah orang orang yang wajib dinafkahi. Pendapat ini dipilih oleh asy-Syamsy ar-Ramli dalam kitab Nihaayatul Muhtaaj. Kedua adalah orang orang yang disatukan dalam satu nafkah dari satu orang meskipun hanya dalam bentuk sumbangan. Pendapat ini di-shahih-kan oleh asy-Syihab ar-Ramli pada catatan pinggir kitab Syarh ar-Roudh.

Maksud berkurban hukumnya sunnah kifayah adalah bahwa setiap orang yang mampu berkurban disunnahkan untuk mela kukannya sehingga gugur tuntutan atas be berapa orang karena tindakan satu orang yang bijaksana di antara mereka. Akan tetapi, setiap orang dari mereka tidak ada yang mendapatkan pahala berkurban, kecuali jika orang yang berkurban berniat menyertakan mereka dalam pahala berkurban.[5]

Di antara dalil yang dijadikan sandaran oleh ulama yang mengatakan bahwa ber kurban itu hukumnya sunnah kifayah ada-lah riwayat mengenai seorang laki-laki dan anggota keluarganya yang berkuttun Dikatakan dalam atsar Abu Ayyub al Ashariy . Dahulu kami pernah berkurban dengan seekor unta yang disembelih oleh seseorang atas nama dirinya dan anggota keluarganya. la lalu membangga-banggakan perbuatannya kepada semua orang. Karena itu, kurtaan yang dilakukannya menjadi kebanggaan diri. Konteks atsar yang diucapkan oleh Abu Ayyub ini tampaknya menjadi hadits marfu.

B.    Syarat Wajib atau Sunah Berkurban

Syarat wajib berkurban kar nazar sama dengan syarat-syarat bernara yakni Islam, baligh, berakal, merdeka dan mampu memilih. Untuk lebih detailnya bisa dilihat pada bab Nazar.

Jika diwajibkan secara syari’at, menurut kelompok yang mengatakan berkurban itu wajib, syarat wajib berkurban ada empat. Muhammad dan Zafar menambahkan dua syarat lainnya. Semua syarat ini atau seba-giannya disyaratkan pula bagi yang berpen-dapat bahwa berkurban itu sunnah. Mazhab Maliki menambahkan satu syarat lainnya dalam sunnah berkurban.

a. Islam

Syarat pertama adalah Islam. Karena itu, beda agama tidak wajib kurban dan juga tidak pula disunnahkan sebab berkurban adalah ibadah mendekatkan diri kepada Allah

Menurut mazhab Hanafi, tidak diharuskan adanya keislaman di semua waktu yang diperbolehkan berkurban, bahkan cukup di akhir waktu saja. Sebab waktu wajibnya lebih diutamakan daripada pelaksanaan hal yang wajib. Dengan demikian, dicukupkan dalam kewajiban berkurban adanya sebagian saja dari waktu, seperti halnya shalat. Syarat Islam ini disepakati oleh kelompok yang mengatakan bahwa berkurban itu wajib maupun sunnah. Syarat ini bahkan juga menjadi syarat berkurban secara sukarela.

b. Berdiam (Tidak Bepergian)

Syarat kedua adalah berdiam (tidak musafir). Karena itu, tidak wajib bagi musafir untuk berkurban. Sebab berkurban tidak bisa dilakukan tanpa persediaan uang yang cukup

musafir diwajibkan berkurban, maka ia harus membawa hewan kurban itu bersamanya, Hal ini tentu akan menyulitkan musafir dan menimbulkan kerugian kepadanya. Karena itu, musafir tidak wajib berkurban.

Berbeda dengan orang yang sedang tidak bepergian meskipun ia sedang me lakukan kegiatan ibadah haji. Atsar yang diriwayatkan oleh Nafi dari Ibnu Umar menyebutkan bahwa ia menitipkan sejumlah uang senilai hewan kurban bagi siapa saja yang tidak pergi menunaikan ibadah haji di antara keluarganya. Hal tersebut dilakukan agar mereka bisa berkurban secara sukarela.” Para anggota keluarga itu sangat mungkin akan berkurban atas nama diri mereka sendiri, bukan atas nama Ibnu Umar Karena itu, tidak wajib berkurban meskipun ada kemungkinan untuk melaksanakannya.

