Abstrak
Tulisan ini mengkaji zakat dari dua perspektif utama: tuntunan agama dan perjalanan sejarahnya. Dari segi terminologi, zakat berasal dari kata “zaka” yang bermakna tumbuh dan suci, dan secara syariat didefinisikan sebagai pemberian wajib dari harta tertentu kepada golongan tertentu dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Selain zakat, dikenal pula istilah sedekah dan infak, yang memiliki makna dan cakupan yang berbeda.
Tujuan pensyariatan zakat, di antaranya, adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi, membersihkan harta dan jiwa, serta menumbuhkan rasa solidaritas. Sejarah mencatat bahwa ajaran zakat telah dikenal sebelum Islam, namun mengalami perkembangan signifikan di era Islam, dari anjuran di Mekkah menjadi kewajiban di Madinah.
Seiring berjalannya waktu, praktik zakat mengalami penyesuaian sesuai dengan kondisi sosial-politik yang berubah. Di era modern, muncul upaya revitalisasi zakat melalui undang-undang di berbagai negara Muslim, termasuk Indonesia. Kajian ini menunjukkan bahwa ajaran zakat bersifat dinamis dan dapat diadaptasi dengan realitas yang berubah, asalkan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariat.
Pembahasan
1. Definisi Zakat
Zakat secara bahasa berasal dari kata zaka yang berarti tumbuh dan bertambah. Jika dikatakan zaka al zar’ itu berarti tanaman tumbuh dan bertambah.[1] kata zakat juga sering digunakan untuk makna suci seperti yang banyak dipakai dalam al-Qur’an. Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan diri (dengan beriman)”. (Q.S al-A’laa : 14) Ibnu Manzhur dalam lisan al-Arab menyebutkan bahwa zakat adalah suci, tumbuh, terpuji, dan berkat.[2] Iman Taqiyuddin al-Husaini menyebutkan dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar zakat berarti tumbuh, berkat dan banyak kebaikan.[3] Dari pengertian secara bahasa ini dapat dipahami bahwa zakat pada dasarnya berarti suci dan tumbuh. Dengan kata lain mengeluarkan zakat berarti menumbuhkan dan mensucikan harta. Secara istilah zakat biasa diartikan sebagai pemberian tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang ditentukan”[4]. Imam Taqiyuddin al-Husaini menyebutkan dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar zakat secara istilah adalah :“Suatu nama untuk seukuran harta tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya yang telah ditentukan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.”[5] Menurut al-Syarkhasi zakat adalah menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus yang ditentukan oleh syari’at karena Allah SWT.[6] Kata menjadikan milik dalam definisi di atas dimaksudkan untuk menghindari kata kebolehan. Kata sebahagian harta dalam definisi di atas berarti keluarnya manfaat harta dari orang yang memberikannya. Kata bagian tertentu dalam pengertian di atas berarti ukuran harta yang wajib dikeluarkan zakatnya dan kata orang-orang tertentu adalah para mustahik zakat.[7]
Sedangkan dalam pasal 1 ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dijelaskan bahwa “zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam”[8]
Zakat wajib ini menurut bahasa Quran juga disebut shadaqah, sehingga Mawardi mengatakan “shadaqah itu adalah zakat dan zakat itu adalah shadaqah; berbeda nama tetapi sama artinya. Allah berfirman dalam QS al. Taubah : 193, “Pungutlah shadaqah dari kekayaan merek: Kau bersihkan dan sucikan mereka dengan zakat itu.”
Di samping mengandung arti zakat wajib, shadaqah juga berarti pemberian yang sunnat saja. Dalam hal ini para ulama mendefinisikan shadaqah dengan Pemberian dari secara sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu, suatu pemberian yang dilakukan seseorang sebagai kebijakan yang mengharapkan ridho Allah Swt. dan pahala sunnah.[9]
Al-Jurjani dalam buku al-Ta’rifat menyebutkan bahwa shadaqah adalah Pemberian secara ikhlas kepada yang berhak menerimanya yang diiringi oleh pemberian pahala dari Allah SWT.[10]
Selain kata zakat dan shadaqah adalagi kata infak. Infak adalah kata yang sangat umum sekali. Kata infak biasa diartikan dengan membelanjakan. Menurut Raqib Al-Isfahani (W. 502 H/1108 M) Kata Infak berasal dari kata Nafaqa, yang berarti “sesuatu yang telah berlalu atau habis”, baik dengan sebab dijual, dirusak, atau karena meninggal. Di dalam Al Quran, kata infak, anfaqa, yanfiqa, nafaqat disebut sebanyak 73 kali. Secara istilah infak diartikan sebagai sesuatu yang diberikan oleh seorang guna menutupi kebutuhan orang lain, baik berupa makan, minum, dan sebagainya. Infak juga dapat diartikan dengan mendermakan atau memberikan rezki (karunia) atau menafkahkan sesuatu kepada seseorang atau kelompok. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa infak adalah bentuk umum dari pengeluaran harta, baik dikeluarkan untuk diri sendiri, keluarga maupun untuk orang lain.
