*Makna Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah dalam Perkawinan
Sebagaimana telah diketahui bersama bah-wa perkawinan bukan sekedar pertemuan dua jenis kelamin untuk memperoleh keturunan, apalagi hanya sekedar untuk menyalurkan hasrat biologisnya. Namun, harus ada tujuan yang lebih substantif dan bermakna, yakni terciptanya keluarga sakinah yang diliputi oleh rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rahmah), seperti dalam firman-Nya:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (ar-Rüm/30: 21)
Ayat ini mengandung pelajaran penting bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk berketurunan sebagaimana makhluk hidup lainnya. Hanya saja, dalam tataran prosesnya, manusia berbeda dengan binatang. Ada aturan yang harus dipenuhi sebelumnya, yakni melalui sebuah perkawinan yang sah menurut agama. Melalui perkawinan yang sah itulah, manusia akan memperoleh ketenangan dan ketenteraman, meskipun sebelumnya keduanya tidak saling mengenal pribadi masing-masing secara mendalam. Dari sinilah kemudian muncul rasa saling menyayangi dan mengasihi, sehingga keduanya bisa memiliki keturunan. Term yaskunu dalam ayat di atas dirangkai dengan huruf ilä )إلى(, bukan dirangkai dengan inda )عند(, yang berarti ketenangan atau kebahagiaan itu bersifat batin/rohani, bukan fisik. Di samping itu, susunan redaksi tersebut (yaskunu + ilä) juga mengindikasikan hilangnya kegoncangan dan gejolak jiwa yang sangat menggelisahkan.
Ayat di atas memang menggunakan damir kum (kata ganti untuk laki-laki), akan tetapi ia juga ditujukan kepada kaum perempuan. Sebab, kata zauj bukan berarti suami, tetapi menunjukkan arti menyatunya dua hal, dalam hal ini, suami dan istri. Sehingga masing-masing disebut zauj bagi pasangannya, seorang perempuan akan disebut istri si fulan; begitu juga seorang laki-laki, disebut suami si fulanah.
Sakinah sebagai tujuan perkawinan tidak diungkapkan dengan kata benda (isim), akan tetapi dengan bentuk kata kerja (taskunu/yaskunu), yang menunjukkan arti hudüs (kejadian baru) dan tajaddud (memperbaharui). Artinya, sakinah bukan sesuatu yang sudah jadi atau sekali jadi, namun ia harus diupayakan secara sungguh- sungguh (mujahadah) dan terus menerus diperbaharui, sebab ia bersifat dinamis yang senantiasa timbul tenggelam. Atau kata lain, sebuah perkawinan yang sakinah bukan berarti sebuah perkawinan yang tidak pernah ada masalah, sebab perkawinan bagaikan bahtera yang mengarungi lautan, dan setenang-tenangnya lautan pasti ada ombak. Namun demikian, gambaran sederhana dari keluarga sakinah adalah jika masing-masing pihak dengan penuh kesungguhan berusaha mengatasi masalah yang timbul, dengan didasarkan pada keinginan yang kuat untuk menuju kepada terpenuhi ketenangan dan ketenteraman jiwa tersebut, sebagaimana diisyaratkan oleh redaksi litaskunu ilā bukan litaskunu inda.
Di samping itu, Al-Qur’an juga menyatakan bahwa sakinah tersebut dimasukkan oleh Allah melalui kalbu. Artinya, kedua belah pihak, yakni suami dan istri, harus mempersiapkan kalbunya terlebih dahulu dengan kesabaran dan ketakwaan. Dalam hal ini, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa persiapan kalbu harus melalui beberapa fase, bermula dari mengosongkan kalbu dari sifat-sifat tercela (takhalli), dengan cara menyadari atas segala kesalahan dan dosa yang pernah diperbuat, disertai tekad yang kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha menghindarinya. Disusul dengan perjuangan/mujahadah untuk melawan sifat-sifat tercela tersebut dengan cara mengedepankan sifat-sifat terpuji (tahalli), seperti melawan kekikiran dengan kedermawanan, kecerobohan dengan keberanian, egoisme dengan pengorbanan, sambil terus memohon pertolongan dari Allah subhānahū wa ta alá,
Pertemuan dua jenis kelamin yang dijalin melalui perkawinan akan melahirkan kedamaian, ketenangan, dan ketenteraman, baik jasmani maupun rohani. Kemudian interaksi antara keduanya secara aktif inilah akan melahirkan rasa cinta (mawaddah). Istilah mawaddah, dalam konteks ayat ini, mengacu pada penjelasan sebelumnya, adalah mengandung dua makna sekaligus yaitu mahabbah (cinta) dan tamanni kaunihi (keinginan untuk mewujudkan). Atau dengan kata lain, perasaan saling mencintai itulah yang mendorong masing- masing pihak untuk saling mendekat. Oleh karena itu, mawaddah bukanlah cinta biasa yang terkadang timbul tenggelam, bahkan pupus sama sekali. Mawaddah, meminjam istilah M. Quraish Shihab, adalah “cinta plus”. Sebab, ketika seseorang yang sudah dipenuhi perasaan mawaddah, maka cintanya akan sangat kukuh dan tidak mudah putus, sebab hatinya senantiasa lapang dan kosong dari kehendak buruk.
Dari rasa cinta yang mendalam inilah, masing-masing pihak bertekad untuk melakukan yang terbaik dan berkorban untuk pasangannya. Di sinilah perkawinan yang bertujuan membentuk keluarga yang sakinah akan senantiasa diliputi dengan rahmah, yaitu kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan yang terbaik kepada pihak lain. 20 Ada juga yang memahami rahmah adalah sesuatu yang menumbuhkan sifat kasihan dan simpati atas dasar kekerabatan dan kasih sayang. Pendapat yang lain menyatakan bahwa rahmah adalah sesuatu yang mendorong seseorang melakukan perbuatan yang melahirkan rida Allah.