Demikian pendapat mazhab Hanafi yang menyatakan diwajibkan berkurban. Fuqaha yang menyatakan bahwa berkurban adalah sunnah, mereka tidak memberikan syarat-syarat di atas. Begitu pula, tidak ada syarat dalam berkurban secara sukarela agar tidak menghalangi orang ingin berkurban sunnah maupun secara sukarela.[6]

C. Memiliki Kelebihan Rezeki

Syarat ketiga adalah memiliki kelebihan rezeki. Kelebihan ini diistilahkan dengan keleluasaan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, “Barangsiapa yang memiliki keleluasaan dalam rezeki dan tidak mau ber-kurban, janganlah mendekati tempat shalat kita.” Keleluasaan itu berarti kelebihan rezeki. Menurut mazhab Hanafi, keleluasaan itu dibuktikan dengan seseorang yang me-miliki uang sejumlah dua ratus dirham atau dua puluh dinar atau seseorang yang me-miliki benda lain yang memiliki nilai yang sama dengan itu. Selain itu, keleluasaamise seorang dilihat pula dari tempat tinggalnya, kebutuhan pokoknya dan utangnya.[7]

Menurut mazhab Maliki, tanda bahwa seseorang memiliki kelebihan rezeki adalah daging hewan kurban tidak dikuasai oleh orang yang berkurban dan ia tidak mem butuhkan daging kurban untuk memenuhi kebutuhan primernya.[8]

Mazhab asy-Syafi’i juga berpendapat bahwa berkurban disunnahkan hanya kepa-da orang yang mampu melakukannya, yaitu orang yang memiliki apa yang bisa meng hasilkan hewan kurban. Kelebihan ini, yakni dari apa yang dibutuhkannya pada hari Idul Adha, malam harinya, serta hari tasyrik (11-13 Dzulhijjah) dan malam-malamnya.[9]

d. Baligh dan Berakal

Syarat baligh dan berakal ini merupakan syarat yang ditetapkan oleh Muhammad dan Zafar. Adapun Abu Hanifah dan Abu Yusuf tidak mensyaratkannya. Menurut mereka, berkurban tetap diwajibkan pada harta anak kecil dan orang gila yang memiliki keluasan rezeki. Perbedaan pendapat mengenai hal ini, seperti perbedaan dalam zakat fitrah. Mengenai masalah ini, bisa dilihat pada pem-bahasan Zakat Fitrah.

Orang gila dan tersadar kondisinya di-anggap berada dalam ketidakwarasan dan kesadaran. Jika keadaan gila itu terjadi pada hari an-nahr, maka ada perbedaan. Jika kondisi sadar terjadi pada hari an-nahr, maka berkurban diwajibkan atas hartanya tanpa ada perbedaan. Ada yang mengatakan bahwa hukum orang gila yang sadar atau sembuh dari penyakit gilanya pada hari an-nahr, sama seperti orang yang sehat pada umumnya bagaimanapun keadaannya.

Hal itu merupakan pendapat yang di tetapkan oleh penulis al-Badaai dengan maksud mendukung pendapat yang me wajibkan kurban bagi orang gila yang ter-sadar pada hari an-nahr. Penulis kitab al-Kaafi membenarkan pendapat yang tidak mewajibkan orang gila berkurban meskipun mengalami kondisi sadar pada hari an nahr. Pendapat ini didukung pula oleh Ibnu Svahnah dan dijadikan sandaran oleh penulis kitab ad-Dur al-Mukhtar dengan mengutip dari teks utama kitab Mawaahibur Rahman bahwa pendapat yang ashah (paling benar) adalah apa yang telah difatwakan oleh dirinya. Ibnu ‘Abidin berpendapat bahwa pendapat ini dipilih oleh penulis kitab al-Mulraga. Di sana ia menyebutkan dan mema parkan pula pendapat sebaliknya dengan mengistilahkannya sebagai pendapat yang lama dengan ungkapan ‘dikatakan’.[10] Pendapat yang diungkapkan di atas me rupakan pendapat mazhab Hanafi.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa baligh dan berakal bukan syarat berkurban. Disunnahkan bagi wali asuh anak kecil dan orang gila untuk berkurban dengan harta yang dikeluarkan dari simpanan mereka ber-dua meskipun mereka adalah anak yatim.[11] Mazhab asy-Syafi’i berpendapat, wali asuh tidak boleh berkurban atas nama orang-orang yang berstatus mahjur ‘alaih (dilarang mengelola harta) atas harta mereka. Wali asuh diperbolehkan berkurban atas nama anggota keluarga dengan harta yang dikeluarkan dari harta simpanan anak itu meskipun anggota keluarga itu adalah ayah atau kakek kandung anak itu. Sebab seakan-akan hewan kurban itu adalah milik mereka dan disembelih  atas nama mereka. Dengan demikian pahala sumbangan kurban untuk anggotaahuarga akan diberikan kepada anak itu, mangkan anggota keluarga akan mendapati pahala kurban.