2. Tujuan zakat disyariatkan
Secara garis besar tujuan pokok syari’at Islam adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Bahkan Izzuddin bin Abdussalam (577-660 H/1181-1261 M) salah seorang ulama Syafi’iyah terkemuka mengatakan segala daya-upaya hendaknya dikembalikan kepada kepentingan manusia, dunia dan akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah kita. Dia tidak beruntung karena ketaatan orang-orang yang taat, dan juga tidak dirugikan oleh perbuatan maksiat dari mereka yang durhaka.[11] Karena itu taklif dalam bidang hukum harus bermuara pada tujuan tersebut, yakni terwujudnya kemaslahatan umat, baik yang daruriyyat, hajiyyat maupun tahsiniyyat.[12]
Demikian pula disyari’atkannya zakat tentu memiliki tujuan, baik yang bersifat umum maupun khusus, antara lain menjembatani jurang pemisah antara yang miskin dengan yang kaya, mewujudkan solidaritas/kesetiakawanan sosial, memelihara harta dari incaran penjahat, membantu fakir-miskin dan yang membutuhkan, membersihkan diri dari penyakit tamak dan kikir, serta merupakan ekspresi rasa syukur atas nikmat yang telah diterima.[13]
Para ulama dan cedekiawan sepakat bahwa tujuan zakat adalah untuk mencapai keadilan sosial-ekonomi supaya terjadi pemerataan atau minimal tidak terjadi gap yang terlalu jauh antara si kaya dan si miskin (Kay laa yakun dulah). Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin. Adapun beberapa rumusan tujuan zakat yang dikemukakan oleh para ulama adalah sebagai berikut :
- Menyucikan harta dan jiwa muzaki.
- Mengangkat derajat fakir miskin.
- Membantu memecahkan masalah para gharimin, ibnusabil, dan mustahiq
- Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya.
- Menghilangkan sifat kikir dan loba para pemilik harta.
- Menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin.
- Menjembatani jurang antara si kaya dengan si miskin di dalam masyarakat agar tidak ada kesenjangan di antara keduanya.
- Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama bagi yang memiliki harta.
- Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain padanya.
- Zakat merupakan manifestasi syukur atas Nikmat Allah.
- Berakhlak dengan akhlak Allah.
- Mengobati hati dari cinta dunia.
- Mengembangkan kekayaan batin.
- Mengembangkan dan memberkahkan harta.
- Membebaskan si penerima (mustahiq) dari kebutuhan, sehingga dapat merasa hidup tenteram dan dapat meningkatkan kekhusyukan ibadat kepada Allah SWT.
- Sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial.
- Tujuan yang meliputi bidang moral, sosial, dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat mengikis ketamakan dan keserakahan hati si kaya. Sedangkan, dalam bidang sosial, zakat berfungsi untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat. Dan di bidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan di tangan sebagian kecil manusia dan merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk perbendaharaan negara
3. Zakat dalam Sejarah
Penelusuran ajaran zakat melalui sejarah merupakan hal penting yang perlu dilakukan untuk dapat memahami kedudukan ajaran zakat dałam ajaran Islam secara lebih baik. Tanpa menelusurinya melalui sejarah, besar kemungkinan akan kurang komprehensif dałam memahami ajaran zakat tersebut.
Ajaran zakat sesungguhnya telah ada sebelum Islam mendeklarasikannya. Dałam kitab Talmud dan Perjanjian Lama serta Perjanjian Baru, ajaran zakat telah dikemukakan.[14] Sungguhpun demikian belum dapat dipastikan apakah ajaran zakat yang ada dałam Islam sama persis dengan ajaran zakat yang ada pada agama-agama sebelumnya. Suatu hal yang pasti yang bisa dikatakan bahwa spirit ajaran zakat dałam Islam dan agama sebelumnya besar kemungkinan sama. Sebab agama-agama yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul utusan Allah SWT mcrupakan agama pembebas yang memperhatikan secara serius persoalan penindasan kepada kaum lemah dan orang-orang yang tidak berdaya.