Dari beberapa penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah perkawinan yang dirahmati, indikasinya adalah kedua belah pihak berusaha secara sungguh-sungguh mencintai dengan tulus terhadap pasangannya masing-masing, serta memperlakukan pasangannya dengan perlakuan yang baik, bahkan yang terbaik, serta keduanya berusaha melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan rida Allah.
Ada juga yang memahami rahmah di sini berarti anak, sebab dengan kehadiran anak kehidupan rumah tangga akan semakin dinamis, masing-masing pihak akan senantiasa terdorong untuk berbuat yang terbaik, terutama demi perkembangan anaknya. Namun begitu, kandungan makna rahmah tetap lebih tinggi dari sekedar anak. M. Quraish Shihab menggambarkan rahmah dalam kasus poligami, misalnya, bahwa rahmah akan mampu meredam keinginan seorang suami untuk berpoligami, ketika, diketahui istrinya ternyata mandul atau tidak mampu memenuhi kebutuhan seksualnya, meskipun dibolehkan. Dengan rahmah, ia akan berani berkorban demi cinta dan kasihnya kepada sang istri. Begitu juga bagi sang istri, ia sangat merasakan betapa pedihnya perasaan suaminya ketika keinginan dan kebutuhannya tidak terpenuhi, maka dengan rahmah ia berapi berkorban untuk “mengizinkan” suaminya meraih dambaan dan keinginannya itu. Di sinilah cinta dan rahmat akan teruji.
Hanya saja, yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa mawaddah dan rahmah tidak begitu saja bisa diperoleh setelah terlaksananya perkawinan. Akan tetapi yang benar adalah melalui perkawinan seseorang akan memperoleh mawaddah dan rahmah sebagai landasan terciptanya keluarga yang sakinah. Dengan demikian, masing-masing pihak, suami-istri, harus
saling membantu, dan mendukung demi terpenuhinya mawaddah dan rahmah tersebut, sebagaimana yang bisa dipahami dari redaksi: wa ja’ala bainakum mawaddah wa rahmah. Menurut sejumlah pakar, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, bahwa ada beberapa tahapan yang biasanya dilalui oleh pasangan suami-istri, sebelum mencapai kehidupan keluarga sakinah yang dihiasi dengan mawaddah dan rahmah, antara lain, yaitu:
1) Tahap Bulan Madu
Pada tahap ini kedua pasangan benar-benar menikmati manisnya sebuah perkawinan. Mereka sangat romantis, penuh cinta, dan, senda gurau. Pada tahap ini, biasanya digambarkan bahwa masing-masing bersedia melalui kehidupan ini walau dalam kemiskinan dan kekurangan.
2) Tahap Gejolak
Pada tahap ini, mulai timbul gejolak setelah berlalu masa bulan madu. Kejengkelan sudah mulai tumbuh di hati, apalagi keduanya sudah mulai terlihat sifat-sifat aslinya yang selama ini “sengaja” ditutup-tutupi untuk menyenangkan pasangannya. Mereka sudah mulai menyadari bahwa perkawinan ternyata bukan sekedar romantisme, tetapi ada kenyataan-kenyataan baru yang boleh jadi tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Pada tahap ini, sebuah perkawinan akan terancam gagal dan masing-masing pihak biasanya merasa menyesal kenapa harus memilih ia sebagai pasangan hidupnya. Namun, dengan kesabaran dan toleransi akan menghantar mereka pada tahap
3) Tahap Perundingan dan Negosiasi
Tahap ini lahir jika masing-masing pihak masih merasa saling membutuhkan. Pada tahap ini juga, mereka sudah mulai mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jika mereka berhasil melewati tahap ini, maka akan membawa pada tahap berikutnya.
4) Tahap Penyesuaian
Tahap ini masing-masing pasangan sudah mulai menunjukkan sifat aslinya, sekaligus kebutuhan yang disertai perhatian kepada pasangannya. Dalam tahap ini, masing masing akan saling menunjukkan sikap penghargaan. Mereka juga merasakan kembali nikmatnya menyatu bersama kekasih serta berkorban dan mengalah demi cinta.
5) Tahap Peningkatan Kualitas Kasih Sayang
Pada tahap ini, masing-masing pasangan sudah menyadari sepenuhnya-yang didasarkan pada pengalaman bukan teori, bahwa hubungan suami istri memang sangat berbeda dengan segala bentuk hubungan sosial lainnya. Pada tahap ini masing-masing pihak menjadi teman terbaik, dalam bercengkerama, berdiskusi serta berbagi pengalaman. Masing-masing pihak juga berusaha untuk melakukan yang terbaik demi menyenangkan pasangannya.
6) Tahap Kemantapan
Pada tahap ini masing-masing pasangan merasakan dan menghayati cinta kasih sebagai realitas yang menetap, sehingga sehebat apa pun guncangan yang mendera
mereka tidak akan bisa menggoyahkan rumah tangganya. Memang, riak-riak kecil masih akan tetap ada, namun riak-riak yang tidak akan menghanyutkan. Pada tahap inilah mereka merasakan cinta yang sejati Tahapan-tahapan ini merupakan gambaran umum yang biasa dialami dalam hubungan suami-istri. Hal ini juga bersifat relatif sehingga tidak bisa dikalkulasi secara matematis, misalnya pada tahun ke berapa sebuah perkawinan akan mengalami tahapan pertama, kedua, dan seterusnya. Begitu juga urutan ini tidaklah bersifat permanen, tetapi merupakan hasil sebuah penelitian atau ijtihad. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan adanya tahapan-tahapan lain selain di atas.