Mazhab Hanbali berpendapat mengenai anak yatim yang memiliki simpanan harta. Dalam hal ini, wali asuhnya boleh berkurban atas nama anak yatim itu dengan harta simpanannya atau dari harta yang ditinggalkan. Hal ini dilakukan demi meng-hormati hari Idul Adha. bukan karena wajib.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dike-tahui bahwa hanya mazhab Maliki yang memberikan syarat berkurban sunnah, yaitu hendaknya tidak dilakukan oleh orang yang sedang melakukan ibadah haji. Dengan demikian, orang yang sedang beribadah haji tidak dituntut berkurban secara syari’at, baik saat berada di Mina maupun tempat lainnya. Orang yang tidak sedang melakukan ibadah haji diminta untuk berkurban sunnah, baik sedang melakukan umrah maupun berada di Mina. Menurut mazhab Hanafi, berkurban sunnah bagi orang yang sedang beribadah haji atau bepergian tidak wajib.

Jenis kelamin laki-laki atau penduduk kota bukanlah syarat wajib dan sunnah kurban. Jika laki-laki diwajibkan, perempuan pun akan diwajibkan. Jika orang yang tinggal di kota diwajibkan, orang yang tinggal di desa atau pedalaman pun akan diwajibkan. Sebab dalil-dalil wajib atau sunnah berkurban mencakup semua golongan.

C.     Berkurban dari Harta Sendiri untuk Anak

Jika seorang anak sudah dewasa, orang rua atau kakeknya tidak lagi diwajibkan ber kurban atasnya. Jika seorang anak atau cucu yang masih kecil memiliki harta sendiri, ia diperlakukan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Jika ia tidak memiliki harta, menurut Abu Hanifah ada dua riwayat.

Pertama, anak kecil yang tidak memiliki harta tidak wajib berkurban. Hal ini sesuai dengan teks hadits. Berdasarkan hadits ini, kemudian dikeluarkanlah sebuah fatwa. Pada dasarnya, seseorang tidak wajib melakukan sesuatu atas nama orang lain, khususnya kerabat. Allah berfirman:

وَأَنْ لَّيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. (QS. 53/An-Najm: 39)

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya. (QS. 2/Al-Baqarah: 286)

Karena itu, orang tua tidak wajib ber-kurban untuk anak atau cucu yang sudah besar.

Kedua, berkurban yang dimaksud wajib hukumnya karena anak adalah bagian dari orang tuanya, begitu pula cucunya. Jika sese-orang diwajibkan berkurban untuk dirinya, diwajibkan pula berkurban untuk anak atau cucunya. Hal ini dianalogikan dengan zakat fitrah.

Kemudian, jika dipahami secara hadits dipahami secara literal, yakni tidak wajibnya berkurban, maka disunnahkan bagi seseorang berkurban untuk anaknya atau cucunya yang masih kecil dari hartanya sendiri. Maksud cucu di sini adalah anak yatim yang berada di bawah pengasuhan kakeknya. Hal ini dise pakati oleh mayoritas ulama, seperti sudah dijelaskan sebelumnya.

[1] Diriwayatkan oleh Muslim, jilid 3, hlm. 1565, cetakan Isa al-Halabiy

[2] Atsar dari Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khath thab. Diriwayatkan oleh Baihaqiy, jilid 9, hlm. 265, cetakan Darul Ma’arif al-Utsmaniyyah. Dikategorikan hasan oleh an-Nawawiy da-lam Al-Majmu, jilid 8, hlm. 383, cetakan al-Muniriyah

[3] Diriwayatkan oleh Muslim, jilid 3, hlm. 1551, cetakan al-Halabiy

[4] Badasi ash Shanoai, jilid 5, hlm. 62

[5] Al-Majmu’ karya an-Nawawi, jilid 8, hlm. 383-386; Nihaayatul Muhtaajbi Hasyiyatay ar-Rasyidiy wasy Syabramily, jilid 8, hlm. 123; dan Tuhfatul Muhtaaj ma’a Hasyiyah ary-Syarwaniy, jilid 8, hlm. 141.

[6] Atsar diriwayatkan dari Ibnu Umar

[7] Ibnu ‘Abidin, jilid 5, hlm. 198

[8] Ad Dasuqiy, jilid 2, hlm. 118

[9] Ibnu ‘Abidin, jilid 5, hlm. 198

[10] Ad Dur al-Mukhtar ma’a Hasyiyah Ibni Abidin, jilid 5, 108

[11] Hayriyah Ad Dasugi ala asy Syarh al-Kahir, jild 2, him. 119

LTN NU Kab. Tasikmalaya

Maju bersama ummat, umat kuat negara hebat

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button