Dałam Islam sendiri ajaran zakat mengalami perkembangan. Ajaran zakat telah diintrodusir oleh Allah SWT ketika Nabi Muhammad SAW masih di kota Mekkah, sebelum ia berhijrah ke kota Madinah. Ajaran zakat selama periode Makkah masih bcrsifat umum. Keumuman ajaran zakat selama periode Makkah terlihat dari belurn ditetapkannya nisab, haul, dan petugas-petugas khusus yang menanganinya. Selain itu ajaran zakat masih bersifat anjuran berbuat kebajikan kepada orang-orang fakir-miskin dan orang yang memerlukan bantuan saja. Sebagaimana tersurat dalam al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 39: ”Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
Kenyataan demikian sangat berbeda dengan ajaran zakat selama periode Madinah. Pada periode Madinah ini terjadi perubahan dalam ajaran zakat. Dari sisi hukum, ajaran zakat merupakan kewajiban yang bersifat ilzami. Dari sisi sumber dan ketentuannya, maka telah ditentukan harta apa saja yang harus dikeluarkan zakatnya serta jumlah yang harus dikeluarkan.[15] Demikian pula dengan orang yang mengumpulkan dan mendistribusikannya. Ringkasnya ada perubahan-perubahan penting dalam ajaran zakat.
Perubahan-perubahan penting dalam ajaran zakat tersebut sangat terkait dengan bertambahnya peran yang bisa dimainkan oleh Rasulullah pasca hijrah ke kota Madinah. Hijrah ke kota Madinah telah menjadikan Rasulullah tidak Iagi semata-mata sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin Negara. Dalam bahasa yang dikemas oleh Watt, Rasulullah dikatakan sebagai the prophet and statesman. Sebagai pemimpin Negara sudah barang tentu ada kewajiban bagi Rasulullah untuk mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya. Untuk memenuhi kewajibannya ini, maka Rasulullah mencari sarana-sarana yang dipandang efektif dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Untuk mencapai tujuan itulah, maka kemudian Rasulullah menetapkan zakat sebagai salah satu item pendapatan Negara selain Jizyah, Kharaj, Ghanimah, dan al-Fay.[16] Bahkan dalam penilaian Prof. K. Ali, Rasulullah merupakan orang pertama yang menetapkan kekayaan publik di Madinah 2
Apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah berkaitan dengan zakat tampaknya menjadi sebuah sunnah yang diikuti oleh generasi sesudahnya, miskipun demikian terdapat pula sedikit penyimpangan-penyimpangan atau penyesuaian terhadap ajaraan zakat yang dilakukan oleh sebagian sahabat.
Abu Bakar merupakan sahabat Rasulullah yang gigih dan pejuang keras yang mempertahankan sunnah Rasulullah berkaitan dengan sistem pelaksanaan zakat. Tidak lama setelah Rasulullah wafat, terdapat sekelompok umat Islam yang tidak mau melaksanakan kewajiban zakat sebagaimana sistem yang telah ditetapkan oleh Rasulullah. Kelompok tersebut akhirnya diperangi oleh Abu Bakar.
Pada masa Umar bin Khattab terjadi penyimpangan-penyimpangan berkaitan dengan pelaksanaan zakat. berdasarkan pertimbangan kondisi sosial pada waktu itu Umar tidak lagi memberikan porsi muallaf qulubuhum sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah. Begitupula Umar mewajibkan agar kuda dikeluarkan zakatnya, sementara Rasulullah tidak mewajibkannya.[17]
Penyimpangan berikutnya dilakukan Oleh khalifah Usman bin Affan. Usman bin Affan memberikan kewenangan kepada pemilik harta untuk menyerahkan secara langsung zakat kcpada mustahik yang berhak menerimanya.[18] Apa yang telah dilakukan oleh Usman diikuti Oleh penguasa-penguasa dinasti Umayyah. Hanya saja dalam sejarah perkembangan dinasti Umayyah ini terdapat salah seorang khalifah yang mengharuskan adanya kewajiban zakat dari harta yang diperoleh dari gaji dan honorarium yang dalam istilah saat ini disebut dengan zakat profesi.[19]
Perpindahan kekuasaan dari dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiah tampaknya tidak membawa hal baru berkaitan dengan zakat. Zakat dilaksanakan sebagaimana pelaksanaan sebelumnya. Dalam struktur kenegaraan dinasti Abbasiah, zakat memiliki departemen sendiri yakni departemen shadaqah. Departemen ini bertanggung jawab dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat. Memasuki abad pertengahan, zakat tidak mengalami perkembangan yang berarti. Zakat masih tetap dilaksanakan sebagaimana yang terjadi sebelumnya. Zakat baru terpinggirkan sebagai sumber pendapatan Negara ketika kolonialis menguasai dunia Islam. Diperkenalkannya sistem pajak yang sekuler, mengakibatkan zakat kehilangan posisi menonjolnya dalam kehidupan muslim.[20]
