Dalam berbagai buku referensi, Amilin Zakat secara umum didefinisikan sebagai: Orang atau badan yang diangkat atau ditunjuk oleh pemerintah atau masyarakat untuk mengelola zakat. Pengelolaan ini meliputi kegiatan pengumpulan, pendistribusian, serta administrasi dana zakat kepada pihak-pihak yang berhak (mustahik).[1] Salah satu dari delapan golongan (asnaf) yang berhak menerima zakat. Hal ini didasarkan pada ayat Al-Qur’an (At-Taubah: 60) yang menyebutkan amil sebagai salah satu penerima zakat.[2]
Pemberian zakat kepada amil adalah sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras dan dedikasi mereka dalam mengelola zakat[3]
Berikut adalah beberapa poin penting terkait definisi Amilin Zakat yang dapat disimpulkan dari berbagai sumber: Legitimasi: Amilin zakat idealnya memiliki legitimasi dari pemerintah atau otoritas yang berwenang. Namun, dalam kondisi tertentu, masyarakat juga dapat membentuk amil zakat sendiri, yang kemudian diakui oleh pemerintah[4]
Tugas: Tugas utama amilin zakat adalah mengelola seluruh proses zakat, mulai dari penerimaan hingga penyaluran kepada mustahik yang berhak[5]
Kompensasi: Amilin zakat berhak mendapatkan bagian dari dana zakat sebagai kompensasi atas pekerjaan mereka. Besaran kompensasi ini harus wajar dan tidak berlebihan.[6] Syarat: Untuk menjadi amilin zakat, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti memiliki pengetahuan tentang zakat, amanah, adil, dan mampu mengelola dana dengan baik.[7]Perbedaan Pendapat: Meskipun terdapat kesamaan dalam definisi umum, ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai status dan peran amilin zakat. Beberapa ulama berpendapat bahwa amilin zakat harus diangkat oleh pemerintah, sementara yang lain memperbolehkan pembentukan amilin zakat oleh masyarakat.[8]
Kesimpulan: Secara keseluruhan, Amilin Zakat adalah pihak yang memiliki peran penting dalam pengelolaan zakat. Mereka adalah jembatan antara muzakki (orang yang membayar zakat) dan mustahik (orang yang berhak menerima zakat). Keberadaan amilin zakat yang profesional dan amanah sangat penting untuk memastikan bahwa dana zakat dikelola dengan baik dan disalurkan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.[9]
[1] Lihat Yusuf al-Qaradawi, Fiqh az-Zakah (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1973), jilid 2, hlm. 685-690.
[2] Al-Qur’an, Surah At-Taubah (9): 60. Lihat juga tafsir ayat tersebut dalam kitab-kitab tafsir seperti Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim.
[3] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), jilid 3, hlm. 178.
[4] Muhammad Rawwas Qal’ahji, Mu’jam Lughah al-Fuqaha’ (Beirut: Dar al-Nafais, 1985), hlm. 37. Bandingkan dengan pandangan mazhab Syafi’i dalam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 6, hlm. 177.
[5] Kompilasi dari berbagai kitab fikih yang membahas tentang pengelolaan zakat, seperti karya Imam Malik dalam Al-Muwatta’ dan Imam Syafi’i dalam Al-Umm.
[6] Lihat pembahasan tentang bagian amilin dari harta zakat dalam Yusuf al-Qaradawi, Fiqh az-Zakah, jilid 2, hlm. 705-715.
[7] Pembahasan mengenai syarat-syarat amilin dapat ditemukan dalam berbagai kitab fikih, seringkali dikaitkan dengan syarat-syarat kepemimpinan atau pengelolaan harta publik.
[8] Perbedaan pendapat ini seringkali muncul dalam perbandingan antara pandangan ulama klasik dan konteks pengelolaan zakat modern oleh lembaga.
[9] Kesimpulan ini merupakan rangkuman umum yang didukung oleh berbagai literatur tentang zakat dan peran amilin di dalamnya.