Di abad modem, zakat kembali mendapat perhatian dari pemimpin Islam. Pada tahun 1944 negara Yordania mengeluarkan Undang-undang zakat No 35 di masa pemerintahan Abdullah bin Husain, penguasa Yordania bagian timur. Arab Saudi mengeluarkan keputusan kerajaan tentang zakat yang tertuang dalam No 17/28/8634 tahun 1951. Jami’ah Arabiah juga mengadakan diskusi tentang zakat di tahun 1952. Dalam diskusi itu muncul gagasan agar zakat kembali dikumpulkan Oleh Negara. Negara-negara Arab yang Iain baru mengeluarkan Undang-undang berkenaan dengan zakat pada tahun 1970-an. Di Pakistan Ordonansi Zakat dan Ushr No. XVIII dikeluarkan pada tahun 1980. Sudan mengeluarkan Undang-undang zakat No.3 tahun 1984.[21] Pun demikian di Indonesia dengan diundangkannya dalam UU. No. 38 Tahun 1999 jo. UU. No. 23 Tahun 2011 meskipun hanya sebatas undang-undang atau peraturan tentang pengelolaan zakat.
Uraian sejarah ajaran zakat di atas setidaknya menjadi dasar pemikiran bahwa pembaharuan terhadap ajaran sangat dimungkinkan. Sejarah di atas menginformasikan adanya penyesuaian-penyesuaian terhadap ajaran zakat. Ajaran zakat dapat didialogkan dengan realitas yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Ajaran zakat memungkinkan untuk diperbaharui sesuai dengan perkembangan kondisi sosio-politik dan sosio-ekonomi masyarakat Islam.
Kesimpulan
Zakat, sebagai kewajiban agama Islam, bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi. Praktik zakat telah berkembang sepanjang sejarah, beradaptasi dengan perubahan zaman, dan kini dikelola oleh negara melalui undang-undang modern. Intinya, zakat adalah konsep dinamis dengan akar agama yang kuat, mampu menyesuaikan diri untuk mencapai kesejahteraan sosial yang lebih luas.
[1] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid II, Cet. Ke-3,(Damaskus: Dar al Fikri, 1989), hlm. 730.
[2] Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, Juz VI, Cet. Ke-3, (Beirut: Dar Ihy’ al-Turats al-‘Arabi, 1990), hlm. 65
[3] Imam Taqiyuddin al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, (Surabaya: Syirkah al-Nur al-Ilmiyah,t.th), hlm. 172.
[4] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Prenada Media : 2003),hlm. 37
[5] Imam Taqiyuddin al-Husaini, Kifayat, hlm. 172
[6] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam, jld. II, hlm.730
[7] Ibid.
[8] Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 115, Sekretariat Negara, Jakarta, 2011
[9] Ensiklopedia Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000, hlm. 716-719.
[10] Ibid.
[11] Izzuddin bin Abdussalam, Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al-Anam , juz Il (Beirut: Dar al-Jiľ tt)’ him. 72
[12] Abu lshaq Ibrahim ibn Musa al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, juz II (ttp.: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 4
[13] Baca Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-lslamiy wa Adillatuh, juz Il, hlm. 731-733
[14] A.A. Miftah, Zakat antara TuntunanAgama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sultan Thaha Press, 2007), hlm. 74
[15] A.A. Miftah, “Pembaharuan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”, Jurnal Innovatio, Vol. VII, no. 14 Juli- Desember 2008., hlm. 427
[16] Hal ini dapat dilihat dalam masterpiece-nya Abu Ubaid al-Qasim Ibn Salam, al-Amwal (Beirut: Dar al-Fikr, 1988). Dalam kitab tersebut Abu Ubaid berusaha untuk memetakan harta-harta yang termasuk kekayaan publik.
[17] Lihat Abu Ubaid, al-Amwal, hlm. 564
[18] Abdullah al-Tayyar, al-Zakat wa Tatbiquha al-Mu’ashirah (Riyadh: Dar al-Watan, 1414 H), hlm. 50
[19] Khalifah ini adalah Umar ibn Abdul Aziz. Lihat Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakat, hlm. 534-535
[20] John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 368
[21] A.A.Miftah, Zakat, hlm. 108-109